BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Melihat
sejarah kedatangan Islam di kepulauan Nusantara, yang masuk di tengah kehidupan
masyarakat Indonesia saat itu sudah bukan “Islam Asli” seperti yang pertama
berkembang di tanah arab. Islam yang datang adalah islam yang telah bertradisi
local sesuai tradisi yang dianut para pembawanya. Sebagaimana yang diketahui, penyebar Islam yang pertama
terdiri dari para pedagang yang berasal dari India selatan atau daerah pantai
Malibar, pedagang Cina (Cempa), Persia, dan Arab sendiri. Mereka datang pertama
kalinya ke Aceh bersama kepercayaan yang mereka pahami dari suatu aturan atau
hokum-hukum Islam. Dengan demikian, Islam disini, di masyarakat yang pada
awalnya merupakan jalinan perdagangan kemudian menyebar ke penjuru Indonesia
adalah Islam yang telah menyesuaikan dengan keyakinan masyarakat local, karena
pertimbangan sosial, budaya, ekonomi, maupun politik.
Islam
dan tradisi lokal bertemu, kemudian membentuk konstruk pemahaman yang baru.
Baik dari nilai-nilai maupun dari mayarakat itu sendiri. Keduanya bertemu
dengan masyarakat, baik secara kolektif maupun individual, tanpa bisa
diklasifikasikan secara pasti mana yang berasal dari Islam dan mana yang produk
lokal. Lama-lama tradisi itu berkembang, diwariskan dari generasi ke generasi
dan ditransmisikan dari masa lalu ke masa kini. Dalam pewarisan itu sebenarnya
tidak hanya terjadi secara pasif, tetapi juga dikonstruksikan sesuai dengan
yang dipahami ahli waris dalam konteks sosial budaya dimana mereka
berada. Pewarisan dan konstruksi ini terjadi melalui serangkaian tindakan yang
ditujukan untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui pengulangan.
Jadilah tradisi yang muncul kemudian berada di tengah kombinasi antara
tradisi-tradisi pra-Hindu-Budha, tradisi zaman Hindu-Budha, dan tradisi Islam,
yang disebutkan sudah tidak asli lagi. Dengan demikian berbicara tradisi Islam
disini, tentunya berbicara tentang serangkaian ajaran atau doktrin yang bercampur jadi satu dan terus
berlangsung dari masa lalu sampai sekarang.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa Definisi Islam Nusantara?
2. Bagaimana Masuknya Islam Nusantara?
3. Bagaimana Pro Kontra Terhadap Gagagasan Islam
Nusantara?
4. Bagaimana Dukungan Terhadap Gagasan Islam
Nusantara?
C.
Tujuan
Masalah
1.
Untuk
Mengetahui Definisi Islam Nusantara.
2.
Untuk
Mengetahui Masuknya Islam Nusantara.
3.
Untuk
Mengetahui Pro Kontra Terhadap Gagagasan Islam Nusantara.
4.
Untuk Mengetahui
Dukungan Terhadap Gagasan Islam Nusantara.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Islam Nusantara
Islam
Nusantara adalah Islam sinkretik yang merupakan gabungan nilai Islam
teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal (non teologis), budaya, dan adat
istiadat di Tanah Air.
Azyumardi Azra, seorang intelektual Muslim ternama mengatakan Islam
Nusantara bukanlah nama yang baru muncul, Islam Nusantara mengacu kepada
gugusan kepulauan yang mencakup Malaysia, Pattani Thailand, Moro Filipina, Singapura
dan Brunai, atau sering juga disebut Islam Asia Tenggara.
Lantas, apa yang membedakan Islam Nusantara dan Islam yang ada di Timur
Tengah atau Saudi Arabia?
Menurut Azyumardi Azra, beliau menyebutkan doktrin Tauhid Islam
Nusantara tidak berbeda dengan mayoritas Muslim ahlusunnah wal jamaah di dunia,
meyakini doktrin Rukun Iman dan Rukun Islam secara utuh. Namun, pada sebagian
praktek ibadah, dipengaruhi kebudayaan lokal, dan tasawuf seperti perayaan
maulid nabi, walimatul ars, tahlilan dan lainnya.
