Saya yakin Anda maunya bukan menjadi Polantas
dalam kehidupan di dunia yang hanya satu kali ini. Kalau mungkin, Anda maunya
jadi Kapolri, atau syukur bisa jadi Presiden.
Saya yakin Anda sebenarnya bukan ingin menjadi kenek bis, menjaga makanan, menjadi tlang portit, menjadi camat atau menjadi tukang lap sepatu. Kalau mungkin sih Anda inginnya menjadi pejabar tinggi, pengusaha besar, atau syukur jadi Raja Indonesia.
Akan tetapi 'menjadi apa' itu sudah ditentukan tidak hanya oleh takdir Tuhan, sebab untuk banyak urusan dunia, Tuhan sudah memanfaatkan segala pengaturan dan tatanannya kepada para khalifah, manusia, dan kita-kita semua ini.
Meskipun demikian tentu saja jangan lupa bahwa Tuhan bukan 'cuci tangan' sama sekali. Tuhan tetap berperan, tetap menyutradarai dan bahkan menjadi 'aktor' dalam kehidupan kita pada batas-batas yang Ia maui. Oleh karena itu kita sering berjumpa dengan hukum-hukum-Nya, sunnah-Nya, atau janji-Nya mengenai "min haitsu la yahtasib" --bahwa siapapun jangan bersikap ojo dumeh, jangan gampang meremehkan siapapun dan apapun, jangan gampang trocoh mulutnya kalau tidak memiliki pengetahuan, jangan berbuat adigang adigung adiguna (semena-mena) kepada sesama. Karena akan bisa bertemu entah sekarang entah kapan dengan sesuatu yang tak terduga-duga. Yang "la yahtasib" itu.
Anda 'menjadi apa' itu juga ditentukan oleh tatanan sosial, oleh atmosfer politik, oleh struktur negara dan masyarakat.
Detailnya: oleh nepotisme, oleh posisi Anda dekat dengan yang punya negara atau tidak, atau oleh apapun lainnya yang 'ditakdirkan' oleh manusia sendiri, minimal oleh penguasa diantara mereka, meskipun tak disetujui oleh mayoritas manusia lainnya.
Saya sendiri, karena sejak kecil tahu bahwa takdir Tuhan banyak diganjal oleh 'takdir kuasa manusia' --maka daripada saya berorientasi pada keenakan tergabung dalam kuasa manusia namun bersifat temporer dan tidak ada jaminan akan kekal-- saya memilih bergabung pada kuasa Tuhan saja.
Jadi saya menggantungkan diri pada Tuhan saja. Saya bersedia menjadi tukang ojek atau dagang jual beli motor bekas, asalkan saya rasakan itu memang kehendak Tuhan.
Saya siap melakukan dan menjadi apa saja, tapi tidak boleh atas keinginan saya, melainkan atas ketentuan kekuasaan sejati yang mengatasi saya.
Saya siap melakukan kesenian, siap menjalankan komunikasi dan informasi agama, siap menyanyi, siap menulis ilmiah, membikin skripsi akademis meskipun bukan untuk saya sendiri, siap jadi presiden Malioboro atau Dongkelan, siap jadi makelar kamper, siap membantu mengobati orang sakit (asalkan Tuhan yang menyembuhkan), atau apapun saja --sepanjang itu semua tidak berangkat dari keinginan pribadi saya, melainkan merupakan kehendak yang Kuasa Mutlak atas saya, yang diwasilahkan melalui amsal-amsal sosial, tadbir-tadbir sejarah, bunyi hati alam dan masyarakat, swaraning asepi (suara kesunyian) dan kasyiful hijab (terbukanya penghalang).
Saya mengharamkan diri saya melakukan sesuatu atau menjadi sesuatu atas dasar ambisi pribadi atau karier. Saya wajib menjadi budak Yang Mahakuasa. {}
#EAN
Saya yakin Anda sebenarnya bukan ingin menjadi kenek bis, menjaga makanan, menjadi tlang portit, menjadi camat atau menjadi tukang lap sepatu. Kalau mungkin sih Anda inginnya menjadi pejabar tinggi, pengusaha besar, atau syukur jadi Raja Indonesia.
Akan tetapi 'menjadi apa' itu sudah ditentukan tidak hanya oleh takdir Tuhan, sebab untuk banyak urusan dunia, Tuhan sudah memanfaatkan segala pengaturan dan tatanannya kepada para khalifah, manusia, dan kita-kita semua ini.
Meskipun demikian tentu saja jangan lupa bahwa Tuhan bukan 'cuci tangan' sama sekali. Tuhan tetap berperan, tetap menyutradarai dan bahkan menjadi 'aktor' dalam kehidupan kita pada batas-batas yang Ia maui. Oleh karena itu kita sering berjumpa dengan hukum-hukum-Nya, sunnah-Nya, atau janji-Nya mengenai "min haitsu la yahtasib" --bahwa siapapun jangan bersikap ojo dumeh, jangan gampang meremehkan siapapun dan apapun, jangan gampang trocoh mulutnya kalau tidak memiliki pengetahuan, jangan berbuat adigang adigung adiguna (semena-mena) kepada sesama. Karena akan bisa bertemu entah sekarang entah kapan dengan sesuatu yang tak terduga-duga. Yang "la yahtasib" itu.
Anda 'menjadi apa' itu juga ditentukan oleh tatanan sosial, oleh atmosfer politik, oleh struktur negara dan masyarakat.
Detailnya: oleh nepotisme, oleh posisi Anda dekat dengan yang punya negara atau tidak, atau oleh apapun lainnya yang 'ditakdirkan' oleh manusia sendiri, minimal oleh penguasa diantara mereka, meskipun tak disetujui oleh mayoritas manusia lainnya.
Saya sendiri, karena sejak kecil tahu bahwa takdir Tuhan banyak diganjal oleh 'takdir kuasa manusia' --maka daripada saya berorientasi pada keenakan tergabung dalam kuasa manusia namun bersifat temporer dan tidak ada jaminan akan kekal-- saya memilih bergabung pada kuasa Tuhan saja.
Jadi saya menggantungkan diri pada Tuhan saja. Saya bersedia menjadi tukang ojek atau dagang jual beli motor bekas, asalkan saya rasakan itu memang kehendak Tuhan.
Saya siap melakukan dan menjadi apa saja, tapi tidak boleh atas keinginan saya, melainkan atas ketentuan kekuasaan sejati yang mengatasi saya.
Saya siap melakukan kesenian, siap menjalankan komunikasi dan informasi agama, siap menyanyi, siap menulis ilmiah, membikin skripsi akademis meskipun bukan untuk saya sendiri, siap jadi presiden Malioboro atau Dongkelan, siap jadi makelar kamper, siap membantu mengobati orang sakit (asalkan Tuhan yang menyembuhkan), atau apapun saja --sepanjang itu semua tidak berangkat dari keinginan pribadi saya, melainkan merupakan kehendak yang Kuasa Mutlak atas saya, yang diwasilahkan melalui amsal-amsal sosial, tadbir-tadbir sejarah, bunyi hati alam dan masyarakat, swaraning asepi (suara kesunyian) dan kasyiful hijab (terbukanya penghalang).
Saya mengharamkan diri saya melakukan sesuatu atau menjadi sesuatu atas dasar ambisi pribadi atau karier. Saya wajib menjadi budak Yang Mahakuasa. {}
#EAN