Minggu, 30 September 2012

1000 hari wafatnya Gus Dur Sebuah paradigma kebangsaan dan keislaman plural**


            Tanggal 27-29 September 2012 di Pondok Pesantren Tebuireng sedang marak diadakannya peringatan 1000 hari wafatnya KH.Abdurahman Wahid atau yang sering disapa Gusdur. Peringatan ini bukanlah yang kali pertama diadakan, sebelumnya ketika peringatan 100 hari wafatnya Gus Dur, acara yang sama juga diselenggarakan. Komplek pesantren Tebuireng yang sudah mengalami perluasan arena semenjak era kepengasuhan Gus Shalahudin Wahid ini agaknya menjadi altar yang pas untuk acara-acara besar. Khususnya peringatan 1000 hari wafatnya Gus Dur pada hari ini (27/09/ 2012). Diberbagai segmen seminar, diskusi, bahkan di peringatan 1000 hari wafatnya beliau ini sosok kharismatik, kontroversi, dan seringkali dianggap nyleneh ini seakan tiada habis untuk selalu dikupas, dikaji,dan diulas dari hari ke hari. Terlepas dari sisi kelebihan dan kekurangannya sebagai manusia, semoga beliau mendapat tempat yang terbaik di sisiNya. Amin. 


            Peringatan 1000 hari wafatnya mendiang Gus Dur ini agaknya merupakan satu testimony kebangsaan yang dibalut dengan spiritualitas islam yang dibawanya. Sepak terjang Gus Dur sebagai tokoh pluralis, nasiolis menempatkan beliau sebagai tonggak pemersatu bangsa dari segala macam latar belakang masyarakat yang dibelanya.  Kita tentu tidak lupa dengan pembelaan-pembelaaan Gus Dur terhadap kelompok-kelompok minoritas yang selalu menjadi justivikasi kesalahan dari masyarakat dan isu nasional. Atas nama Harmonisasi keindonesiaan inilah yang melatarbelakangi Gus Dur dalam membela siapapun saja tidak pandang dari suku, ras, agama dan golongan. Kita sangat ingat betul bagaimana kelompok keturunan Tionghoa menjadi satu diantara kelompok-kelompok/personal lain yang merasakan pembelaan Gus Dur. Ketika menjabat sebagai presiden, Gus Dur mengeluarkan PP. No 6 tahun 2000 yang mencabut Inpres no. 14 tahun 1967. Kebijakan Gus Dur membuka kran kebebasan budaya dan agama bagi masyarakat Tionghoa Indonesia, yang sebelumnya terkekang oleh represi penguasa Orde Baru. Peran Gus Dur ini mengembalikan eksistensi warga Tionghoa di Indonesia. Tradisi, kepercayaan, dan pandangan hidup warga Tionghoa di Indonesia kembali terangkat. Kebijakan Gus Dur ini menjadi bagian dari politik identitas, untuk mencipta harmoni keindonesiaan dan tentunya kebangsaan.

            Begitupun dengan corak spirit keislaman yang terbalut dalam diri seorang Gus Dur. Corak keislaman beliau adalah sebuah proses pengembaraan, dimana Gus Dur mengalami berbagai macam akulturasi pemikiran dari masa ke masa. Diakui oleh Gus Dur bahwa di masa mudanya, di tahun-tahun 1950-an, ia mengikuti jalan pikiran Ikhwanul Muslimun, sebuah kelompok Islam “garis keras” yang pengaruhnya juga sampai ke Jombang, Jawa Timur. Bahkan Gus Dur juga ikut aktif dalam gerakan Ikhwanul Muslimun di kota kelahirannya itu. Lalu pada tahun1960-an, Gus Dur tertarik untuk mendalami nasionalisme dan sosialisme Arab di Mesir dan Irak, tepatnya ketika ia menjadi mahasiswa di Universitas Al-Azhar, Kairo dan Universitas Baghdad, Irak. Pengalaman menimba ilmu di kedua Negara tersebut tentu berpengaruh terhadap perkembangan pemikirannya. Namun setelah kembali ke Indonesia di tahun 1970-an, Gus Dur melihat perkembangan dan dinamika baru Islam yang berbeda dengan di Timur Tengah. Ia melihat realitas bahwa Islam sebagai jalan hidup (syari’at) bisa belajar dan saling mengambil berbagai ideology non-agama, bahkan juga pandangan dari agama-agama lain

            Pengembaraan intelektual dan sipiritual keislaman inilah yang akhirnya mengerucut menghasilkan pemikiran progresif yang teridiomatik dengan sebutan “Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita”. Bahwa representasi dari islamku adalah ketika kebenaran didapat dari sebuah pengalaman, bukan keyakinan. Kebenaran seperti ini tidak bisa dipaksakan agar semua orang juga meyakininya sebagai kebenaran, karena ia bersifat subjektif. Jika anda suatu kali menemukan sekelompok orang, madzhab dengan ijtihad dan dalil baru bahwa shalat Isya’ boleh dengan dua rakaat, maka anda harus memetakan bahwa kebenaran yang anda dapat adalah hasil dari pengalaman dengan nilai subjektifitas yang absurd. Satu contoh “ngawur” seperti inilah yang dimaksud dengan Islamku. Sedangkan yang dimaksud dengan Islam anda adalah keterbalikan dari konsep Islamku. Islam anda adalah sebuah kebenaran yang didapat dari keyakinan, bukan dari pengalaman. Determinasinya lebih mengacu pada tradisionalisme dan ritual kemasyarakatan. Kebenaran seperti ini menurut Gus Dur perlu dihargai dan dijunjung tinggi. Begitupun dengan Isalm kita, rumusan ini adalah sebuah integrasi antara islamku dan islam anda. Intisari dari consensus islam kita adalah sebuah perumpamaan kontekstual yang sangat realitatif, bahwa banyak santri tidak mendapat predikat “muslim yang baik” karena ia tidak pernah memikirkan masa depan islam. Sedangkan santri yang kurang sempurna dalam menjalankan agama seringkali dianggap “muslim yang baik” hanya karena ia menyatakan fikiran-fikirannya atas masa depan islam.

            Akhir kata, semoga di peringatan 1000 hari wafatnya Gus Dur ini kita selalu bisa mendalami dengan “kaffah” tentang tipologi seorang Abdurahman Wahid dari segala macam sepak terjangnya serta bisa memformulasikan diri Abdurahman wahid kepada keturunan kita kelak. Amin.  
             
Malang, 27 September 2012