BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jawa adalah salah satu pulau di
antara 13.000 pulau di indonesia. Ia menjadi tempat berdomisili sebagian besar
penduduk Indonesia, karena itu pemerintah sudah sejak lama melaksanakan program
transmigran yang dimaksudkan untuk pemerataan tingkat kepadatan penduduk di
samping meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Jawa menjadi pusat perhatian
keindonesiaan karena beberapa istilah yang berasal dari budaya, falsafah, dan
bahasa jawa menjadi simbol bangsa. Beberapa pejabat pemerintah ikut andil dalam
mempopulerkan istilah-istilah tersebut sehingga menjadi simbol bangsa itu.
Istilah pancasila yang merupakan dasar negara berasal dari bahasa Jawa, begitu
juga tulisan yang terpampang pada papan yang dicengkeram kaki burung Garuda,
Bhinneka Tunggal Ika.[1]
Sejak zaman prasejarah penduduk
kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar handal yang sanggup
mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad masehi sudah ada rute-rute pelayaran
dan perdagangan antar kepulauan Indonesia dengan daerah di daratan Asia
Tenggara. Wilayah Barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan
wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil yang dijual disana
menarik para pedagang dan menjadi lintasan penting antara China dan India.[2]
Di pulau jawa, sebelum kedatangan Islam.
Masyarakat di ceritakan masih di pengaruhi oleh kasta, bagian dari sistem yang
mengelompokkan dari golongan dan kelas. Bahwasanya siapa yang dari kelompok
bangsawan atau kaya raya maka mereka akan dimuliakan, sedang yang hanya rakyat
jelata mereka akan dipandang dengan sebelah mata.
Sampai pada abad 1H atau 7M. Islam
mulai dibawa para pedagang Arab melalui pesisir utara sumatera secara damai
dengan kecerdasan dan ketinggian peradaban. Pada perkembangannya orang-orang
pribumi ikut andil dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Masuknya islam ke daerah-daerah di
Indonesia tidak dalam waktu bersamaan. Pada abad ke-7 sampai ke-10 M. Kerajaan
Sriwijaya meluaskan sampai ke Malaka dan Kedah. Hingga sampai akhir abad ke-12
perekonomian sriwijaya mulai melemah. Keadaan seperti ini dimanfaatkan Malaka
untuk melepaskan diri dari Sriwijaya hingga beberapa abad kemudian islam masuk
ke berbagai wilayah Nusantara dan pada abad ke-11 islam sudah masuk di pulau
Jawa.[3]
Dari seluruh perkembangan Islam yang terjadi di Jawa, sesungguhnya
ada dinamika pola yang terstruktur, pola yang dinamis yang menjadi bentuk dari
suatu proses berkembangnya Islam di Jawa.
Maka, penulis disini mengambil sample—yang terbatasi
pada—pola islamisasi di Jawa. Apa saja pola itu, akan dibahas di makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa dan Bagaimana pola Islamisasi di Jawa ?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui Pola Islamisasi di
Jawa
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pola Islamisasi di Jawa
Sebelum
membahas secara khusus pola Islamisasi di Jawa, perlu kiranya menyinggung pola islamisasi atau saluran yang dipakai
pedagang muslim dalam upaya menyebarkan Islam secara umum di kepulauan
Nusantara.
Kedatangan
Islam dan penyebarannyaa kepada golongan bangsawan(ningrat) dan masyarakat
umum (rakyat) bisa disimpulkan berjalan
secara damai. Keterlibatan Islam dalam suatu konflik dengan kekuasaan biasanya
bukan sesuatu yang disengaja, atau direncanakan sejak semula untuk merebut
kekuasaaan. Keterlibatan yang mengatasnamakan agama baru terjadi setelah Islam
secara resmi menjadi dasar ideologi suatu kerajaaan. Namun tidak salahnya
kiranya kalau ditegaskkan bahwa perang yang terjadi itu sebenaarnya bukan
persoalan agama, tetapi hanya dorongan politis untuk merebut dan menguasai
kerajaan yang ada disekitarnya.
