Di sebuah lembah rumput yang luas itu, seorang pengembala
kambing yang masih sangat belia usianya sedang mengawasi ratusan
kambing-kambingnya. Ia, seperti halnya anak-anak yang lain setiap sore
mengembalakan kambing milik penduduk, ketika senja ia pulang dengan
kambing-kambingnya. Dan ia mendapatkan upah atas pekerjaannya. Mengembalakan
kambing yang berjumlah ratusan itu, ia tidak sendiri. ia ditemani seekor
anjing. Ia menamani ‘sahabat’ karibnya itu; Rathmir.
Ayahnya seorang pedagang, menjelelajah satu negeri ke negeri
yang lain bersama para khabilah. Hampir separuh hidupnya dihabiskan untuk
mengembara. Ia jarang bertatap dengan putranya. Sedang ibunya sudah berpulang
dan tidak akan pernah kembali untuk sekedar menyapa anaknya.
Ia hidup sendiri, ditemani Rhatmir. Bercengkrama, menemani
hari-harinya, makan, tidur, pergi mengembala, bersama Rhatmir. Ia sesungguhnya
kesepian, kehilangan kasih sayang, mendambakan belaian layaknya anak-anak
seusianya.
Suatu hari, di lembah rumput yang luas itu, ditatapnya
langit. Semilir angin mengibaskan rambutnya yang sebahu itu, ia memejamkan
diri. Sesekali ia membuka mata, melihat kawanan kambing dimana Rhatmir sebagai
penjaganya. Ia menghitung jumlah kambingnya, tidak berkurang satupun. Rhatmir
penjaga yang baik, ia anjing yang setia kepada tuannya. Jika ada kambing keluar
dari area lembah, tak segan-segan Rhatmir mengejarnya, menggonggong kepada si
kambing agar tidak keluar dari lembah. Si kambing pun takut, ia menurut saja.
Si pengembala pun menjadi tenang. Ia kembali terpejam.
Mulutnya menggumam “ Wahai Tuhan, daripada hidupku hanya menjadi penjaga
kambing, melayani kambing-kambing, dan mendapat upah atas kambing-kambing,
mending aku melayani-Mu saja. Jika Engkau akan bepergian, akan kusiapkan
sandal, akan kugosok-gosok sandal-Mu agar mengkilap. Jika Engkau lapar, akan
aku buatkan makanan. Jika Engkau capek, akan kubuatkan jamu. Aku ingin menjadi
pelayan-Mu saja Tuhan”.
Si pengembala tidak sadar bahwa ucapannya di dengar seorang
Sufi yang kebetulan lewat. Tiba-tiba saja, sang Sufi menghardiknya. “Hei..!!! dasar
kurang ajar..!! emangnya Tuhan Tuhan itu siapa. Emangnya Tuhan butuh makan,
emangnya Tuhan butuh sandal. Emangnya Tuhan…emangnya Tuhan” Si pengembala
dihujani caci maki oleh sang Sufi.
Tiba-tiba Malaikat Jibril datang, menampar mulut sang Sufi.
Jibril berkata “ Biarkan para hamba-hambanya bercengkrama mesra dengan
Tuhannya. Tuhan tidak terikat oleh skta-skat bahasa. Ia hanya anak kecil, lugu,
dan apa adanya. Dan Tuhan sangat tahu apa yang terkandung dalam hatinya.
Seketika itu, Izrail menyampaikan salam Tuhan kepada si
pengembala. Diantarkannya si Pengembala kehadirat Tuhan. Bersama Jibril dan
Izrail, si Pengembala terbang jauh, semakin jauh tak terlihat. Menembus langit,
hingga ke langit berikutnya. Hilang tak berbekas.
Senja hampir tenggelam. Kambing-kambing harus dipulangkan.
Dan Rhatmir masih mengendus tubuh tuannya. Tak bernafas.
Malang,
29 September 2014/04 Dzulhijjah 1435 H__