Aku tak bisa mereka-reka, minimal sedikit
mengeja dimana sesungguhnya pola, formula, yang beliau inginkan. Bukan pesimis
atau bagaimana, hanya saja pembuatan system, aturan, polese, itu tidak
main-main. Harus ada beberapa fihak yang harus duduk bersama, melingkar, untuk
mencari, merumuskan bagaimana sesungguhnya formula yang akan dipakai. Tidak untuk
sesaat, namun panjang ke depan demi kemaslahatan bersama.
Kepengurusan santri sudah dibentuk. Beliau
sendiri yang melegitiminasi siapa-siapa dari teman-teman yang ditaruh di ini,
di bagian itu. Siapa lurah pondoknya, siapa ketua pondoknya, apa yang menjadi
orientasi pesantren ini, dan lain-lain. Beliau sendiri yang ‘me-wisuda’ pengurus
baru dihadapan santri-santri. Yang kurasa, teman-teman benar-benar senang
karena diberi kepercayaan untuk berkontribusi pada pesantren. Pesantren yang
masih berusia sangat muda ini.
Sebelumnya, Handoko dan Agung mengajakku
bicara serius. Bahwa akan ada pergantian pengurus, agar ada putaran dinamika
yang berjalan. bahwa jika instisusi, lembaga, pesantren, termanage dengan rapi,
baik, dan tertata, maka orientasi perjalanan ke depan akan mudah dijalankan. Tidak
hanya kepemimpinan kultural, tapi juga structural.
Handoko meminta agar aku bersedia,
berkenan, menggantikan dirinya sebagai ketua pondok. Ini murni bukan karena
keinginan pribadinya, tapi atas mandate pengasuh. Aku tak mengiyakan juga tak
menolaknya. Kujelaskan padanya, bahwa tak boleh secepat ini keputusan harus
diambil. Apalagi menyangkut kepengurusan. Harus dirapatkan dengan baik, sabar,
serius, dicari dan dihitung dengan detail seberapa kemaslahatan yang didapat
jika keputusan pengasuh langsung dijalankan. Menggaris kebawah, bagaimana sikap
teman-teman yang selama ini sudah sangat saling bersahabat. Tiada lagi
sungkan-sungkanan, siapa yang di-aji, dihormati. Ya itu, sudah saking akrabnya.
Jadi sulit rasanya harus menata kepemimpinan structural.
Agak alot. Aku berkelakar, sedikit
membantah bahwa aku akan bantu apapun terkait kepentingan pesantren. apapun
saja. Tapi untuk menjadi ketua pondok, aku benar-benar menolak. Akhir itu,
diputuskanlah Kang Jamal yang menaungi teman-teman, mengkomandoi pesantren
sederhana ini ke depan. Paling tidak, selama ini Kang Jamallah yang menjadi
uswah, perilakunya ndak macem-macem, ia pulalah yang menjadi Imam sholat di
pesantren.
Lima bulan ini kepengurusan sudah
berjalan. Tidak buruk. Aktivitas setoran, mudarrosah, fashohah, menjadi inti semangat
teman-teman. Agak divariasi biar tak bosan, dijembatanilah wadah mereka sebagai
mahasiswa, sebagai kaum intelektual. Diskusi, debat, apresiasi seni menjadi
pelengkap yang memadai, memadu, karena disitulah mereka bergulat pengetahuan,
mengolah wacana, mengaktualisasikan diri.
System yang dibangun perlahan menentukan
arah yang ingin dicapai. Formula yang dipetakan teman-teman di raker membuat
kepengurusan menjadi hidup. Namun, itu ternyata tidak lama.
Kepengurusan yang belum selesai ini,
akhir episode harus di-cut. Dengan pengambilalihan sepihak dan tidak fair. Kami
tidak diajak rembuk, ujug-ujug sudah ada perubahan baru yang mau tidak mau
semua harus nurut.
Seorang teman berkata ‘ Piye to karepe,
mencla-mencle gak jelas’
Ya sudahlah. Semua diam, bisu, dan
kembali beraktivitas sedia kala. Hambar, sepi, dan serasa ada yang hilang.
Malang, 23 Agustus 2013