Senin, 10 September 2012

Ibda’ Bi Nafsika. Sepatu Vs Sandal


            Rasulullah mengajarkan kepada umatnya tentang satu metode interaksi yang sangat mendalam, mencakup kohesitas antara hubungan manusia dan tuhan, terselip disitu sebuah pendidikan mental, personal, yang kyai-kyai dipesantren menyebutnya dengan “Ibda’ Binafsika” mulailah dari dirimu sendiri kira-kira begitu terjemahannya. Ada titik temu yang bersifat vertical dimana sesungguhnya manusia adalah guru bagi dirinya sendiri. Mandataris bagi akalnya, hatinya, jiwanya sendiri. “Ibda’ Binafsika” seakan menyindir, meraba sisi sensitivitas kita bahwa ternyata kita diam-diam dan secara tak sadar menjadi munafik, nggaya, pamer udel, merasa paling dintara yang paling dan lain-lain.

             Ibda Binafsika itu idiom, sketsa, layaknya dalil sebagai legitimasi hukum. Siapapun saja mudah mengeksekusi orang dengan cara yang ia bisa. Kalau kyai, ulama’, ustadz pengeksekusian dalam menyampaikan ayat-ayat Allah adalah dengan berdakwah. Berdakwahnya kyai, ulama’, dan ustadz dikebudayaan kita adalah dengan model pengajian, ceramah, kultum, dan lain-lain. Dengan beragam segmentasi yang ada, semua manusia dengan kepasitas keilmuannya sesungguhnya wajib berdakwah, amar ma’ruf nahi munkar, menjaga keamanan, atau apapun saja dengan satu tujuan horizontal, titik tauhid yaitu agar ia mendapatkan ridho, ma’unah Allah Swt.
            Namun, sebelum anda mulai berdakwah, memimpin, terjun ke medan, seyogyanya pahami dan buatlah pemetaaan atau juga daftar tentang seberapa kekuatan, kelemahan dan kebertahanan anda di lapangan. Minimal apa yang akan anda dakwahkan, sampaikan, kalau bisa itu semua lulus, sudah bukan proses tapi sudah menuai finishing pada diri anda sendiri. Kita ini kan gayanya masya allah, nggaya sekali pokoknya. Seakan merasa paling benar dan agaknya kita ini banyak sekali menjustivikasi kesalahan orang, padahal kesalahan itu benar-benar menempel dan tergambar jelas di jidat kita. Sebuah pengalaman menarik ketika saya menjumpai sahabat saya di perpustakaan. Biar lebih estetis, saya urai kisah ini dengan bentuk cerita.
            Seorang mahasiswa di sebuah perpustakaan pusat sedang tergopoh-gopohnya. Dia ini sudah semester tua, ingin memperbaiki sisa akademiknya dengan mencoba rajin ke perpus. Karena selama kuliah baru kali ini, disemester tiga belas ini ia baru melangkahkan kakinya ke pintu perpus. Sungguh luar biasa. Semangat sekali dia ini, teman-teman sejawat yang kebetulan mengenalnya sedikit terheran-heran.
            Dungaren awakmu nang kampus mbol” sapa salah seorang temannya
            “ Hehehehe” dia hanya nyengir   
             “Cie cie cie…rajine rek, tak dungakno ndang lulus yo” temannya yang lain menimpal
            Hatinya benar-benar bahagia, niat mulianya seakan didengar Tuhan. Doanya ketika itu :
 Ya Tuhan, hamba ini sudah tua moso’ yo belum selesai-selesai. Mau kekampus saja hamba harus mikir seribu kali. Ya Allah, kupaksakan kakiku ini ke perpus, dengan harapan semoga ketika mataku menatap buku-buku yang penuh ilmu, semangatku akan terpacu. Ya Tuhan, dengarkan do’aku. Amin.  
            Selesai berdo’a, hatinya, akalnya, semangatnya semakin mantap melangkah. Ternyata banyak yang berubah, perpus yang dulu tradisional sekarang berubah menjadi digital. Sungguh kemajuan yang sangat pesat. Ketika dia masuk ke ruang perpus lantai satu itu, tiba-tiba ia dibentak.
            “ Hei..Mas yang pake baju hitam, keluar dari perpus” Teriak seseorang
Ia menoleh, ternyata pegawai perpus yang membentaknya.
            Loh loh, ono opo to pak, koq aku disuruh keluar” katanya santai
            “ Pokonya kamu keluar dari perpus, kalau ke perpus itu harus pake sepatu Mas, bukan pakek sandal “
            “Loh, apa hubungannya sandal dengan perpus Pak” 
            “ Kamu itu dibilangin koq ngeyel , cepat keluar dan ganti sepatu dulu baru masuk perpus”
Sebenarnya kalau Gitok mau, ia bisa saja ngeyel se-ngeyelnya beradu mulut dengan pegawai perpus itu. Tapi ia sudah kadung down, semangatnya luntur, dan ia ingin segera pergi. Sebelum pergi ia sempat menatap si pegawai dan melihat ternyata si pegawai itu juga tak memakai sepatu, sama persis seperti dirinya memakai sandal. Bahkan lebih buruk dari sandal yang dikenakannya.
            Ya Allah…..
            Apakah pendidikan melahirkan dikotomi-dikotomi antar manusia? Bukankah pendidikan itu mencerdaskan, memberikan contoh yang baik, mengamalkan ilmu yang sudah difahami, berkata baik, dan lain-lain. Bukankah pendidikan itu bahasa arabnya Tarbiyah masdar dari Rabba-Yurabbi yang berarti mendidik. Mendidik itu, kalau anda menyuruh orang agar tidak merokok, maka anda pun sudah mencontohknnya dengan juga tidak merokok. Mendidik itu, kalau Pak Rektor mengajak semua pegawainya shalat berjama’ah, maka Pak Rektor pun mencontohkannya dengan juga shalat berjamaah. 
            Dan mendidik itu, kalau menyuruh orang pakai sepatu, maka anda pun jangan pakai sandal. Ibda’ Bi Nafsika.
Malang, September 2012