Singkatnya, Islam Nusantara sangat terpengaruh sejumlah tokoh pemikir
Islam pertengahan. Seperti pemikiran kalam (teologi) Asy'ariyah, fiqih Syafi'i,
tasawuf sunni al-Ghazali, dan praktek tokoh sufi seperti Abdul Qodir Jailani.
Berbeda dengan Islam Timur Tengah atau Saudi Arabia, yang cenderung
saklek dan kaku, sebab hanya memiliki dua tokoh sentral pemikir. Seperti kalam
(teologi) Salafi-Wahabi dan Fiqh Hambali, yang cenderung sangat tekstual.
Dalam pandangan lokal, kita tentu
tak terlampau merasa heran, bagaimana Islam sebagai pandangan teologi,
misalnya, mampu bersenyawa dengan paham sinkretisme Jawa dan Hindu yang sudah
ratusan tahun saling memengaruhi. Islam sebagai kebudayaan telah memberi
sentuhan ”luwes dan mesra” Terhadap nilai-nilai budaya lokal. Dengan
sendirinya, ini menunjukkan Islam sebagai realitas budaya telah menampilkan
dirinya.
Pribumisasi
Islam, Abdurahman Wahid menyebutnya sebelum istilah Islam Nusantara dipakai,
menyatakan bahwa pribumisasi Islam tidaklah mengubah Islam, melainkan hanya
mengubah manifestasi dari kehidupan agama Islam. Selain itu, pribumisasi Islam
tidak lantas menempatkan Islam dalam subordinasi budaya dan tradisi, tidak pula
melakukan “Jawanisasi” atau snkretisme. Tujuannya adalah bagaimana agar Islam
dipahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual, termasuk kesadaran
hokum dan rasa keadilannya”, dan bagaimana agar kebutuhan-kebutuhan lokal
dipertimbangkan dalam merumuskan hokum agama, tanpa mengubah hokum itu sendiri.
B.
Masuknya
Islam Nusantara
Selama ini banyak para
aktivis, lembaga kajian, bahkan sampai lingkungan maasiswa sedang hangat
membicaraan tentang “Islam Nusantara”. Namun dalam ranah diskusi dan sebagainya
belum banyak menempatkan konteks sejarah dalam pembahasannya. Islam Nusantara
merupakan akulturasi budaya-budaya Nusantara yang di-Islamkan dengan tujuan
memberikan dakwah islam yang rahmatan lil alamin. Banyak sekali literatur
bahkan fakta sejarah yang memberikan gambaran bahkan kajian ilmiah mengenai
proses masuknya islam di Indonesia.
Sejarahwan T. W. Arnold
dalam karyanya “The Preaching of Islam” (1968)
juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh
Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M.
Setelah abad ke-7 M,
Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal, menurut laporan sejarah negeri
Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali)
diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On
Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966,
hal. 159).
Bukti lainnya, di
daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang Muslimah
bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan
ini membuktikan bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, Islam Comes to
Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39).
Dari bukti-bukti di
atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah
masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rasululah
menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima
wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah
secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai
sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara
terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.
Menurut literatur kuno
Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di
pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW
memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat
sebuah perkampungan Islam.
Selaras dengan
zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, karena mushaf
Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman Khalif Utsman bin Affan pada tahun
30 H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang
kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang
dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4)
Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang sendiri oleh
Khalif Utsman.
Naskah
Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi semua
pihak yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah
Utsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan pada berbagai museum
dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di Tashkent, Asia Tengah.
Mengingat bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka
pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu merupakan
al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum perusuh di
Ibukota menyerbu gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah.
Perjanjian Versailes (Versailes Treaty),
yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang
Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua
peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di dalam tempo
enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman
menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif
Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut
keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II (Joesoef Sou’yb,
Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391).
Sebab itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini
berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para al-Huffadz
atau penghapal al-Qur’an.
Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha
Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah
perkampungan yang berbeda dari agama resmi kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu
membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus
bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya
oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di
wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran
dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah
semua syarat itu terpenuhi baru mereka—para pedagang Arab Islam ini—bisa
mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah
kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya.
Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan
mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon
memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi
2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk
melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah
disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun.
Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang
mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam
generasi pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib
r. A..
Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara
sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di
Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan
menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah
dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang
berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat,
dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga
telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga.
“Sebab itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan
Islam, maka para pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau dengan baik dan
dengan cepat dan tangan terbuka menerima dakwah beliau itu, ” ujar Mansyur yakin.
Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut
sebagai orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo
ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di
Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan bahwa mereka
telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan.
Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di
pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan
(644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632
M).
Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari
Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang
abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang menjadi
wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.
Jelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang
oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di Nusantara ini
sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal
sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang
yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu
dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh
sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah
tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan
nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera.
Bukalah atlas Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para
pedagang dari Jazirah Arab menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat
strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang meneruskan
ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang
Arab ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat
Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat
perdagangan di daerah ini hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan
Sumatera (sekitar Palembang), lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi
ke Cina atau Jawa.
Disebabkan letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini
telah dikenal sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Makkah dan
India menuju Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan Banda
Aceh, baru menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan demikian,
bukan hal yang aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali disinari cahaya
Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh sampai
sekarang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah.
Islam masuk
ke Nusantara, bukan dengan peperangan ataupun penjajahan. Islam berkembang dan
tersebar di Indonesia justru dengan cara damai dan persuasif berkat
kegigihan para ulama. Karena memang para ulama berpegang teguh pada
prinsip Q.S. al-Baqarah ayat 256 yaitu
“Tidak ada
paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada
buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.”(Al-Baqarah: 256).
Adapun cara
masuknya Islam di Nusantara melalui beberapa cara antara lain
1.Perdagangan
Jalur ini
dimungkinkan karena orang-orang melayu telah lama menjalin kontak dagang dengan
orang Arab.Apalagi setelah berdirinya kerajaan Islam seperti kerajaan Islam
Malaka dan kerajaan Samudra Pasai di Aceh, maka makin ramailah para ulama dan
pedagang Arab datang ke Nusantara (Indonesia).Disamping mencari keuntungan
duniawi juga mereka mencari keuntungan rohani yaitu dengan menyiarkan
Islam.Artinya mereka berdagang sambil menyiarkan agama Islam
2.Kultural
Artinya penyebaran Islam di Indonesia juga menggunakan media-media kebudayaan, sebagaimana yang dilakukan oleh para wali sanga di pulau jawa. Misalnya Sunan Kali Jaga dengan pengembangan kesenian wayang.Ia mengembangkan wayang kulit, mengisi wayang yang bertema Hindu dengan ajaran Islam. Sunan Muria dengan pengembangan gamelannya.Kedua kesenian tersebut masih digunakan dan digemari masyarakat Indonesia khususnya jawa sampai sekarang.Sedang Sunan Giri menciptakan banyak sekali mainan anak-anak, seperti jalungan, jamuran, ilir-ilir dan cublak suweng dan lain-lain.
Artinya penyebaran Islam di Indonesia juga menggunakan media-media kebudayaan, sebagaimana yang dilakukan oleh para wali sanga di pulau jawa. Misalnya Sunan Kali Jaga dengan pengembangan kesenian wayang.Ia mengembangkan wayang kulit, mengisi wayang yang bertema Hindu dengan ajaran Islam. Sunan Muria dengan pengembangan gamelannya.Kedua kesenian tersebut masih digunakan dan digemari masyarakat Indonesia khususnya jawa sampai sekarang.Sedang Sunan Giri menciptakan banyak sekali mainan anak-anak, seperti jalungan, jamuran, ilir-ilir dan cublak suweng dan lain-lain.
3.Pendidikan
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang paling strategis dalam pengembangan Islam di Indonesia.Para da’i dan muballig yang menyebarkan Islam diseluruh pelosok Nusantara adalah keluaran pesantren tersebut.Datuk Ribandang yang mengislamkan kerajaan Gowa-Tallo dan Kalimantan Timur adalah keluaran pesantren Sunan Giri.Santri-santri Sunan Giri menyebar ke pulau-pulau seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga ke Nusa Tenggara.Dan sampai sekarang pesantren terbukti sangat strategis dalam memerankan kendali penyebaran Islam di seluruh Indonesia.