Adapun
cara-caraa atau saluran-saluran
islamisasi yang terjadi pada mulaa penyebaran Islam di Indonesia, seperti diungkapkan oleh Uka Tjjandrasasmita dalam
Sejarah Peradaban Islam karangan Badri Yatim, ada beberapa cara. Cara tersebut
diuraikan sebagai berikut. [4]
1.
Perdagangan
Cara
perdagangan adalah cara pertama yang dilakukan oleh para pedagang muslim dari
Gujarat, Persia, dan Arab. Cara ini sangat menguntungkan karena para raja dan
bangsawaan juga turut ambil bagian dalam aktiviitas perdagangan. Juga mereka
mempunyai kapal dan saham. Aktivitas ini terpusat di daerah pesisir utara puau
Jawa, demikian para pedagang asing itu banyak yang bermuim di daerah tersebut.
Mereka juga berhasil mendirikanmasjid sebagai pusat kegiatan keagamaan. Dalam
beberapa masa kemudian juga datang para mulla (sebutan bagi ulama’ Persia) yang
disamping berdagang juga dijadikan sebagai guru spiritual para pedagang. Di
sebgian tempat, bangsmawan-bangsawan yang menjabat sebagai bupati bawahan
Majapahit yang ditempatkan di daerah pesisir itu banyak yang masuk Islam.
Konversi mereka ke Islam, disamping karena faktor gesekan langsung, mungkin
juga karena faktor politik dalam negeri Majapahit sedang dalam goyah.[5]
Proses
islamisasi di Indonesia terjadi dan dipermudah karena adanya dukungan dua pihak:
orang-orang muslim pendatang yang mengajarkan agama Islam dan golongan
masyarakat Indonesia sendiri yang menerimanya. Dalam masa-masa kegoncangan
politik , ekonomi, dan sosial budaya, Islam sebagai agama dengan mudah dapat
memasuki & mengisi masyarakat yang sedang mencari pegangan hidup,
lebih-lebih cara-cara yg ditempuh oleh orang-orang muslim dalam menyebarkan
agama Islam, yaitu menyesuaikan dengan kondisi sosial budaya yang telah ada.
Dengan demikian, pada tahap permulaan islamisasi dilakukan dengan saling
pengertian akan kebutuhan & disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya.
Pembawa dan penyebar agama Islam pada masa-masa permulaan memang golongan
pedagang, yang sebenarnya menjadikan faktor ekonomi perdagangan sebagai
pendorong utama untuk berkunjung ke Indonesia. Hal itu bersamaan waktunya
dengan masa perkembangan pelayaran dan perdagangan internasional antara
negeri-negeri di bagian barat, tenggara, dan timur Asia. Kedatangan
pedagang-pedagang muslim seperti halnya yang terjadi dengan perdagangan sejak
zaman Samudra Pasai dan Malaka yang merupakan pusat kerajaan Islam yang
berhubungan erat dengan daerah-daerah lain di Indonesia, maka orang-orang
Indonesia dari pusat-pusat Islam itu sendiri yang menjadi pembawa dan penyebar
agama Islam ke seluruh wilayah kepulauan Indonesia.[6]
Tata cara
islamisasi melalui media perdagangan dapat dilakukan secara lisan dengan jalan
mengadakan kontak secara langsung dengan penerima, serta dapat pula terjadi
dengan lambat melalui terbentuknya sebuah perkampungan masyarakat muslim
terlebih dahulu. Para pedagang dari berbagai daerah, bahkan dari luar negeri,
berkumpul dan menetap, baik untuk sementara maupun untuk selama-lamanya, di
suatu daerah, sehingga terbentuklah suatu perkampungan pedagang muslim. Dalam
hal ini orang yang bermaksud hendak belajar agama Islam dapat datang atau
memanggil mereka untuk mengajari penduduk pribumi.[7]
2.
Perkawinan
Para
pedagang muslim banyak yang menetap cukup lama di Indonesia. Mereka menikahi
wanita pribumi sebagai putrinya. Sebelum dinikasi, wanita yang belum beragama
Islam diminta masuk. Islam terlebih dahulu. Di antara wanita yang dinikahi
pedagang muslim adalah putri raja atau bangsawan. Khusus pada proses perkawinan
yang melibatkan putri raja atau bangsawan sangat bermanfaat bagi penyebaran
agama Islam. Dengan proses seperti itu, agama Islam menjadi cepat berkembang.
