Sejak mengikuti proses Syata X HTQ yang berlangsung tanggal 7-8 Desember
2012 di kantor HTQ, ada sesuatu yang membuat saya sebagai anggota, pun juga
pengurus merasa ketar-ketir dan khawatir. Terhadap satu kulmin yang saya sebut
dengan pencitraan dan eksklusivisme. Dengan dalih kedua poros itu akan menjadi
bergend kuat dimana HTQ akan semakin menggaung serta menjadi daya tarik bagi
anggota maupun civitas akademika. Anda bisa bayangkan, setiap tahunnya proses
rekuitment anggota bisa memboyong ratusan mahasiswa menjadi anggota HTQ. Tahun
2012 ini saja, lima ratus sekian anggota bisa tercover dalam Ta’aruf Qur’any.
Tahun 2009, ketika saya mendaftar menjadi anggota, hanya seratus dua puluh
lima-an saja. Berikutnya di tahun 2010 meningkat dua ratus angota. Tahun 2011
meningkat ke tiga ratus hingga lima ratus anggota pada tahun ini. Begitu luar
biasa daya tarik HTQ sehingga menimbulkan satu spekulasi dan penasaran bagi
siapa saja yang melihatnya. Secara matematis, bisa kita hitung di empat tahun
terakhir dari tahun 2009-2012 anggota HTQ mencapai 11.000.000 sekian anggota.
Angka yang menakjubkan, hampir menyamai anggota partai politik di Indonesia. Namun,
dengan presentase demikian, mengapa forum tertinggi Syata hanya dihadiri
sekelumit orang? Dimana anggota yang lain.
Kita tidak bisa menjust para fungsionaris HTQ yang sudah
menjalankan roda kepengurusannya dengan telaten dan baik. Perlu ada penelaahan
kembali serta menajement kongkrit jika ingin memperbaiki HTQ ke depannya. Dengan asumsi semua kader,
pengurus, dan anggota mencapai kesatuan visi dan misi yang se-frame.
Semua element dari Direktur, Ikhfa’, para mantan ketua HTQ, pengurus (baik yang
sudah didomisioner atau belum) dan anggota harus rembuk bareng,
menentukan rekomendasi dan dijalankan dengan satu prinsip kebersamaan dan
kemaslahatan.
Dimulai saja dari hal-al yang paling dasar.
Ruh lembaga termasuk organisasi adalah kaderisasi. Jika kaderisasi hanya
dipandang sebagai nomer sekian setelah progam kerja, maka akseptabilitas para
anggota akan semakin memudar. Artinya, proker yang wah, besar, unggul silahkan
dicanangkan, tapi jika kaderisasi anggota diabaikan, fantadzirus sa’ah
tunggu tanggal mainnya. Kaderisasi tidak hanya pada anggota yang masih di
ma’had, pun juga tidak harus dengan setoran hafalan. Setelah sekian kali
dikader dengan setoran hafalan, adakah perubahan? Kita harus jujur dengan
mengatakan tidak. Belum saatnya HTQ mencetak kader pecinta, pengkaji, dan
penghafal al-Qur’an. Maka, saya sangat menyayangkan ketika pembahasan ART bahwa
anggota HTQ adalah pecinta, pengkaji, dan penghafal al-Qur’an. Mengapa? Banyak
sekali teman-teman diluar masuk HTQ karena senang dengan organisasinya, dengan
HTQ nya. Mengapa kita tidak merangkul mereka dengan memeberikan
fasilitas-fasilitas manajerial. Model orang seperti ini akan lebih loyal dan
mampu menata organisasi dengan kemampuan manajerialnya dari pada anggota yang
mengaku pecinta, pengkaji, dan penghafal tapi tidak tahu menahu akan apa itu AD-ART,
GBHO, GBHK yang merupakan kitab suci organisasi. Mungkin secara ekstrim dan
radikal saya mengatakan “teks, lafadh, ayat alqur’an yang mereka hafal tidak
ada aktualisasinya di lapangan-dalam konteks ke-organisasian-”. HTQ sekarang
masih harus menata pondasi, nembel semen, nyicil batu bata, mletur
tembok. Membutuhkan satu dua tahun untuk memperbaiki itu dengan tetap
memfasilitasi anggota yang lain dengan ngaji dan setoran.
Hari ini pemilu calon ketua HTQ periode 2012-2013. Semoga diberikan
kemajuan, kemaslahatan, dan kebersamaan.
Malang,
Desember 2012