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang paling strategis dalam pengembangan Islam di Indonesia.Para da’i dan muballig yang menyebarkan Islam diseluruh pelosok Nusantara adalah keluaran pesantren tersebut.Datuk Ribandang yang mengislamkan kerajaan Gowa-Tallo dan Kalimantan Timur adalah keluaran pesantren Sunan Giri.Santri-santri Sunan Giri menyebar ke pulau-pulau seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga ke Nusa Tenggara.Dan sampai sekarang pesantren terbukti sangat strategis dalam memerankan kendali penyebaran Islam di seluruh Indonesia.
4.Kekuasaan
Politik
Artinya
penyebaran Islam di Nusantara, tidak terlepas dari dukungan yang kuat dari para
Sultan. Di pulau Jawa, misalnya keSultanan Demak, merupakan pusat dakwah dan
menjadi pelindung perkembangan Islam.Begitu juga raja-raja lainnya di seluruh
Nusantara. Raja Gowa-Tallo di Sulawesi selatan melakukan hal yang sama sebagaimana
yang dilakukan oleh Demak di Jawa. Dan para Sultan di seluruh Nusantara
melakukan komunikasi, bahu membahu dan tolong menolong dalam melindungi dakwah
Islam di Nusantara.Keadaan ini menjadi cikal bakal tumbuhnya negara nasional
Indonesia dimasa mendatang.
C.
Pro Kontra Gagasan Islam Nusantara
Beberapa pekan ini,
umat Islam di negeri kita digalaukan oleh kontroversi ‘Islam Nusantara’. Dari
tukang bakso hingga presiden ikut bicara. Pro-kontra melanda golongan
cendekiawan dan akademisi maupun ormas-ormas ternama. Sebagain menolak
mentah-mentah, sementara sebagian yang lain kelihatan siap mempertahankan
gagasan itu ‘sampai titik darah terakhir’. Berikut ini analisis sederhana untuk
menguak kemusykilan logika dibalik istilah ‘Islam Nusantara’.
Jika dilihat dari kacamata
linguistik. Pada dasarnya, istilah ‘Islam Nusantara merupakan kata majemuk,
yakni gabungan dua kata: ‘Islam’ dan ‘Nusantara’. Pertanyaan saya sederhana,
apakah gabungan dua kata ini konstruksi genitif ataukah konstruksi adjektif ?
Dalam perbendaharaan kata sehari-hari kita temukan gabungan dua kata seperti
‘rumah makan’, ‘polisi tidur’, ‘nasi kucing’, dan sebagainya.
Pertanyaan kita, apakah gabungan
kata-kata semacam itu merupakan penisbatan dan penyandaran, ataukah penyifatan?
Distingsi linguistik ini fatal karena ada perbedaan signifikan antara keduanya
dari sudut implikasi makna. Apakah ‘nasi kucing’ itu artinya nasi untuk kucing,
nasi dengan daging kucing, atau nasi berasal dari kucing, atau nasi
kekucing-kucingan? Mereka yang pakar soal bahasa paham benar kalau konstruksi mudhaf-mudhaf-ilayh
itu menyimpan arti asal, bahan, bagian, tempat, dan atau kepunyaan. Sementara
konstruksi na‘t-man‘ut memberi keterangan sifat, kualitas, kuantitas dan
sebagainya.
Nah, istilah Islam Nusantara ini
sebenarnya termasuk lafaz murakkab idhafi ataukah murakkab washfi?
Pertanyaan mendasar ini luput dari perhatian banyak orang. Kalau jawabannya
yang pertama, maka artinya Islam itu dinisbatkan kepada Nusantara. Dan dengan
begitu, implikasi logisnya, seolah-olah Islam itu berasal dari Nusantara,
terbuat dari Nusantara, bagian dari, untuk atau milik Nusantara.
