Hari ini kuurai sebuah kehidupan baru, awal sebuah kisah
seorang yang sedang mencari dirinya. Dia ini tersesat dengan akal dan hatinya
sendiri. Manusia itu diciptakan Tuhan untuk selalu berfikir. Terhadap apa saja.
Dengan segmentasi yang heterogen ini, kalau manusia tidak bisa menggurui
dirinya sendiri dengan software pemberian Tuhan yang bernama akal, ia laksana
robot, berjalan kesasna kemari linglung, buta realita dan bisu keadaan. Akal
adalah ruang, dimana semua ilmu, hikmah, kebijaksanaaan, rasa bersalah, atau
apapun saja ngrumpel menjadi satu. Maka ia harus digali, direnungi. Afala tatafakkarun, tadzakkarun, Takqilun
kata Tuhan. Loh..sampai mana ini. Kita
kembali ke pemuda tadi. Pemuda ini mencoba mencari dirinya dengan sliwar-sliwer,
grusak-grusuk ke semua segment organ disekelilingnya. Berharap, dengan grusak-grusuknya
itu, dia akan mendapatkan sebuah “nubuwwah” dari Tuhan, berharap menemukan
hikmah mengapa, bagaimana, dan siapa sebetulnya dirinya ini. Lebih tepatnya ini
adalah proses tentang pencarian jati
diriku, yang sampai hari ini aku tak tahu, bahkan mengapa aku harus mau tahu
tentang semua ini.
Ku lalui tiga tahun setengah ini dengan foya-foya, bergelut dengan
ketidakadilan realita, menjadi sok pahlawan bagi orang, bergelut dengan semua
strata sosial, preman, ustadz, rektor,
pengamen, mahasiswa akademis, aktivis kampus, tukang tambal ban, ayam kampus
dan lain-lain. Kesemuanya itu hanya ingin kuungkapkan padamu bahwa sesungguhnya
beragam model manusia dengan segala sifat dan karakternya memunculkan satu
kesimpulan yaitu : keingintahuan.
Keingintahuan
itu menandakan bahwa didalam diri manusia terdapat ketidakpuasan. Maka, ia
melarikan dirinya, akal dan hatinya ketempat dimana ia akan merasa nyaman.
Namun belum tentu ketika dia bergelut dengan kenyamannya, ia lantas merasa
bahagia. Minum es itu nikmat, tapi kalau pilek, batuk awakmu ngombe es, yo
tambah ngelu. Anda harus mulai
meluangkan fikiran anda untuk menemukan hikmah baru bahwa tempat yang nyaman
belum tentu membuat anda menemukan kebahagiaan.
Tiga tahun setengah,
kuhabiskan diriku, kepuas-puaskan hasratku, kuhambur-hamburkan nafsu dan
waktuku di organisasi. Ekstra maupun intra. Sangat kunikmati dunia ini. Aku ini
orangnya agak anti dengan apapun yang bersifat teoritis. Ia hanyalah teks
kosong, tanpa makna. Lihat itu, banyak orang ngomong ngalor-ngidul
dengan gagahnya, dengan gelar-gelarnya, teori ini teori itu tapi ya hanya
sekedar ngomong, suruh kerja dilapangan, melihat realita yang ada, tandang
gawe di sekitarnya, ia hanya ngowoh tak mau tahu. Maka, dari
pengalamanlah, gejala sosiallah aku menemukan teori, bukan dari teori baru aku
akan beraktualisasi. Ini tafsiran subjektif dari keterbatasan
akalku, dari kesederhanaan cara berfikirku.
Kulalui kuliahku dengan berbagai macam proses empiris. Di
HMJ PBA (Himpunan Mahasiswa Jurusan), SEMA (Senat Mahasiswa), Jurnalis kampus
“Suara Akademika”, maupun dunia ekstra yang penuh dengan dialektika
intelektual, spiritual, kebudayaan sosial dan lain-lain. Diam-diam kurelungi lorong
baru dunia ini dengan menjadi aktivis PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia) organ yang “mengaku” berideologi ahlu sunnah wal jamaah, berwatak
moderat, toleran, seimbang, dan adil. Dunia ini sangat kunikmati. Pelbagai
pengalaman, macam persoalan, model teman-teman seperjuangan, selalu mengiri
langkahku. Dari sini kudapati berbagai ilmu baru yang tidak kudapati di bangku
kuliah. Maka, bisa kupastikan setiap semester rata-rata aku hanya masuk dua
sampai tiga kali, selebihnya absen. Diriku menjadi makhluk bebas dan merdeka. Ideologiku
adalah ideology pembebasan, aturan dibuat untuk dilanggar, dan larangan dibuat
untuk dikerjakan. Terbalik sudah cara berfikir ini.
Disaat teman-teman kuliah, belajar, melakukan penelitian,
eksperimen kecil-kecilan, mengerjakan makalah atau apapun saja, diam-diam
kursakan satu tusukan-tusukan kecil di hati, satu rasa dimana aku hanya
menertawakan drama teatrikal yang sedang terjadi di hadapanku. Dunia sosial
mengajarkanku akan kepedulian, kasih sayang akan sesama, kepekaan realita, menolong konco sebelah yang tak bisa
makan, nulungi sahabat yang kesusahan, melek kondisi disekitar,
kritis terhadap kebijakan yang semua itu tidak aku dapatkan di ruang kelas. Di
ruang yang hanya berukuran 12 m x 10 itu aku hanya dijejalkan ilmu-ilmu kosong,
beterbangan tanpa makna. Kuamati benar-benar, konco-konco mahasiswa yang
benar-benar akademis diam-diam dia menjadi individualis. Yang terfikir di otak
dan hatinya adalah liniersi tujuan. Tugas, nilai, belajar, berputar pada itu
saja. Tak bisa dia sedikit meluangkan waktu dan fikirannya untuk sedikit
mengenal dan mengamati lebih jauh bahwa dunia ini tidak hanya sebatas huruf,
aksara, dan abjad. Dunia ini penuh dengan seni, musikalisasi, irama, estetika
gelombang yang hanya mereka yang peduli dengan sesama bisa merasakannya.
Maka, ketika aku masuk
kuliah yang kulakukan hanyalah ngisruh. Membuat onar dan gaduh. hehehe.
Jika bosan, aku izin ke kamar kecil dan tak kembali lagi. Kau tahu kawan,
hidupku selama tiga tahun di kampus hanya seperti ini. Bosankah? tidak, aku
justru tambah menjadi-jadi. Aku sangat percaya dengan filosofi, bahwa puncak
kenakalan adalah dimana kau sudah merasa bosan dengan kenakalanmu. Tapi aku
belum bosan, aku masih ingin mencerca ketidakadilan, menantang siapa saja yang
merasa “sok”, aku tak tahu siapa diriku karena sesungguhnya aku memang sedang
mencari diriku.
Ihdina Shiratal Mustaqim. Wahai Tuhan, tunjukkan jalan yang lurus.
Malang, Sepetember 2012