Rasulullah mengajarkan kepada umatnya tentang satu metode
interaksi yang sangat mendalam, mencakup kohesitas antara hubungan manusia dan
tuhan, terselip disitu sebuah pendidikan mental, personal, yang kyai-kyai
dipesantren menyebutnya dengan “Ibda’ Binafsika” mulailah dari dirimu sendiri
kira-kira begitu terjemahannya. Ada titik temu yang bersifat vertical dimana
sesungguhnya manusia adalah guru bagi dirinya sendiri. Mandataris bagi akalnya,
hatinya, jiwanya sendiri. “Ibda’ Binafsika” seakan menyindir, meraba sisi
sensitivitas kita bahwa ternyata kita diam-diam dan secara tak sadar menjadi
munafik, nggaya, pamer udel, merasa paling dintara yang paling dan
lain-lain.
Ibda Binafsika itu
idiom, sketsa, layaknya dalil sebagai legitimasi hukum. Siapapun saja mudah
mengeksekusi orang dengan cara yang ia bisa. Kalau kyai, ulama’, ustadz
pengeksekusian dalam menyampaikan ayat-ayat Allah adalah dengan berdakwah.
Berdakwahnya kyai, ulama’, dan ustadz dikebudayaan kita adalah dengan model
pengajian, ceramah, kultum, dan lain-lain. Dengan beragam segmentasi yang ada,
semua manusia dengan kepasitas keilmuannya sesungguhnya wajib berdakwah, amar
ma’ruf nahi munkar, menjaga keamanan, atau apapun saja dengan satu tujuan
horizontal, titik tauhid yaitu agar ia mendapatkan ridho, ma’unah Allah Swt.
Namun, sebelum anda mulai berdakwah, memimpin, terjun ke
medan, seyogyanya pahami dan buatlah pemetaaan atau juga daftar tentang
seberapa kekuatan, kelemahan dan kebertahanan anda di lapangan. Minimal apa
yang akan anda dakwahkan, sampaikan, kalau bisa itu semua lulus, sudah bukan
proses tapi sudah menuai finishing pada diri anda sendiri. Kita ini kan
gayanya masya allah, nggaya sekali pokoknya. Seakan merasa paling benar dan agaknya
kita ini banyak sekali menjustivikasi kesalahan orang, padahal kesalahan itu
benar-benar menempel dan tergambar jelas di jidat kita. Sebuah pengalaman
menarik ketika saya menjumpai sahabat saya di perpustakaan. Biar lebih estetis,
saya urai kisah ini dengan bentuk cerita.
Seorang mahasiswa di sebuah perpustakaan pusat sedang
tergopoh-gopohnya. Dia ini sudah semester tua, ingin memperbaiki sisa akademiknya
dengan mencoba rajin ke perpus. Karena selama kuliah baru kali ini, disemester tiga
belas ini ia baru melangkahkan kakinya ke pintu perpus. Sungguh luar biasa.
Semangat sekali dia ini, teman-teman sejawat yang kebetulan mengenalnya sedikit
terheran-heran.
“Dungaren awakmu nang kampus mbol” sapa salah
seorang temannya
“ Hehehehe” dia hanya nyengir
“Cie cie cie…rajine
rek, tak dungakno ndang lulus yo” temannya yang lain
menimpal
Hatinya benar-benar bahagia, niat mulianya seakan
didengar Tuhan. Doanya ketika itu :
Ya Tuhan, hamba ini sudah tua moso’ yo
belum selesai-selesai. Mau kekampus saja hamba harus mikir seribu kali. Ya
Allah, kupaksakan kakiku ini ke perpus, dengan harapan semoga ketika mataku
menatap buku-buku yang penuh ilmu, semangatku akan terpacu. Ya Tuhan, dengarkan
do’aku. Amin.
Selesai berdo’a, hatinya, akalnya, semangatnya semakin
mantap melangkah. Ternyata banyak yang berubah, perpus yang dulu tradisional
sekarang berubah menjadi digital. Sungguh kemajuan yang sangat pesat. Ketika
dia masuk ke ruang perpus lantai satu itu, tiba-tiba ia dibentak.
“ Hei..Mas yang pake baju hitam, keluar dari perpus”
Teriak seseorang
Ia menoleh, ternyata
pegawai perpus yang membentaknya.
“ Loh loh, ono opo to pak, koq aku disuruh keluar”
katanya santai
“ Pokonya kamu keluar dari perpus, kalau ke perpus itu
harus pake sepatu Mas, bukan pakek sandal “
“Loh, apa hubungannya sandal dengan perpus Pak”
“ Kamu itu dibilangin koq ngeyel , cepat keluar
dan ganti sepatu dulu baru masuk perpus”
Sebenarnya kalau Gitok
mau, ia bisa saja ngeyel se-ngeyelnya beradu mulut dengan pegawai
perpus itu. Tapi ia sudah kadung down, semangatnya luntur, dan ia ingin
segera pergi. Sebelum pergi ia sempat menatap si pegawai dan melihat ternyata
si pegawai itu juga tak memakai sepatu, sama persis seperti dirinya memakai
sandal. Bahkan lebih buruk dari sandal yang dikenakannya.
Ya Allah…..
Apakah pendidikan melahirkan dikotomi-dikotomi antar
manusia? Bukankah pendidikan itu mencerdaskan, memberikan contoh yang baik,
mengamalkan ilmu yang sudah difahami, berkata baik, dan lain-lain. Bukankah
pendidikan itu bahasa arabnya Tarbiyah masdar dari Rabba-Yurabbi
yang berarti mendidik. Mendidik itu, kalau anda menyuruh orang agar tidak
merokok, maka anda pun sudah mencontohknnya dengan juga tidak merokok. Mendidik
itu, kalau Pak Rektor mengajak semua pegawainya shalat berjama’ah, maka Pak
Rektor pun mencontohkannya dengan juga shalat berjamaah.
Dan mendidik itu, kalau menyuruh orang pakai sepatu, maka
anda pun jangan pakai sandal. Ibda’ Bi Nafsika.
Malang, September 2012