Sabtu, 08 September 2012

Shiratal Mustaqim


            Hari ini kuurai sebuah kehidupan baru, awal sebuah kisah seorang yang sedang mencari dirinya. Dia ini tersesat dengan akal dan hatinya sendiri. Manusia itu diciptakan Tuhan untuk selalu berfikir. Terhadap apa saja. Dengan segmentasi yang heterogen ini, kalau manusia tidak bisa menggurui dirinya sendiri dengan software pemberian Tuhan yang bernama akal, ia laksana robot, berjalan kesasna kemari linglung, buta realita dan bisu keadaan. Akal adalah ruang, dimana semua ilmu, hikmah, kebijaksanaaan, rasa bersalah, atau apapun saja ngrumpel menjadi satu. Maka ia harus digali, direnungi.  Afala tatafakkarun, tadzakkarun, Takqilun kata Tuhan.  Loh..sampai mana ini. Kita kembali ke pemuda tadi. Pemuda ini mencoba mencari dirinya dengan sliwar-sliwer, grusak-grusuk ke semua segment organ disekelilingnya. Berharap, dengan grusak-grusuknya itu, dia akan mendapatkan sebuah “nubuwwah” dari Tuhan, berharap menemukan hikmah mengapa, bagaimana, dan siapa sebetulnya dirinya ini. Lebih tepatnya ini adalah proses  tentang pencarian jati diriku, yang sampai hari ini aku tak tahu, bahkan mengapa aku harus mau tahu tentang semua ini.
            Ku lalui tiga tahun setengah ini dengan foya-foya, bergelut dengan ketidakadilan realita, menjadi sok pahlawan bagi orang, bergelut dengan semua strata sosial, preman, ustadz, rektor, pengamen, mahasiswa akademis, aktivis kampus, tukang tambal ban, ayam kampus dan lain-lain. Kesemuanya itu hanya ingin kuungkapkan padamu bahwa sesungguhnya beragam model manusia dengan segala sifat dan karakternya memunculkan satu kesimpulan yaitu : keingintahuan.
                Keingintahuan itu menandakan bahwa didalam diri manusia terdapat ketidakpuasan. Maka, ia melarikan dirinya, akal dan hatinya ketempat dimana ia akan merasa nyaman. Namun belum tentu ketika dia bergelut dengan kenyamannya, ia lantas merasa bahagia. Minum es itu nikmat, tapi kalau pilek, batuk awakmu ngombe es, yo tambah ngelu.  Anda harus mulai meluangkan fikiran anda untuk menemukan hikmah baru bahwa tempat yang nyaman belum tentu membuat anda menemukan kebahagiaan.
            Tiga tahun setengah, kuhabiskan diriku, kepuas-puaskan hasratku, kuhambur-hamburkan nafsu dan waktuku di organisasi. Ekstra maupun intra. Sangat kunikmati dunia ini. Aku ini orangnya agak anti dengan apapun yang bersifat teoritis. Ia hanyalah teks kosong, tanpa makna. Lihat itu, banyak orang ngomong ngalor-ngidul dengan gagahnya, dengan gelar-gelarnya, teori ini teori itu tapi ya hanya sekedar ngomong, suruh kerja dilapangan, melihat realita yang ada, tandang gawe di sekitarnya, ia hanya ngowoh tak mau tahu. Maka, dari pengalamanlah, gejala sosiallah aku menemukan teori, bukan dari teori baru aku akan beraktualisasi. Ini tafsiran subjektif dari keterbatasan akalku, dari kesederhanaan cara berfikirku.
            Kulalui kuliahku dengan berbagai macam proses empiris. Di HMJ PBA (Himpunan Mahasiswa Jurusan), SEMA (Senat Mahasiswa), Jurnalis kampus “Suara Akademika”, maupun dunia ekstra yang penuh dengan dialektika intelektual, spiritual, kebudayaan sosial dan lain-lain. Diam-diam kurelungi lorong baru dunia ini dengan menjadi aktivis PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) organ yang “mengaku” berideologi ahlu sunnah wal jamaah, berwatak moderat, toleran, seimbang, dan adil. Dunia ini sangat kunikmati. Pelbagai pengalaman, macam persoalan, model teman-teman seperjuangan, selalu mengiri langkahku. Dari sini kudapati berbagai ilmu baru yang tidak kudapati di bangku kuliah. Maka, bisa kupastikan setiap semester rata-rata aku hanya masuk dua sampai tiga kali, selebihnya absen. Diriku menjadi makhluk bebas dan merdeka. Ideologiku adalah ideology pembebasan, aturan dibuat untuk dilanggar, dan larangan dibuat untuk dikerjakan. Terbalik sudah cara berfikir ini.
            Disaat teman-teman kuliah, belajar, melakukan penelitian, eksperimen kecil-kecilan, mengerjakan makalah atau apapun saja, diam-diam kursakan satu tusukan-tusukan kecil di hati, satu rasa dimana aku hanya menertawakan drama teatrikal yang sedang terjadi di hadapanku. Dunia sosial mengajarkanku akan kepedulian, kasih sayang akan sesama, kepekaan realita, menolong konco sebelah yang tak bisa makan, nulungi­ sahabat yang kesusahan, melek kondisi disekitar, kritis terhadap kebijakan yang semua itu tidak aku dapatkan di ruang kelas. Di ruang yang hanya berukuran 12 m x 10 itu aku hanya dijejalkan ilmu-ilmu kosong, beterbangan tanpa makna. Kuamati benar-benar, konco-konco mahasiswa yang benar-benar akademis diam-diam dia menjadi individualis. Yang terfikir di otak dan hatinya adalah liniersi tujuan. Tugas, nilai, belajar, berputar pada itu saja. Tak bisa dia sedikit meluangkan waktu dan fikirannya untuk sedikit mengenal dan mengamati lebih jauh bahwa dunia ini tidak hanya sebatas huruf, aksara, dan abjad. Dunia ini penuh dengan seni, musikalisasi, irama, estetika gelombang yang hanya mereka yang peduli dengan sesama bisa merasakannya.
            Maka, ketika aku masuk kuliah yang kulakukan hanyalah ngisruh. Membuat onar dan gaduh. hehehe. Jika bosan, aku izin ke kamar kecil dan tak kembali lagi. Kau tahu kawan, hidupku selama tiga tahun di kampus hanya seperti ini. Bosankah? tidak, aku justru tambah menjadi-jadi. Aku sangat percaya dengan filosofi, bahwa puncak kenakalan adalah dimana kau sudah merasa bosan dengan kenakalanmu. Tapi aku belum bosan, aku masih ingin mencerca ketidakadilan, menantang siapa saja yang merasa “sok”, aku tak tahu siapa diriku karena sesungguhnya aku memang sedang mencari diriku.     
Ihdina Shiratal Mustaqim. Wahai Tuhan, tunjukkan jalan yang lurus.
Malang, Sepetember 2012