Rabu, 12 Desember 2012

Anggota HTQ : antara Pengkaji, Pecinta, Penghafal dan Loyal.



Sejak mengikuti proses Syata X HTQ yang berlangsung tanggal 7-8 Desember 2012 di kantor HTQ, ada sesuatu yang membuat saya sebagai anggota, pun juga pengurus merasa ketar-ketir dan khawatir. Terhadap satu kulmin yang saya sebut dengan pencitraan dan eksklusivisme. Dengan dalih kedua poros itu akan menjadi bergend kuat dimana HTQ akan semakin menggaung serta menjadi daya tarik bagi anggota maupun civitas akademika. Anda bisa bayangkan, setiap tahunnya proses rekuitment anggota bisa memboyong ratusan mahasiswa menjadi anggota HTQ. Tahun 2012 ini saja, lima ratus sekian anggota bisa tercover dalam Ta’aruf Qur’any. Tahun 2009, ketika saya mendaftar menjadi anggota, hanya seratus dua puluh lima-an saja. Berikutnya di tahun 2010 meningkat dua ratus angota. Tahun 2011 meningkat ke tiga ratus hingga lima ratus anggota pada tahun ini. Begitu luar biasa daya tarik HTQ sehingga menimbulkan satu spekulasi dan penasaran bagi siapa saja yang melihatnya. Secara matematis, bisa kita hitung di empat tahun terakhir dari tahun 2009-2012 anggota HTQ mencapai 11.000.000 sekian anggota. Angka yang menakjubkan, hampir menyamai anggota partai politik di Indonesia. Namun, dengan presentase demikian, mengapa forum tertinggi Syata hanya dihadiri sekelumit orang? Dimana anggota yang lain.

Kita tidak bisa menjust para fungsionaris HTQ yang sudah menjalankan roda kepengurusannya dengan telaten dan baik. Perlu ada penelaahan kembali serta menajement kongkrit jika ingin memperbaiki HTQ  ke depannya. Dengan asumsi semua kader, pengurus, dan anggota mencapai kesatuan visi dan misi yang se-frame. Semua element dari Direktur, Ikhfa’, para mantan ketua HTQ, pengurus (baik yang sudah didomisioner atau belum) dan anggota harus rembuk bareng, menentukan rekomendasi dan dijalankan dengan satu prinsip kebersamaan dan kemaslahatan.
      Dimulai saja dari hal-al yang paling dasar. Ruh lembaga termasuk organisasi adalah kaderisasi. Jika kaderisasi hanya dipandang sebagai nomer sekian setelah progam kerja, maka akseptabilitas para anggota akan semakin memudar. Artinya, proker yang wah, besar, unggul silahkan dicanangkan, tapi jika kaderisasi anggota diabaikan, fantadzirus sa’ah tunggu tanggal mainnya. Kaderisasi tidak hanya pada anggota yang masih di ma’had, pun juga tidak harus dengan setoran hafalan. Setelah sekian kali dikader dengan setoran hafalan, adakah perubahan? Kita harus jujur dengan mengatakan tidak. Belum saatnya HTQ mencetak kader pecinta, pengkaji, dan penghafal al-Qur’an. Maka, saya sangat menyayangkan ketika pembahasan ART bahwa anggota HTQ adalah pecinta, pengkaji, dan penghafal al-Qur’an. Mengapa? Banyak sekali teman-teman diluar masuk HTQ karena senang dengan organisasinya, dengan HTQ nya. Mengapa kita tidak merangkul mereka dengan memeberikan fasilitas-fasilitas manajerial. Model orang seperti ini akan lebih loyal dan mampu menata organisasi dengan kemampuan manajerialnya dari pada anggota yang mengaku pecinta, pengkaji, dan penghafal tapi tidak tahu menahu akan apa itu AD-ART, GBHO, GBHK yang merupakan kitab suci organisasi. Mungkin secara ekstrim dan radikal saya mengatakan “teks, lafadh, ayat alqur’an yang mereka hafal tidak ada aktualisasinya di lapangan-dalam konteks ke-organisasian-”. HTQ sekarang masih harus menata pondasi, nembel semen, nyicil batu bata, mletur tembok. Membutuhkan satu dua tahun untuk memperbaiki itu dengan tetap memfasilitasi anggota yang lain dengan ngaji dan  setoran.
Hari ini pemilu calon ketua HTQ periode 2012-2013. Semoga diberikan kemajuan, kemaslahatan, dan kebersamaan.
Malang, Desember 2012