Dulu, para sepuh sempat menganalogikan dunia batin dan kehidupan orang Jawa dengan arif dan cantik. Konon, apabila digambarkan secara simbolis, dunia batin orang Jawa diibaratkan sebuah telaga yang luas dan dalam. Airnya tenang, jernih. Sejak berabad-abad lalu bermacam-ragam flora dan fauna hidup di dalamny. Seperti lumut, ganggang, cacing, ikan, ketam, anggang-anggang, ular, dan lain-lain. Termasuk juga, mungkin makhluk-makhluk berbadan halus. Karena letaknya dilereng gunung, dikelilingi hutan, udaranya sejuk, maka siapapun yang dating akan jadi merasa tenang, nyaman, dan kerasan.
Setelah nemoni rejaning jaman (menemukan
kesejahteraan zaman) dan lingkungan itu berkembang menjadi kawasan wisata,
tidak mengherankan jika banyak wisatawan yang berkunjung kesana. Ada yang jalan
kaki mengelilingi telaga. Ada yang menyempatkan diri bersampan dan memancing
ikan dengan riang gembira. Jika yang ada ingin berenang, silahkan saja asal
sudah pandai berenang dan paham terhadap tabiat iklim, cuasa, air, dan seluk
beluk telaga, baik yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata. Sebab jika
tidak, akan sangat berbahaya lantaran te;aga ini cukup dalam. Kalau sampai
tenggelam akibatnya sangat fatal. Besar kemungkinan, dia hanya akan kembali ke
permukaan (mengapung) beberapa waktu kemudian setelah menjadi mayat. Artinya,
pulang tinggal nama!
Karena telaga
ini luas, dalam, dan airnya jernih, maka tentulah ia memiliki ciri-ciri
spesifik dan alamiah yang khas :
1.
Telaga ini akan menampung
(menerima) benda apapun yang masuk atau sengaja dimasukan ke dalamnya tanpa
dirinya terpengaruh atau mengalami perubahan besar yang dignifikan disana-sini.
Seperti halnya laut (samudra), meskipun ada ratusan kapal yang tenggelam sejak
berabad lalu hingga perang dunia I dan II, namun airnya tidak pernah meluap.
Tidak pula menjadi dangkal. Tidak pula kotor dan mematikan sehingga makhluk
hidup di dalamnya terus beranank-pinak, berkembang biak dari waktu ke waktu.
2.
Meskipun banyak kotoran
atau sampah yang sengaja atau tidak sengaja diuang kesana, airnya juga tidak
menjadi keruh. Karena kotoran dan sampah tersebut akan mengendap, dan lama
kelamaan hancur di dasar telaga. Artinya, habitat telaga tidak akan rusak oleh
kotoran-kotoran yang masuk ke dalamnya.
3.
Habitat telaga hanya akan
rusak, kering, dan mungkin berubah menjadi semacam lembah, kalau sumber airnya
mati. Atau hutan sekelilingnya dibabat habis dan diganti menjadi pemukiman.
Atau, terjadi fenomena alam, seperti tanah longsor, gempa dan letusan gunung yang
benar-benar dahsyat sehingga menghancurkan keberadaannya.
Demikianlah
kira-kira gambran dunia batin orang Jawa. Ada kejernihan, keluasan, kedalaman,
kepasrahan, ketenangan, ketentraman, yang membuat berbagai makhluk, berbagai
floran serta fauna, kerasan tinggal di dalamnya. Tanpa merasa memusuhi dan
dimusuhi, dengan dada dan tangan terbuka siap menyambut (menerima) siapa pun
yang dating. Dalam rengkuhannya, semua jadi bersaudara. Angina, hujan, mega,
burung, bukit, lembah, hutan, seperti melebur menyatu ke dalam payembayatan
yang kental.
Karena itulah,
siapapun yang pernah berkenalan, berkomunitas, atau tinggal cukup lama bersama
orang Jawa sehingga tahu benar mengenai “lambe
atine”, umumnya akan memberikan semacam sanjungan dengan jujur ketika
menilai karakter mereka. Behawa orang Jawa itu religious, ramah, terbuka,
sopan, lentur, mudah bersahabat, dan senantiasa menghormati orang lain.
Tentunya pendapat tersebut bukan mengada-ada, bukan karena isapan jempol karena
dunia batin orang Jawa selama ini memang seperi halnya telaga yang digambarkan
oleh para sepuh di masa lalu. Dimana semua itu dapat dibuktikan, dapat
ditelisik oleh siapapun manakala dengan terbuka dan jujur benar-benar ingin
mengetahui bagaimana pandangan spiritual, cita-cita, dan sikap hidup orang
Jawa, khususnya kalangan rakyat jelata yang keberadaannya selama ini nyaris
tidak tercatat dalam sejarah yang dibakukan oleh pemerintan dan diajarkan di
sekolah-sekolah.
Sebagaimana
masyarakat dari etnis lain, orang Jawa pun mempunyai pandangan hidup yang dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
1.
Pandangan hidup yang
bersumber dari nilai-nilai agama yang memiliki kebenaran mutlak bagi para
pemeluknya.
2.
Pandangan hidup yang
bersumber dari ideology politik, social, budaya, baik yang berasal dari khazanah
budaya local, nasional, maupun internasional.
3.
Pandangan hidup yang
merupakan hasil renungan pribadi (individual) dan lahir dari suatu lingkungan
masyarakat tertentu serta lazim disebut sebagai kearifan lokal.
Ketiga faktor
yang berpengaruh terhadap pandangan
hidup tersebut, semuanya terdapat di Jawa. Artinya, di Jawa sempat tumbuh
berkembang berbagai kepercayaan lama, semacam animism dan dinamisme. Kemudian
agama-agama yang diakui oleh pemerintah saat ini: Islam, Kristen, Hindu, Budha,
dan Kong Hu Cu. Selain agama, di Jawa (Indonesia) pun juga pernah menjadi ajang
tumbuh berkembangnya ideology-ideologi politik, social, budaya, lengkap dengan
dinamikanya masing-masing. Termasuk sukses yang mereka capai, sekaligus juga
tragedy-tragedi berdarah yang ditimbulkan akibat perbenturan fisik antar
pengikutnya yang demikian keras dan barbar. Tak ketinggalan, di Jawa juga menjadi
lahan subur lahirnya nilai-nilai kearifan lokal. Pandangan hidup yang
nytata-nyata digali oleh orang Jawa dari khazanah kebudayaan kampong
halamannya. Dimana pandangan hidup dan spiritual tersebut banyak yang masih
diamalkan serta dipujikan penggunaannya bagi masyarakat kultur Jawa sendiri.