Rabu, 27 Februari 2013

Nggole’i shiratal mustakim


1 batang surya….
Oke. Stimulus saja. Tulisan ini hadir ditengah ketidak pentingan mengapa aku menulis ini. Jadi, hanya angin yang menyapa saja.

            Aku sangat sadar, sesadar-sadarnya bahwa aku hidup di sebuah golongan, kelompok yang inferior atas kekuasaan structural. Omek (organisasi mahasiswa ekstra kampus) menjadi ladang, sekaligus lahan ilmu, pengalaman, management diriku sebagai mahasiswa. Dinamika pengetahuan akademis hanya menjadi ilmu samping dimana membuatku merasa bosan, terlalu formal, kaku dan bisa ditebak ending dari pengetahuan tersebut. Formula dan sistematikanya kurang asyik, karena pengetahuan akademis kurang estetetik. Ibarat nasi. Dia menjadi hambar tanpa lauk pauk. 
2 batang….
            Maka,di OMEK inilah aku sesungguhnya belajar, kuliah, dan mengenal berbagai disiplin ilmu praktis. Aktualisasi disiplin ilmu akhlak, moral diantara sesama. Bahwa kau harus tahu siapa diantara temanmu yang kelaparan, mengidap penyakit “kanker” (kantong kering), siapa diantara mereka yang kesulitan membayar Spp. Datangi mereka, rangkul dan tolong mereka. Sensivitas seperti itulah yang terbangun diantara kami dimana tidak terjadi pada teman-temanku yang rajin ke masjid.

            Aku tertawa ria bersama mahasiswa-mahasiswa slenge’an. Bercelana compang, berambut gimbal, dengan segala frekuensi negatif” dimana semua kalangan mencemoohnya. Kami seperti saudara yang dibesarkan dalam satuan dimensi yang sama. Satu tersakiti, anggota badan yang lain menjerit. Kami bersama-sama membangun peradaban “kecil” ditengah hiruk pikuk akademis palsu. Akademis palsu itu menuhankan nilai A, B, C, D dan seterusnya. Menelaah pengetahuan luas tanpa batas dan paksaan. Kau suka sepak bola, maka kau harus serius dalam bermain bola. Kau hafal al-qur’an, maka kau harus setia menjaganya. Kau suka wayang, budaya jawa, music rokc hingga music gendruwo, maka kau tidak boleh berganti pada ilmu lain sebelum kau menguasai ilmu itu semua. Dalam bahasa kami, itulah hakikat shiratal mustaqim. Dalam konteks tanggung jawab inteletual, potensi yang dititipkan Tuhan serta moral.

4 batang…..
            Sudahlah, apapun track record perjalanan anda, diwilayah mana anda bergerak, dibidang pragmatis ataupun filosofis, semoga tidak terbesit satu perasaan sombong. Kita inikan gayanya masya allah, merasa pede kalau mampu terhadap satu hal. Bisa nyanyi, gumede. Pinter debat, ndak mau ngalah. Akademis cemerlang, pasti rangking, hafal qur’an, merasa pasti masuk surga atau apapun sajalah. Perlu latihan agar sebisa mungkin anda terhindar dari rasa sok, sombong. Minimal dengan kesadaran intuitif bahwa anda adalah manusia, yang tidak bisa terlepas dari salah dan dosa.

5 batang….
Aku merasa terlengkapi dengan kehadiran teman, sahabat “satu” ini. Menemani kesendirian ditengah keramaian. Menghibur ditengah tawa yang terlalu dipaksakan. Wa nahnu aqrabi ilaihi min hablil warid, bahwa kurasakan kehadiran Tuhan dalam kesunyian, sunyi sekali. Di alam kehampaan, tapi sesungguhnya hampa bukanlah dari kehampaan itu sendiri. Hampa hanyalah ruang kosong, lorong gelap, teka-teki kehidupan dimana kita tidak tahu bahwa esok hari berada dimana, melakukan aktivitas apa, bergaul dengan siapa, belajar ilmu apa, bahkan berteman dengan kematian atau kehidupan.

Kudengar lantunan ayat-ayat mulia di kolong speaker ketika senja tiba. Menemani sang matahari dalam redupnya. Waktu magrib begitu menakutkan. Iblis, syetan berkeliaran untuk mencari mangsa. Santet-santet beterbangan, mahabbah cinta ditiupkan, genderang perang ditabuh.

Allah…….
Allahuallah…..
                        Allah Allah Allah…
                                    Allaaaaaaaahh, Allah, Allaaaahhhhhhhh……..

Menyayat. Laki-laki berumur yang dianggap gila itu menyanyikan lagu-lagu Tuhan. Ia dianggap tak waras. Setiap pagi, pukul 06.00 Wib aku selalu memergokinya. Kebiasaan yang tidak bisa terlepas darinya adalah ia selalu mencari segelas, sisa-sisa kopi, teh, air putih. Jika terselip beberapa batang rokok, turut diambilnya juga. Setiap pagi dan setiap hari.

            Innaka lamajnun. Wes-wes jarno ae, maklum ia kan gila. Kata teman-teman. Ia diplot orang tak waras, tapi aku selalu mendengarnya menyanyikan syair-syair cinta, untaian puisi indah mempesona. Ia lantunkan kepada Tuhannya. Kepada sang RabbiNya.

Malang, Februari 2013