Senin, 18 Mei 2015

PERKEMBANGAN SOSIO EMOSIONAL ANAK

BAB I
PENDUHULUAN

1.1    Latar belakang
Perhatian dan pengamatan terhadap anak-anak oleh para filsuf sebenarnya sudah ada sejak abad ke-5 Sebelum Masehi. Hal ini dapat dibuktikan apabila secara teliti mempelajari pendapat-pendapat antara lain : Plato (427-347SM). Orang yang pertama kali menyusun pendidikan secara teratur, Aristoteles (384-322 SM). Orang yang menghendaki pendidikan agar kehidupan nasional sehingga ia menitikberatkan perkembangan pada individu. Socrates (469-322 SM) ia adalah sebagai peletak pada abad-abad itu di Yunani dan Romawi. Walaupun mereka masih  menganggap antara anak-anak dan orang dewasa sama dan tidak ada perbedaan diantara keduanya.
Akan tetapi setidak-tidaknya perhatian dan anggapan anak-anak itu, menunjukkan bukti adanya pemikiran tentang perkembangan anak pada zaman itu. Pemikiran dan pendapat para filsuf terhadap anak pada waktu itu masih menyatu dengan filsafat (induk segala ilmu), dan belum merupakan suatu ilmu yang berdiri sendiri.

Baru pada akhir abad ke-18 psikologi pekembangan menyusul sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri. Lahirnya ilmu ini diawali dengan timbulnya aliran Philantrupinisme, suatu paham yang mencintai sesama manusia terutama terhadap anak-anak. Pendiri aliran ini adalah Johan Berdhard Basedow (1723-1970 Jerman). Ini adalah sejarah singkat psikologi perkembangan yang akhirnya berdiri sendiri sebagai disiplin suatu ilmu.
Secara khusus  jika kita membicarakan tentang perkembangan maka kita tidak bisa terlepas dari perkembangan Sosioemosional siswa. Kenapa siswa? Karena siswa atau anak-anak adalah sebagai objek dari perkembangan psycho—Fisik itu sendiri.
Selanjutnya, pembahasan mengenai perkembangan ranah-ranah  pada bagian ini akan penyusun fokuskan pada proses-proses perkembangan perkembangan Sosioemosional yang dipandang memiliki keterkaitan langsung dengan perkembangan anak.


1.2  Rumusan masalah
Ø  Apakah yang dimaksud dengan perkembangan sosioemosional pada siswa?
Ø  Apakah yang dimaksud dengan perkembangan sosial dan moral siswa?
Ø  Bagaimanakah bentuk interaksi sosial anak?
Ø  Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial dan moral anak?
Ø  Bagaimana pengaruh perkembangan sosial dan moral terhadap tingkah laku anak?
Ø  Bagaimana kaitannya  perkembangan kognitif terkait dengan proses belajar anak?