Apabila seorang raja atau adipati sudah masuk Islam maka rakyatnya juga akan
mudah diajak masuk Islam terlebih dahulu. [8]
Secara
ekonomi status para saudagar atau pedagang pendatang lebih baik dari pada warga
pribumi. Warga pribumi akan memiliki kebanggan tersendiri jika anaknya dipinang
dan dijadikan istri para pedagang. Tentu
saja karena syariat Islam mensyaratkan adanya kesamaan akidah, maka sang putri
harus diislaamkan terlebih dahulu. Demikianlah yang terjadi antara raden Rahmad
dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan Putri Kawunganten, Brawijaya
dengan putrid Campa yang melahirkan Raden Patah, Maulana Ishak dengan putri
Raja Blambangan yang melahirkan Sunan Giri, putri Adipati Tuban
(R.A.Teja) dengan Syekh Abdurrahman (muslim arab) yang melahirkan Syekh Jali
(Laleluddin). Dari pernikahan itu, terbentuk ikatana kekerabatan yang kuat dan
lain-lain. Dari pernikahan itu, terbentuk ikatana kekerabatan yang kuat.
Hubungan
perkawinan itu amat besar peranannya dalam proses Islamisasi di Jawa, apalagi
di tengah kehidupan masyarakat Jawa,
raja, adipati atau bangsawan yang dianggap sebagai titisan dewa.
3.
Kesenian
Islamisasi juga dilakukan melalui pertunjukan wayang yang
disisipi ajaran agama Islam. Dengan demikian, masyarakat akan dengan mudah
menangkap dan memahami ajaran Islam. Penyebaran Islam melalui kesenian
contohnya dilakukan oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Panggung memanfaatkan seni
pertunjukan wayang sebagai media dakwah. Kalijaga selalu menyampaikan
pesan-pesan islami dalam pertunjukan wayang ini. Bahkan, ia secara massal
mengajak penonton bersama-sama mengucapkan kalimat syahadat. Cerita wayang
diambil dari kisah Mahabarata dan Ramayana, tetapi oleh Sunan Kalijaga diseliptakan
tokoh-tokoh dari pahlawan Islam. Nama tertentu disebutnya sebagai simbol Islam.
Misalnya, panah kalimasada, sebuah senjata paling ampuh, dihubungkan dengan
kalimat syahadat, pernyataan yang berisi pengakuan kepada Allah swt, dan Nabi
Muhammad Saw. sebagai rukun islam yang pertama. Pesan-pesan islamisasi juga
dilakukan melalui sastra, misalnya kitab primbon pada abad ke-16 M yang disusun
oleh Sunan Bonang. Kitab-kitab tasawuf diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan
bahasa daerah. Babad dan hikayat juga ditulis dalam bahasa daerah dengan huruf
daerah dan Arab.
4.
Pendidikan
Penyebaran
ajaran Islam melalui saluran pendidikan dilakukan melalui pesantren-pesantren.
Proses belajar mengajar di pesantren dibimbing oleh seorang kiai atau ulama.
Murid pesantren atau santri tinggal di dalam pondok atau asrama. Setelah lulus
belajar, para santri pulang ke daerah asalnya. Mereka mempunyai kewajiban
mengajarkan kembali ilmunya kepada masyarakat sektiar. Dengan cara itu, Islam
terus berkembang memasuki daerah-daerah terpencil. Pesantren yang telah berdiri
pada masa pertumbuhan Islam di Jawa, antara lain Pesantren Sunan Ampel di
Surabaya dan Pesantren Sunan Giri di Giri. Pada saat itu, terdapat berbagai
kyai dan ulama yang dijadikan guru agama atau penasihat agama di
kerajaan-kerajaan. Kyai Dukuh adalah guru Maulana Yusuf di Kerajaan Banten.
Kyai Ageng Sela adalah guru dari Jaka Tingkir. Syekh Yusuf merupakan penasihat
agama Sultan Ageng Tirtayasa di Kerajaan Banten.
5.
