Jumat, 07 Juni 2013

Aku tak sadar bahwa ternyata aku manusia



Di pesantren sederhana ini, ada banyak hal yang membuatku merasa harus slulup untuk selalu menemukan hikmah, nilai-nilai kebenaran, pola sosialitas yang cair agar setiap jejak langkah diriku sebagai manusia semakin tertata dan tidak terjebak pada dua pilihan. Menjadi syetan atau malaikat. Pun seandainya dalam dimensi waktu tertentu terpaksa aku harus mensyetankan  maupun me-malaikatkan diri aku tetap sadar bahwa aku tetaplah seorang manusia. 

Begitu dieksploitirnya pengetahuan agama, sajak-sajak kehidupan, syair-syair Tuhan oleh mereka yang berpengetahuan untuk bergerak bebas padahal telah melampaui batas. Mencari sela ditengah-tengah rintikan hujan, padahal itu mustahil. Sedemikian rupa tingkat kecerdikan manusia hingga ia mampu mempermainkan, berdialektika tentang apa-apa yang menjadi tujuannya. Yang kurasa, semakin cerdas, pintar seseorang semakin pintar pula ia menggunakan kepintarannya dalam hal apa saja. Itulah manusia. 

Manusia itu…

Begitu unik. Heterogensi ke-alamiahannya dalam mengolah tatanan mentalnya, cara berfikirnya, kesadaran dalam bertindak maupun berucapnya diilhami oleh unsur-unsur yang semua makhluk tidak dimilikinya. Malaikat atau iblis, syetan misalnya. Mereka adalah makhluk statis, tidak punya parameter, bangunan prinsip dimana keduanya tak mampu untuk menentukan pilihan-pilihan. Sekalipun malaikat berada di diskotik, berkumpul dengan penjudi, pemabuk, bersenang ria dengan tante-tante girang, ia tetaplah malaikat. Struktur kepribadian, sifat, asas tindak tanduknya, elemen mental dan softwarenya adalah kebaikan. Ia tidak akan berpengaruh sedikitpun terhadap apa saja diluar kebaikan dan kebenaran. Sedikitpun tak kuasa ia melebur dalam keburukan. Tuhan perintahkan malaikat bersujud dalam Ars’ hingga hari kiamat pun, tak akan sejengkal kepalanya mengangkat dari tempat sujudnya.  

Sama halnya dengan Iblis maupun syetan. Seluruh dimensi watak dan mentalnya Tuhan tempatkan dalam nilai yang kita menyebutkan dengan kesesatan, keburukan, kemunafikan. Sebagai penyembang kosmos dunia antara putih dan hitam. Pada kegelapanlah kita akhirnya merindukan cahaya, dengan keburukanlah kita mengenal kebenaran atau kebaikan.
  
Manusia itu…

Dibekali Allah multidimensi karakter, kekuatan, cara pandang, perilaku—dimana semua itu bisa berubah sesuai dengaan waktu. Ia dikaruniai nikmat pilihan. Bisa menjadi malaikat sedetik kemudian mampu menjadi syetan. Allah membekali makhluk sempurna ini dengan akal fikiran. Sebuah chip dengan energy makro yang transparan. Transparan terhadap pengetahuan, hakikat kehidupan karena ia sesungguhnya adalah khalifah, pemimpin. 

Manusia itu…

Punya kecenderungan sifat, potensi yang luar biasa. ia terbekali dengan anatomi tubuh, berbagai indra yang jika dimaksimalkan dengan bener-bener, mau menemukan jati diri dan potensinya ia akan menjadi makhluk luar biasa. Makhluk multi telenta, mampu menerobos kebuntuan-kebuntuan hiruk pikuknya dunia dengan ilmunya, pengetahuan orsinilnya—sebagai manusia. Aku ingin berfikir ngawur kali ini. Pada saatnya nanti, ketika yaumul hisab tiba waktunya manusia akan digilir, diminta pertanguungjawaban atas apa-apa yang ia lakukan di dunia. ia diinterogasi. Apa yang sudah kau lihat dengan matamu, yang kau gerakkan dengan kedua tanganmu, dimana kau langkahkan kakimu, apa yang kau dengar dari kedua telingamu, apa yang dihasilkan oleh cara berfikir akalmu, apa yang kau rasa dengan hatimu. 

Ia tidak akan menjawab semua pertanyaan itu karena yang menjawab adalah seluruh indranya masing-masing. Dari mata hingga kaki berkata jujur, objektif terhadap segala hal-hal yang dilakukan oleh tuannya didunia. Lengkap, catatan-catatan hitam maupun putih tertera jelas dalam penuturan mereka. 

Aku ingin mengatakan. Jika demikian, bukankah seluruh anatomi tubuh dan indra ini hidup, mempunyai ruh. Tidak hanya secara jasad utuh ke-manusiaan kita saja yang tertiup ruh. Maka, temukan kekuatan tanganmu, potensi penglihatanmu, sensivitas pendengaranmu, ketajaman berfikirmu, kedalaman rasa dalam hatimu. Ia menyatu dalam sukma kemanusiaanmu. Mereka hidup dan menunggu perintah kekhalifahanmu. Sebagai manusia, sebagai hamba Tuhan.               

Kuurai sedemikian rupa hikmah-hikmah di pesantren kecil ini. Bergeliat dengan kemalasan, aturan-aturan kultural, hingga pada ritual sunyi yang aku tak mampu menemukan dimana kesunyiannya. 

Anshofa, 27 Rajab 1434/06 Juni 2013