1.3  Tujuan
Ø  Mengetahui penjelasan perkembangan sosioemosional yang terjadi pada anak/siswa?
Ø  Mengetahui penjelasan perkembangan sosial dan moral anak.
Ø  Mengetahui macam-macam bentuk interaksi sosial pada anak.
Ø  Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial dan moral anak.
Ø  Mengetahui pengaruh dari perkembangan sosial dan moral terhadap anak.
Ø  Mengetahui hubungan atau kaitan antara perkembangan kognitif terhadap proses belajar anak.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Perkembangan Sosio-emosional
Menurut dramawan italia abad ke-20, Ugo Betti, saat anak mengatakan “aku”, maka yang mereka maksudkan adalkah sesuatu yang unik, tidak bercampur dengan yang lain. Psikologi sering menyebut “aku” ini sebagai “diri” (self). Ada dua aspek penting dari diri ini, harga diri dan identitas diri.
Harga diri adalah pandangan keseluruhan tentang individu tentang dirinya sendiri. Penghargaan diri ini kadang juga dinamakan martabat diri atau gambaran diri. Misalnya anak dengan penghargaan diri yang tinggi mungkin tidak hanya memandang dirinya sebagai seseorang, tetapi sebagai seseorang yang baik.
Ahli psikoterapi Carl Rogers(1961) mengatakan bahwa sebab utama  seseorang mempunyai penghargaan diri yang rendah (atau rendah diri)) oleh karena mereka tidak didukung oleh dukungan emosional dan penerimaan lingkungan disekitarnya.Carl Rogers mengatakan bahwa gejala seperti ini terjadi karena pada masa kecil anak sering ditegur dengan teguran ucapan yang menyakitkan hati. Misalnya “kamu kok bodoh sekali” atau “kamu keliru melakukan  itu”.
Bagi banyak murid, perasaan rendah diri bisa datang dan juga bisa pergi. Namun, bagi beberapa murid, perasaan itu tetap bertahan dan muncul sebagai problem bagi dirinya dan jiwanya. Rasa rendah diri yang menetap dan berlebihan mungkin diakibatkkan oleh prestasi yang buruk, depresi, gangguan makan, dan tindak kejahatan (Harter,1999). Keseriusan problem ini akan tergantung bukan hanya kepada sifat dari rasa rendah diri si murid, tapi pada kondisi lainnya. Saat perasaan ini diiringi dengan kesulitan dimasa transisi sekolah (seperti transisi ke sekolah menengah) atau problem keluarga (perceraian), maka problem si murid bisa semakin berat.
Para peneliti telah menemukan bahwa perasaan harga diri murid berubah saat mereka berkembang. Dalam satu study, baik anak itu laki-laki maupun perempuan punya rasa harga diri tinggi saat masih kanak-kanak tapi kemudian menurun pada masa awal remaja. Penghargaan diri anak gadis turun dua kali lebih besar dari anak laki-laki pada masa remaja.
Beberapa alasan yang diduga menjadi penyebab menurunnya rasa harga diri dikalangan anak laki-laki dan perempuan adalah akibat gejolak selama perubahan fisik dan pubertas, meningkatnya tuntutan untuk berprestasi, ataupun minimnya dukungan sekolah, masyarakat ataupun orang tua.  Intinya penghargaan diri juga disebut martabat diri dan gambaran diri ataupun pandangan keseluruhan dari individu tentang dirinya sendiri.
2.2       Makna Perkembangan Sosial Dan Moral Anak
Syamsu Yusuf (2007)  menyatakan bahwa Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Perkembangan sosial dapat pula diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi ; meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan kerja sama.
Pada awal manusia dilahirkan belum bersifat sosial, dalam artian belum memiliki kemampuan dalam berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan sosial anak diperoleh dari berbagai kesempatan dan pengalaman bergaul dengan orang-orang dilingkungannya.
Kebutuhan berinteraksi dengan orang lain telah dirsakan sejak usia enam bulan, disaat itu mereka telah mampu mengenal manusia lain, terutama ibu dan anggota keluarganya. Anak mulai mampu membedakan arti senyum dan perilaku sosial lain, seperti marah (tidak senang mendengar suara keras) dan kasih sayang. Sunarto dan Hartono (1999) menyatakan bahwa  :
Hubungan sosial (sosialisasi) merupakan hubungan antar manusia yang saling membutuhkan. Hubungan sosial mulai dari tingkat sederhana dan terbatas, yang didasari oleh kebutuhan yang sederhana. Semakin dewasa dan bertambah umur, kebutuhan manusia menjadi kompleks dan dengan demikian tingkat hubungan sosial juga berkembang amat kompleks.
Dari kutipan diatas dapatlah dimengerti bahwa semamin bertambah usia anak maka semakin kompleks  perkembangan sosialnya, dalam arti mereka semakin membutuhkan orang lain. Tidak dipungkiri lagi bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak akan mampu hidup sendiri, mereka butuh interaksi dengan manusia lainnya, interaksi sosial merupakan kebutuhan kodrati yang dimiliki oleh manusia.
2.2.1     Bentuk – Bentuk Tingkah laku Sosial
Dalam perkembangan menuju kematangan sosial, anak mewujudkan dalam bentuk-bentuk interkasi sosial diantarannya :
1.       Pembangkangan (Negativisme)
Bentuk tingkah laku melawan. Tingkah laku ini terjadi sebagai reaksi terhadap penerapan disiplin atau tuntutan orang tua atau lingkungan yang tidak sesuai dengan kehendak anak. Tingkah laku ini mulai muncul pada usia 18 bulan dan mencapai puncaknya pada usia tiga tahun dan mulai menurun pada usia empat hingga enam tahun.
Sikap orang tua terhadap anak seyogyanya tidak memandang  pertanda mereka anak yang nakal, keras kepala, tolol atau sebutan negatif lainnya, sebaiknya orang tua mau memahami sebagai proses perkembangan anak dari sikap dependent menuju kearah independent.
2.       Agresi (Agression)
Yaitu perilaku menyerang balik secara fisik (nonverbal) maupun kata-kata (verbal). Agresi merupakan salah bentuk reaksi terhadap rasa frustasi ( rasa kecewa karena tidak terpenuhi kebutuhan atau keinginannya). Biasanya bentuk ini diwujudkan dengan menyerang seperti ; mencubut, menggigit, menendang dan lain sebagainya.
Sebaiknya orang tua berusaha mereduksi, mengurangi agresifitas anak dengan cara mengalihkan perhatian atau keinginan anak. Jika orang tua menghukum anak yang agresif maka egretifitas anak akan semakin memingkat.