Padahal kita semua tahu bahwa Islam
bukan berasal dari Nusantara, bukan pula terbuat dari Nusantara, dan jelas
bukan juga bagian dari Nusantara, karena Nusantara adalah nama kepulauan yang
meliputi wilayah Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, dan Filipina.
Sementara Islam itu bukan pulau, jadi tidak bisa dikatakan Islam itu bagian
dari Nusantara. Pun tidak bisa diklaim Islam itu milik Nusantara karena Islam itu
agama Allah, dan Dialah yang menurunkan dan memeliharanya.
Lalu jika jawabannya yang kedua,
yakni sebagai “murakkab washfi”, maka artinya Islam itu disifatkan oleh
Nusantara. Ini artinya sama seperti ungkapan ‘anak baik’ (yaitu anak yang
disifati dengan kebaikan), dan ‘makanan halal’ (yaitu makanan yang bersifat
halal). Jadi, apakah “Islam Nusantara” itu artinya Islam yang bersifat
Nusantara? Kalau Nusantara itu adalah kepulauan, apakah artinya Islam itu
bersifat kepulauan?
Menurut pengusung gagasan aneh ini,
Islam Nusantara bersifat tawassuth (moderat), tidak ekstrim kanan dan
kiri, selalu seimbang, inklusif, toleran dan bisa hidup berdampingan secara
damai dengan penganut agama lain, serta bisa menerima demokrasi dengan baik.
Konon ciri-ciri ini tidak ada pada “Islam Arab” yang dicap radikal, ekstrim dan
tidak toleran.
Namun karakterisasi ini sebenarnya tidak didukung oleh
data historis, logis maupun statistik. Pencirian semacam ini lebih merupakan
pembodohan masal yang dikemas dengan bahasa sophistis agar masyarakat menolak
ajaran Islam sejati dan menukarnya dengan ajaran ‘Islam Nusantara’ bikinan
intelektual yang tidak jelas keulamaanya dan keikhlasannya.
Ada yang mengklaim ‘Islam Nusantara’
itu cocok untuk menjadi manhaj atau model beragama yang harus senantiasa
diperjuangkan untuk masa depan peradaban Indonesia dan dunia, karena ia adalah
model Islam yang ramah, terbuka, inklusif dan mampu memberi solusi terhadap
masalah besar bangsa dan negara.
Akan tetapi perlu diingat bahwa
agama Islam sejak diturunkan kepada Nabi Muhammad tidak pernah diberi
embel-embel apapun. Dan Islam yang tanpa ‘Nusantara’ itu saja telah
menyelesaikan permasalahan umat manusia dan berhasil membangun peradaban agung
di Timur (Baghdad, Nishapur, Kairo, Damaskus) dan di Barat (Andalusia Spanyol
dan Anatolia Turki).
Walhasil, mari sama-sama kita
renungkan lagi apa perlunya, apa maunya, dan apa musykilnya ‘Islam Nusantara’
itu dari segi linguistik, logika, aqidah, syari‘ah, dan fakta sejarah. Hemat
penulis, penggunaan istilah liar semacam ini selain bisa menyesatkan cara
berfikir masyarakat awam, juga bisa membuat rusak tatanan bahasa Indonesia
secara perlahan yang sebenarnya bisa dicegah lebih dini.
Pemunculan
istilah Islam Nusantara yang diklaim sebagai ciri khas Islam di Indonesia yang
mengedepankan nilai-nilai toleransi dan bertolak belakang dengan 'Islam Arab'
telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan penganut Islam di Indonesia.
Walaupun dianggap bukan istilah baru, istilah
Islam Nusantara belakangan telah dikampanyekan secara gencar oleh ormas Islam
terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, NU.
Dalam pembukaan acara Istighotsah menyambut Ramadhan dan pembukaan munas alim ulama NU, Minggu (14/06) di Masjid Istiqlal, Jakarta, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj mengatakan, NU akan terus memperjuangkan dan mengawal model Islam Nusantara.
"Yang paling berkewajiban mengawal Islam Nusantara adalah NU," kata Said Aqil, yang dibalas tepuk tangan ribuan anggota NU yang memadati ruangan dalam Masjid Istiqlal.