Politik
Dalam arus
utama pemikiran masyarakat, Raja, adipati, atau para bangsawan lainnya adalah
titisan Dewa. Segala pengucap dan tindakan mereka diyakini sebagai sabda
pandita ratu yang tidak boleh diabaikan. Hubungan antar kerajaan yang
menjadi kemestian sejarah menjadi titik awal mereka membuka diri dengan apa
saja yang terjadi di luar. Ajaran Islam yang sederhana dan telah banyak
mendapat respon akhirnya turut juga mengundang mereka masuk ke dalamnya. Ada
faktor eksternal yang menyebabkan mereka masuk Islam, tapi yang jelas kini mereka berubah haluan
menjadi muslim. Fakta itu akhirnya juga menjadi daya tarik tersendiri bagi
kalangan rakyat yang mengikuti apa yang dilakukan rajanya
Pola
Islamisasi di Jawa mempunyai karakteristik tersendiri disbanding dengan yang terjadi di daerah lain. Kalau di daerah
lain, Islam relative bisa diterima dengan
cepat karena berhadapan dengan
budaya lokal yang masih sederhana [9].
Sementara di Jawa, Islam berhadapan dengan kekuatan budaya yang telah
berkembang dengan amat kompleks, halus, dan rumit. Kebudayaan tersebut terus
dipelihara dan dipertahankan oleh para bangsawan dan kaum ningrat atau
cendekiawan Jawa. Oleh karena itu pola Islamisasi di Jawa berhadapan dengan dua
model kekuatan lingkungan budaya: pertama, kebudayaan para petani lapisan bawah
yng merupakan bagian terbesar masyarakat
yang hidup sederhana dan religi animism-dinamisme, dan kedua, tradisi istana
yang merupakan tradisi agung dengan unsure-unsur filsafaat Hindu-Budhaa yang
memperkaya dan memperhalus budaya dan
tradisi lapisan atas tersebut. [10]
BAB III
KESIMPULAN
Adapun cara-cara atau saluran islamisasi yang terjadi pada
awal mula penyebaran Islam di Indonesia, yakni melalui: Perdagangan,
Perkawinan, Pendidikan, Kesenian dan Politik.
Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan. Kami
menyadari dalam penulisan makalah ini banyak kekurangan. Maka dari itu kritik
dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya.
Semoga makalah ini memberikan manfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah
pada khususnya. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Khalil, Islam Jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi
Jawa,(UIN-Malang: Malang Press, 2008)
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:
Grafindo Persada,1994)
Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam,( Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra,2010)
Sejarah
Perjuangan Persis 1923-1983, Drs. Dadan Wildan Anas
Abdullah, Taufik (Ed). 1991. Sejarah Umat Islam
Indonesia.hal 26-27 Jakarta; Majlis Ulama’ Indonesia.
Simuh, Sufisme Jawa (Yogyakarta : Bentang Budaya,
2002)
[1]
Ahmad Khalil, Islam Jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa,(UIN-Malang:
Malang Press, 2008), hlm.35
[2]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Grafindo Persada,1994),
hlm.191
[3]
Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam,( Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra,2010), hlm. 189-190
[4]
Lihat Badri, Sejarah Peradaban, 201 – 202.
[5]
Khalil M fiil. 2008. Islam Jawa. Hal 75. UIN Malang Prees.
[6]
Sejarah Perjuangan
Persis 1923-1983, Drs. Dadan Wildan Anas
[7]
Ibid
[8]
Abdullah, Taufik(Ed). 1991. Sejarah Umat Islam Indonesia.hal 26-27 Jakarta;
Majlis Ulama’ Indonesia.
[9]
Seperti halnya di Aceh,Islam tidak banyak mengalami hambatan, bahkan segera
diterima dan mendapat dukungan dari pihak Istana. Di kalangan masyarakat
Melayu, Islam memberikan sumbangan huruf arab dan perhitungan tahun hijriyah
untuk mengembaangkan tata-tulis dan sastra melayu. Karena itu, penyebaran
sastra Melayu mendukung penyebaran Islam, demikian pula sebaliknya. Lihat
Simuh, Sufisme Jawa (Yogyakarta : Bentang Budaya, 2002), hal 121.
[10]
Ibid, hal 119