3.       Berselisih (Bertengkar)
Sikap ini terjadi jika anak merasa tersinggung atau terganggu oleh sikap atau perilaku anak lain.
4.       Menggoda (Teasing)
Menggoda merupakan bentuk lain dari sikap agresif, menggoda merupakan serangan mental terhadap orang lain dalam bentuk verbal (kata-kata ejekan atau cemoohan) yang menimbulkan marah pada orang yang digodanya.
5.       Persaingan (Rivaly)
Yaitu keinginan untuk melebihi orang lain dan selalu didorong oleh orang lain. Sikap ini mulai terlihat pada usia empat tahun, yaitu persaingan prestice dan pada usia enam tahun semangat bersaing ini akan semakin baik.
6.       Kerja sama (Cooperation)
Yaitu sikap mau bekerja sama dengan orang lain. Sikap ini mulai nampak pada usia tiga tahun atau awal empat tahun, pada usia enam hingga tujuh tahun sikap ini semakin berkembang dengan baik.
7.       Tingkah laku berkuasa (Ascendant behavior)
Yaitu tingkah laku untuk menguasai situasi sosial, mendominasi atau bersikap bossiness. Wujud dari sikap ini adalah ; memaksa, meminta, menyuruh, mengancam dan sebagainya.
8.       Mementingkan diri sendiri (selffishness)
Yaitu sikap egosentris dalam memenuhi interest atau keinginannya.