Menurutnya, istilah Islam Nusantara merujuk pada fakta sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara yang disebutnya "dengan cara pendekatan budaya, tidak dengan doktrin yang kaku dan keras."
Dalam pembukaan acara Istighotsah menyambut Ramadhan dan pembukaan munas alim ulama NU, Minggu (14/06) di Masjid Istiqlal, Jakarta, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj mengatakan, NU akan terus memperjuangkan dan mengawal model Islam Nusantara.
"Yang paling berkewajiban mengawal Islam Nusantara adalah NU," kata Said Aqil, yang dibalas tepuk tangan ribuan anggota NU yang memadati ruangan dalam Masjid Istiqlal.
Menurutnya, istilah Islam Nusantara merujuk pada fakta sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara yang disebutnya "dengan cara pendekatan budaya, tidak dengan doktrin yang kaku dan keras."
"Islam Nusantara ini didakwahkan merangkul
budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, tidak malah memberangus
budaya," katanya.
Dari pijakan sejarah itulah, menurutnya, NU akan terus mempertahankan
karakter Islam Nusantara yaitu "Islam yang ramah, anti radikal, inklusif
dan toleran."
Said Aqil menegaskan, model seperti ini berbeda
dengan apa yang disebutnya sebagai "Islam Arab yang selalu konflik dengan
sesama Islam dan perang saudara."
Sedangkan Organisasi Hizbut Tahrir Indonesia
juga mempertanyakan sikap yang memperhadapkan konsep Islam Nusantara dengan
Islam di Timur Tengah yang dianggap tidak tepat.
"(Agak) kurang fair kalau membandingkan
Timur Tengah sekarang dengan Indonesia pada tahun 2015," kata Juru bicara
Hizbut Tahrir Indonesia, Ismail Yusanto kepada BBC Indonesia, Minggu (14/06)
malam.
Menurutnya, yang terjadi saat ini di sejumlah
negara di wilayah Timur Tengah, misalnya Suriah, adalah proses perlawanan
melawan penguasa lalim.
"Ini minus persoalan ISIS yang mencoreng peradaban Islam, spirit perubahan dan perlawanan Islam itu ada di Timur Tengah saat ini. Ingat fenomena Arab Spring," jelasnya.
Dia juga menyebut tidak ada perbedaan antara Islam di Indonesia dan Timur Tengah dalam kerangka "melawan penguasa diktator".
"Ini minus persoalan ISIS yang mencoreng peradaban Islam, spirit perubahan dan perlawanan Islam itu ada di Timur Tengah saat ini. Ingat fenomena Arab Spring," jelasnya.
Dia juga menyebut tidak ada perbedaan antara Islam di Indonesia dan Timur Tengah dalam kerangka "melawan penguasa diktator".
"Resolusi Jihadnya Hasyim Ashari (pendiri
NU) di tahun 1945, 1949,itu beliau mendapat inspirasi resolusi Jihad 'kan dari
Islam. Dan beliau mengkajinya dari sumber Timur Tengah," kata Ismail.
Ketua Bidang Fatwa dan Hukum Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Sumatera Barat, H. Gusrizal Gazahar, Lc. M.Ag mengatakan: “Kita kadang-kadang melihat hubungan antara
budaya dengan Islam itu terlalu sempit, seolah-olah kita mempraktekkan ajaran
Islam yang dulunya adalah budaya Arab. Memang orang Arab itu punya tradisi
sebelum Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Salam datang membawa risalah Islam. Itu
tidak bisa diingkari,” jelas Gusrizal.
Ketika budaya diadopsi seperti itu apakah tetap
masih bisa dikatakan sebagai budaya nusantara? Menurut Gusrizal juga tidak
bisa, sebab umat Islam mengamalkan ajaran tersebut sebagai syariat Islam.
“Jadi
membawa budaya menjadi Islam begini, Islam begitu, atau Islam Nusantara, saya
rasa itu pemikiran yang sangat dangkal. Dan itu masih pemikiran dalam ranah
bidayah (permulaan, red) saja,” tegas Gusrizal.
D.
