Jumat, 10 Oktober 2014

Tuhan tidak Pakai Sandal Nak


Di sebuah lembah rumput yang luas itu, seorang pengembala kambing yang masih sangat belia usianya sedang mengawasi ratusan kambing-kambingnya. Ia, seperti halnya anak-anak yang lain setiap sore mengembalakan kambing milik penduduk, ketika senja ia pulang dengan kambing-kambingnya. Dan ia mendapatkan upah atas pekerjaannya. Mengembalakan kambing yang berjumlah ratusan itu, ia tidak sendiri. ia ditemani seekor anjing. Ia menamani ‘sahabat’ karibnya itu; Rathmir. 

Ayahnya seorang pedagang, menjelelajah satu negeri ke negeri yang lain bersama para khabilah. Hampir separuh hidupnya dihabiskan untuk mengembara. Ia jarang bertatap dengan putranya. Sedang ibunya sudah berpulang dan tidak akan pernah kembali untuk sekedar menyapa anaknya. 
Ia hidup sendiri, ditemani Rhatmir. Bercengkrama, menemani hari-harinya, makan, tidur, pergi mengembala, bersama Rhatmir. Ia sesungguhnya kesepian, kehilangan kasih sayang, mendambakan belaian layaknya anak-anak seusianya. 

Suatu hari, di lembah rumput yang luas itu, ditatapnya langit. Semilir angin mengibaskan rambutnya yang sebahu itu, ia memejamkan diri. Sesekali ia membuka mata, melihat kawanan kambing dimana Rhatmir sebagai penjaganya. Ia menghitung jumlah kambingnya, tidak berkurang satupun. Rhatmir penjaga yang baik, ia anjing yang setia kepada tuannya. Jika ada kambing keluar dari area lembah, tak segan-segan Rhatmir mengejarnya, menggonggong kepada si kambing agar tidak keluar dari lembah. Si kambing pun takut, ia menurut saja. 

Si pengembala pun menjadi tenang. Ia kembali terpejam. Mulutnya menggumam “ Wahai Tuhan, daripada hidupku hanya menjadi penjaga kambing, melayani kambing-kambing, dan mendapat upah atas kambing-kambing, mending aku melayani-Mu saja. Jika Engkau akan bepergian, akan kusiapkan sandal, akan kugosok-gosok sandal-Mu agar mengkilap. Jika Engkau lapar, akan aku buatkan makanan. Jika Engkau capek, akan kubuatkan jamu. Aku ingin menjadi pelayan-Mu saja Tuhan”. 

Si pengembala tidak sadar bahwa ucapannya di dengar seorang Sufi yang kebetulan lewat. Tiba-tiba saja, sang Sufi menghardiknya. “Hei..!!! dasar kurang ajar..!! emangnya Tuhan Tuhan itu siapa. Emangnya Tuhan butuh makan, emangnya Tuhan butuh sandal. Emangnya Tuhan…emangnya Tuhan” Si pengembala dihujani caci maki oleh sang Sufi. 

Tiba-tiba Malaikat Jibril datang, menampar mulut sang Sufi. Jibril berkata “ Biarkan para hamba-hambanya bercengkrama mesra dengan Tuhannya. Tuhan tidak terikat oleh skta-skat bahasa. Ia hanya anak kecil, lugu, dan apa adanya. Dan Tuhan sangat tahu apa yang terkandung dalam hatinya. 

Seketika itu, Izrail menyampaikan salam Tuhan kepada si pengembala. Diantarkannya si Pengembala kehadirat Tuhan. Bersama Jibril dan Izrail, si Pengembala terbang jauh, semakin jauh tak terlihat. Menembus langit, hingga ke langit berikutnya. Hilang tak berbekas. 

Senja hampir tenggelam. Kambing-kambing harus dipulangkan. Dan Rhatmir masih mengendus tubuh tuannya. Tak bernafas.   

Malang, 29 September 2014/04 Dzulhijjah 1435 H__