9.       Simpati (Sympaty)
Yaitu sikap emosional yang mendorong individu untuk menaruh perhatian terhadap orang lain mau mendekati atau bekerjasama dengan dirinya. 
2.2.2    Faktor – faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial Anak 
  Perkembangan sosial anak dipengaruhi beberapa faktor yaitu :
1.      Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek perkembangan anak, termasuk perkembangan sosialnya. Kondisi dan tata cara kehidupan keluarga merupakan lingkungan yang kondusif bagi sosialisasi anak. Proses pendidikan yang bertujuan mengembangkan kepribadian anak lebih banyak ditentukan oleh keluarga, pola pergaulan, etika berinteraksi dengan orang lain banyak ditentukan oleh keluarga.
2.      Kematangan
Untuk dapat bersosilisasi dengan baik diperlukan kematangan fisik dan psikis sehingga mampu mempertimbangkan proses sosial, memberi dan menerima nasehat orang lain, memerlukan kematangan intelektual dan emosional, disamping itu kematangan dalam berbahasa juga sangat menentukan.
3.      Status Sosial Ekonomi
Kehidupan sosial banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi keluarga dalam masyarakat. Perilaku anak akan banyak memperhatikan kondisi normatif yang telah ditanamkan oleh keluarganya.
4.      Pendidikan
Pendidikan merupakan proses sosialisasi anak yang terarah. Hakikat pendidikan sebagai proses pengoperasian ilmu yang normatif, anak memberikan warna kehidupan sosial anak didalam masyarakat dan kehidupan mereka dimasa yang akan datang.
5.      Kapasitas Mental : Emosi dan Intelegensi
Kemampuan berfikir dapat banyak mempengaruhi banyak  hal, seperti kemampuan belajar, memecahkan masalah, dan berbahasa. Perkembangan emosi perpengaruh sekali terhadap perkembangan sosial anak. Anak yang berkemampuan intelek tinggi akan berkemampuan berbahasa dengan baik. Oleh karena itu jika perkembangan ketiganya seimbang maka akan sangat menentukan keberhasilan perkembangan sosial anak.
2.2.3    Pengaruh Perkembangan Sosial Dan Moral terhadap Tingkah Laku
Dalam perkembangan sosial anak, mereka dapat memikirkan dirinya dan orang lain. Pemikiran itu terwujud dalam refleksi diri, yang sering mengarah kepenilaian diri dan kritik dari hasil pergaulannya dengan orang lain. Hasil pemikiran dirinya tidak akan diketahui oleh orang lain, bahkan sering ada yang menyembunyikannya atau  merahasiakannya.
Pikiran anak sering dipengaruhi oleh ide-ide dari teori-teori yang menyebabkan sikap kritis terhadap situasi dan orang lain, termasuk kepada orang tuanya. Kemampuan abstraksi anak sering menimbulkan kemampuan mempersalahkan kenyataan dan peristiwa-peristiwa dengan keadaan bagaimana yang semstinya menurut alam  pikirannya.
Disamping itu pengaruh egoisentris sering terlihat, diantaranya berupa :
1.      Cita-cita dan idealism yang baik, terlalu menitik beratkan pikiran sendiri, tanpa memikirkan akibat labih jauh dan tanpa memperhitungkan kesulitan praktis yang mungkin menyebabkan tidak berhasilnya menyelesaikan persoalan.
2.      Kemampuan berfikir dengan pendapat sendiri, belum disertai pendapat orang lain dalam penilaiannya.
Melalui banyak pengalaman dan penghayatan  kenyataan serta dalam menghadapi pendapat orang lain, maka sikap ego semakin berkurang dan diakhir masa remaja sudah sangat kecil rasa egonya sehingga mereka dapat bergaul dengan baik.
2.3       Arti Penting Perkembangan Kognitif Bagi Proses Belajar Siswa
2.3.1    Makna dan Manfaat Keterkaitannya
Antara proses perkembangan dengan proses belajar mengajar yang dikelola para guru terdapat “benang merah” yang mengikat kedua proses tersebut. Sehingga hampir tak ada proses perkembangan siswa baik jasmani maupun rohaninya yang sama sekali terlepas dari proses belajar mengajar sebagai pengejawantahan proses pendidikan. Apabila fisik dan mental sudah matang, pancaindra sudah siap menerima stimulus-stimulus dari lingkungan, berarti kesanggupan siswa pun sudah tiba.
            Program pengajaran disekolah yang baik adalah yang mampu memberikan dukungan besar kepada para siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangan mereka. Pengetahuan mengenai proses perkembangan dengan segala aspeknya itu sangat banyak manfaatnya, antara lain :
1.      Guru dapat memberikan layanan bantuan dan bimbingan yang tepat kepada para siswa, relevan dengan tingkat perkembangannya.
2.      Guru dapat mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan timbulnya kesulitan belajar siswa tertentu, lalu segera mengambil langkah yang tepat untuk menanggulanginya.
3.      Guru dapat mempertimbangkan waktu yang tepat untuk memulai aktivitas proses belajar mengajar bidang studi tertentu.
4.       Guru dapat menemukan dan menetapkan tujuan-tujuan pengajaran (TIU dan TIK) materi pelajaran atau pokok bahasan pengajaran tertentu.