Dukungan
Terhadap Gagasan Islam Nusantara
Ketika awal mula dikampanyekan, muncul dukungan
terhadap model Islam Nusantara yang disuarakan kelompok atau tokoh perorangan
Islam yang berpaham moderat.
Presiden Joko Widodo saat berpidato dalam membuka Munas alim ulama NU di Masjid Istiqlal, Minggu (14/06), menyatakan dukungannya secara terbuka atas model Islam Nusantara."Islam kita adalah Islam Nusantara, Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama, itulah Islam Nusantara, Islam yang penuh toleransi, beliau menyatakan, “Islam Indonesia adalah Islam Nusantara. Islam Nusantara itu lebih baik, lebih ramah, lebih moderat dari Islam Irak, Islam Suriah atau Islam Libya.”" kata Presiden Jokowi.
Selain Presiden Jokowi, suara senada sebelumnya juga disuarakan sejumlah pejabat Indonesia lainnya, termasuk Presiden Jusuf Kalla yang lebih sering memakai istilah Islam Indonesia.
Presiden Joko Widodo saat berpidato dalam membuka Munas alim ulama NU di Masjid Istiqlal, Minggu (14/06), menyatakan dukungannya secara terbuka atas model Islam Nusantara."Islam kita adalah Islam Nusantara, Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama, itulah Islam Nusantara, Islam yang penuh toleransi, beliau menyatakan, “Islam Indonesia adalah Islam Nusantara. Islam Nusantara itu lebih baik, lebih ramah, lebih moderat dari Islam Irak, Islam Suriah atau Islam Libya.”" kata Presiden Jokowi.
Selain Presiden Jokowi, suara senada sebelumnya juga disuarakan sejumlah pejabat Indonesia lainnya, termasuk Presiden Jusuf Kalla yang lebih sering memakai istilah Islam Indonesia.
Tetapi secara hampir bersamaan lahir pula
kritikan dan penolakan terhadap istilah Islam Nusantara, yang diwarnai
perdebatan keras terutama melalui media sosial atau dalam diskusi terbuka.
Secara garis besar, penolakan pada istilah
Islam Nusantara karena istilah itu seolah-olah mencerminkan bahwa ajaran Islam
itu tidak tunggal
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Islam
Nusantara adalah Islam sinkretik yang merupakan gabungan nilai Islam
teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal (non teologis), budaya, dan adat
istiadat di Tanah Air.
2.
Selama ini
banyak para aktivis, lembaga kajian, bahkan sampai lingkungan maasiswa sedang
hangat membicaraan tentang “Islam Nusantara”. Namun dalam ranah diskusi dan
sebagainya belum banyak menempatkan konteks sejarah dalam pembahasannya. Islam
Nusantara merupakan akulturasi budaya-budaya Nusantara yang di-Islamkan dengan
tujuan memberikan dakwah islam yang rahmatan lil alamin. Banyak sekali
literatur bahkan fakta sejarah yang memberikan gambaran bahkan kajian ilmiah
mengenai proses masuknya islam di Indonesia.
3. Adapun cara masuknya Islam di Nusantara melalui
beberapa cara antara lain :
1.Perdagangan
2.
Pendidikan
3. Kultur
Budaya
4. Kekuasaan
4.
Pemunculan istilah Islam Nusantara yang
diklaim sebagai ciri khas Islam di Indonesia yang mengedepankan nilai-nilai
toleransi dan bertolak belakang dengan 'Islam Arab' telah menimbulkan pro dan
kontra di kalangan penganut Islam di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
C.Ricklefs, Sejarah Indonesia Modem (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press,1991)
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (Bandung:
Mizan, 2002) hlm.20-21
P.A. Hosein Djadjadiningrat, “Islam di Indonesia”, dalam
Kennet Morgan, ed., Islam Djalan Mutlak, terj. Abu Salamah, ddk. (Djakarta :
PT. Pembangunan, 1963), hlm. 99-140
Buku Silang Budaya
Tiongkok Indonesia – Prof Kong Yuanzhi
Hasjmy, A., Sejarah
Kebudayaan Islam di Indonesia, cet.1, Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1990.
Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: PT.
Karya Toha Putra, 1994.