Jika Clifford
Geertz mengklasifikasi masyarakat Jawa dengan santri, abangan, dan priyayi,
mungkin sebagai orang Jawa kita akan mempertanyakan dan berpendapat lain.
Mengapa yang dimunculkan hanya tiga strata, dan tidak lebih? Sebab, dengan tiga
penggolongan saja, realitasnya tidak cukup dan tidak lengkap. Ada satu golongan
lagi yang keberadaannya belum atau justru sengaja tidak dimunculkan ke
permukaan.
Dalam konteks
kehidupan Islam di Jawa, pengelompokan santri dan abangan bisa diterima. Dimana
santri adalah mereka yang mengamalkan syariat Islam dengan baik, sementara
abangan adalah para pemeluk Islam yang belum atau tidak melakukan syariat
dengan baik. Sedangkan yang disebut priyayi, adalah mereka yang memiliki
kedudukan terhormat dalam masyarakat di masa lalu, seperti golongan pegawai
negeri, pamong praja, dan lain-lain. Menurut bausastra (kamus) bahasa
Jawa, priyayi mempunyai arti lebih spesifik lagi. Yaitu, kalangan bangsawan,
pejabat istana, keturunan raja maupun penguasa kerajaaan. Pendeskripsian ini dapat
dipahami karena munculnya golongan priyayi hanyalah di masa aristokrasi, bukan
setelah kemerdekaan Indonesia atau masa demokrasi.
Oleh karena itu, seharusnya perlu dimunculkan pula golongan masyarakat
Jawa yang bernama rakyat jelata sebagai dikotomi priyayi. Dimana dalam
kebudayaan Jawa golongan ini disebut kawula
alit, dan dalam dunia perwayangan lazim dinamai kaum pidak pidarakan (hina dina). Dalam konteks kerajaan di masa lalu,
apabila eksistensi priyayi dicatat, mau tidak mau eksistensi rakyat jelata pun
perlu diakui. Karena bagian terbesar dari masyarakat di Jawa pada masa kerajaan
sesungguhnya bukanlah priyayi, melainkan rakyat jelata (yang berada di luar
hegemoni kekuasaan kerajaan/Negara). Karena itulah subjek yang disebut orang
Jawa lebih mengarah pada kalangan “rakyat jelata”. Kendati tidak meninggalkan
kelompok yang lain (priyayi/abangan/santri).
Rakyat jelata, dalam konteks ke-Indonesiaan (baca,-Rakyat Indonesia),
entah apa asal-asul genealogis dan peradabannya dahulu kala, memiliki pola
kearifan, empati dan toleransi, serta semacam sopan santun yang khas dan luar
biasa. Bagi Rakyat, Ibu pertiwi semacam Ibunya. Negara Indonesia semacam Bapaknya,
dan Pemerintah itu kekasihnya. Kekasih yang selalu disayang, dimaklumi,
dimaafkan. Suatu saat rakyat bias sangat marah kepada Pemerintah, tetapi
cintanya lebih besar dari kemarahannya, sehingga ujung kemarahannya tetap saja
menyayangi kembali, memaklumi, dan memaafkan.
Kadar kesanggupannya untuk menyayangi, memaklumi, dan memaafkan
mencerminkan ketangguhan karakternya sebagai kekasih. Rakyat Indonesia sangat
tangguh, sehingga posisinya bukan menuntut, menyalahkan, dan menghukum
Pemerintahnya, melainkan menerima, memaklumi, memafhumi kekurangan dan sangat
mudah memaafkan kesalahan Pemerintahnya. Bahkan Rakyat begitu sabar, tahan, dan
arifnya tatkala seringkali mereka yang dituntut, dipersalahkan, dan dihukum
oleh Pemerintahnya. Itulah Rakyat “jelata” yang sejati.
Rakyat sangat menjaga diri untuk tidak mengungkapkan bahwa siapapun
presidennya yang terpilih nanti tak akan benar-benar mampu menyelesaikan
komplikasi masalah mengerikan yang mereka derita. Rakyat tidak akan pernah
transparan secara transparan menyatakan bahwa seorang presiden saja, siapapun
dia, takkan pernah sanggup berbuat setingkat tuntutan dan kebutuhan objektif
rakyatnya, meski disertai kabinet yang dipilih tanpa beban pembagian kekuasaan
dan berbagai macam bentuk kolusi, resmi maupun tak resmi.
Begitu banyak yang mencalonkan diri jadi presiden, dan situasi itu
ditelan oelh rakyat dengan keluasan cinta. Rakyat melakukan dua hal yang sangat
mulia. Pertama, menyimpan rahasia pengetahuan bahwa di dalam nurani dan
estetika peradaban mereka: pemimpin yang tidak menonjolkan diri dan tidak
merasa dirinya adalah pemimpin sehingga ia tidak mencalonkan diri menjadi
pemimpin, sesungguhnya lebih memberi rasa aman dan lebih menumbuhkan
kepercayaan disbanding pemimpin lain yang merasa dirinya layak jadi pemimpin
sehingga mencalonkan diri jadi pemimpin.
Kemuliaan kedua yang dilakukan rakyat adalah jika Pemilu tiba, mereka
tetap memilih salah seorang calon pemimpin, karena berani menaggung resiko akan
tidak aman hidupnya. Keberaniannya menaggung resiko itu mencerminkan kekuatan
hidup dan ketanggguhan mentalnya, yang sudah terbukti berpuluh-puluh tahun di
rumah Negaranya.
Dan keluarbiasaan mental serta kekuatan untuk bertahan yang demikian
itu, sesungguhnya karena nenek moyang mereka adalah orang-orang hebat, bangsa
penakluk peradaban, dimana kita menyebutnya Bangsa Jawa.
_Dari berbagai sumber_