Implementasi dari hadist Nabi yang
membicarakan tentang nafsu sangat bermakna dan mendalam jika benar-benar
dialami oleh sang pelaku dalam proses pencarian hikmah dalam kehidupan. Beberapa abad yang
lalu Nabi Saw pernah bersabda bahwa perang yang paling berat adalah perang
melawan hawa nafsu. Tentunya hawa nafsu
disini mempunyai representasi yang berbeda-beda bagi setiap personal. Namun
dalam subtansi yang sama saya kira. Karena sesungguhnya dalam setiap istilah
diperlukan definisi sebagai penerang atau penjelas untuk sebuah pemahaman. Nah,
pemahaman yang dipaparkan tentunya berbeda karena setiap dalam perbedaan (dalam
konteks pengetahuan) ditimbulkan dari disiplin ilmu yang dikuasai dan dipahami.
Persepsi saya tentang nafsu juga tentunya berbeda dengan anda. Saya contohkan
begini. Saya pada suatu hari umpamanya menghadapi dua keadaan yang saya harus
memilih diantara keduanya, hanya ada satu pilihan diantara dua, Ibu saya sedang
sakit sedangkan ditempat lain pacar saya sedang menunggu untuk dijemput di
terminal atau di bandara, misalnya demikian. Disini kita bisa melihat dengan
jelas dibagian mana saya harus memilih. Sederhana saja, tidak ada orang yang
rela meninggalkan ibunya dalam keadaan demikian hanya karena meninggalkannya
demi seorang pacar yang sesungguhnya
relative untuk dijadikan sebuah alasan. Jika ia memilih ibunya dia berhasil
melawan hawa nafsunya. Namun jika ternyata dia memilih untuk pacarnya, saya
kira kita tahu dia hanya mementingkan hawa nafsunya. Ini persepsi saya sebatas
contoh yang saya coba sederhanakan dengan pendekatan anak muda kebanyakan. Tentunya
pendekatan ini bersifat sebjektif.
Kita patuh terjadap hawa nafsu
Jika berlanjut kepada ranah yang
lebih kompleks dan luas, hawa nafsu selalu mengiringi kita dalam setiap
spectrum kehidupan. Kita melanggar hak-hak peraturan, apapun itu, jika dirasa
memberikan manfaat yang baik lalu kita melanggarnya, ketahuilah bahwa kita
adalah ahlu nafs. dalam konteks mahasiswa misalnya, memprotes dosen
secara berlebihan hanya karena agar mendapat keringanan dan nilai yang baik,
itu pelanggaran. Berdiskusi hanya untuk mempertahankan pendapat, dan tidak
mencari kebenaran, itu pelanggaran. Memplagiat hasil tugas, makalah atau
sejenisnya, itu juga pelanggaran. Ngopi di kantin dan ngluyur tidak membayar,
apalagi. Nah, sesungguhnya kita dikelilingi oleh hal-hal seperti itu, namun
secara sadar atau tidak kita menghiraukannya. Anda punya pilihan untuk berusaha sadar atau tidak.
Hidup kata banyak orang adalah
pilihan. Tidak ada salahnya, yang salah itu jika hidup tidak punya pilihan. Klontang-klantung
ngalor ngidul gak jelas arahnya. Ada temannya ngopi, ikut ngopi, ada
temannya ngaji ikut-ikutan ngaji, ada temannya mele’an bengi, ikut nimbrung. Anda
punya hak penuh dalam menentukan arah jalan anda, mau jadi preman, ya silahkan.
Lo koq silahkan, bukannya dilarang. Jangan suudzon dulu, preman belum tentu
identik dengan orang yang kasar, bertato, misah-misuh, hidupnya di
terminal atau di stasiun, sering malakin
orang. Belum tentu. Bukankah kita bisa menjadi preman surga, bukan preman neraka. Sekalipun agak aneh jika terdengar “preman” tapi koq
preman surga. ya ndak apa-apa kan, kolaborasi antara “preman” dan “surga”, lha
wong cuma masalah kebahasaan. Yang penting titik subtansinya tetap mengarah pada
kebaikan. sekali lagi, sebuah pilihan menentukan tata hidup kita sebagai
manusia. Memilih baik dan buruk, diperbudak nafsu atau memperbudak nafsu,
menjadi preman “yang” surga atau preman “yang” neraka.
Hanya ada dua
dintara satu pilihan, terkadang jika ingin mencari-cari alasan, diambilnya dua
pilihan sebagai perbaikan. Kembali pada contoh
diatas, memilih ibu atau pacar. Orang yang dalam ranah mencari-cari alasan akan mengatakan “kan kita bisa
menjemput pacar, habis itu kita menjenguk ibu”. Nah, kita masih model seperti
itu. Saya, anda, dan semuanya. Kita belum menemukan satu titik subtansial yang
mengakar.
Live is choice. Just one choice.
Malang,
16 Maret 2011