Memejamkan
mata, berusaha mendengar apa yang tak bisa didengar. Keramaian
berkata “hanya sunyi yang mengajarkan agar kita tak mendua”.
Memejamkan
mata, mentransformasikan materi ke dalam cahaya. Seluruh hal mengenai
perempuan, apakah wajahnya, gerak kakinya, bibirnya, matanya,
telinganya, tangannya, hingga akal dan hatinya adalah materi. Allah
memahatnya sedemian indah apa-apa yang ada dalam diri perempuan.
Mengapa perempuan begitu indah. Karena ia mewakili keindahan Tuhan,
sedang laki-laki hanya berusaha menafsirkan keindahan itu. Laki-laki
yang kelewat batas, akan mengeksploitir keindahan itu menjadi nafsu,
syahwat yang tiada habis-habisnya.
Memejamkan
mata, mentransformasikan materi ke dalam cahaya. Mushaf al Quran itu
materi. Hanya beberapa lembaran-lembaran kertas, tinta-tinta hitam,
produk ekonomi yang diperjual belikan, yang memenuhi rak-rak toko
buku dan masjid-masjid, dimana Mushaf al Quran dipajang sedemikian
rupa. Hanya sekedar mempertimbangkan kepantasan agama. Masak di toko
buku dan masjid ndak ada Mushaf al Qur’an. Namun, dimanipulir
sedemikian rupa, al Qur’an tidak kehilangan cahayanya. Ia memancar
dalam qalbu manusia yang mendapat hidayahNya.
Perempuan
yang membaca al Qur’an, adalah titik temu peradaban yang tidak akan
pernah dipahami oleh mereka yang tertutup hatinya, menuhankan syahwat
sebagai kebahagiaan.
Perempuan
yang membaca al Qur’an. Pertemuan agung antara keindahan dan
cahaya. Apa yang tidak indah dalam diri perempuan. Ada kecantikan
jasad, tubuhnya, kakinya, tangannya, bibir dan semuanya. Pun
kecantikan rohani. Halusnya perasaan, kelembutan sifat, ketulusan
pengabdian, manisnya senyuman, kebaikan akhlak, kebenaran etika serta
moral, ia melampaui batas keniscayaan dimana laki-laki tidak bisa
berbuat apa-apa dengan perempuan kecuali dua hal. Mengeksploitasinya
ataukah membuatnya bercahaya.
Maka,
Perempuan yang membaca al Qur’an, adalah pencaran cahaya diatas
cahaya. Nurun ‘ala nur. Memancar terang benderang menuju langit,
nylorot bersama gelombang keabadian dimana mereka akan
disambut para malaikat sebagai bidadari-bidadari surga.
Aku
rela duduk lama, bahkan hingga shubuh pun. Berhari-hari,
berbulan-bulan, bertahun tahun aku mau. Aku tak menuntut apa-apa, tak
meminta macam-macam. Aku sangat berterima kasih, bersyukur atas
karunia dan rahmad karena bersama kalian, aku merasakan pencaran
sinar, nurun ala nur.
Aku
berdoa kepadamu wahai kalian yang memancarkan sinar ; semoga
dipertemukan kembali, semoga selalu bertaburan nur, siapa saja yang
berpapasan denganmu merasa senang, siapa saja yang berada didekatmu
merasa tenang dan aman, siapa saja yang akan memarahimu menjadi lunak
hatinya. Karena wajahmu, berbicaramu, gerak langkah kaki serta
tanganmu, perasaanmu, semua yang ada dalam dirimu itu adalah NURUN
‘ALA NUR. Cahaya diatas cahaya.
Kelak,
semoga aku ingat coretan ini harus kuberikan kepada kalian. Tidak
untuk sekarang, belum waktunya, Allah belum kasih momentumnya.
__Anshofa,
29 September 2014/04 Dzulhijjah 1435 H__