Salah satu kesulitan pokok yang dialami para guru dalam semua jenjang pendidikan adalah menghayati makna yang dalam mengenai hubungan perkembangan khususnya ranah kognitif dengan proses belajar mengajar yang menjadi tanggung jawabnya.
            Ranah psikologi siswa yang terpenting adalah ranah kognitif. Ranah kejiwaan yang berkedudukan pada otak ini, dalam perspektif psikologi kognitif, adalah sumber sekaligus pengendali ranah-ranah kejiwaan lainnya, yakni ranah afektif (rasa) dan ranah psikomotor (karsa). Organ otak sebagai markas fungsi kognitif bukan hanya menjadikan penggerak aktivitas akal pikiran, melainkan juga menara pengontrol, aktivitas persaan dan perbuatan. Sebagai pengontrol otak selalu bekerja siang dan malam. Sekali kita kehilangan fungsi-fungsi kognitif karena kerusakan berat pada otak, martabat kita hanya berbeda sedikit dengan hewan.

            Demikian pula halnya orang yang menyalahgunakan kelebihan kemampuan otak untuk hal-hal yang merugikan kelompok lain apalagi menghancurkan kehidupan mereka, martabat orang tersebut tak lebih dari martabat hewan atau mungkin lebih rendah lagi. Itulah sebabnya, pendidikan dan engajaran perlu diupayakan sedemikian rupa agar ranah kognitif para siswa dapat berfungsi secara positif dan bertanggung jawab.
            Di antara temuan-temuan riset yang menonjol yakni otak, otak adalah sumber dan menara pengontrol bagi seluruh kegiatan kehidupan ranah-ranah psikologis manusia. Otak tidak hanya berpikir dengan kesadaran, tetapi juga berpikir dengan ketidaksadaran. Pemikiran tidak sadar (unconscious thinking) sering tejadi pada diri kita. Ketika kita tidur misalnya, kita bermimpi, dan mimpi adalah sebuah bentuk berpikir dengan gambar-gambar tanpa kita sadari. Alhasil ranah kognitif yang dikendalikan oleh otak kita itu memang karunia Tuhan yang luar biasa, dibandingkan dengan oargan-organ tubuh lainnya.

            Tanpa ranah kognitif, sulit dibayangkan seorang siswa dapat berpikir. Selanjutnya, tanpa kemampuan berpikir mustahil siswa tersebut dapat memahami dan meyakini faidah materi-materi pelajaran yang disajikan kepadanya. Tanpa berpikir juga sulit bagi siswa untuk menangkap pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran yang ia ikuti, termasuk materi pelajaran agama.

2.3.2    Faedah Pengembangan Ranah Kognitif Siswa
            Diatas sudah dipaparkan kelebihan-kelebihan fungsi ranah kognitif, khususnya bagi siswa yang sedang belajar mengembangkan seluruh potensi psikologisnya, baik yang berdimensi afektif maupun psikomotor. Oleh karenanya, upaya pengembangan kognitif siswa secara terarah, baik oleh orang tua maupun guru, sangat penting. Upaya pengembangan fungsi ranah kognitif akan berdampak positif bukan hanya terhadap ranah kognitif sendiri, melainkan juga terhadap ranah efektif dan psikomotor. Seperti yang akan diuraikan lebih lanjut: 
1.      Mengembangkan kecakapan kognitif
Ada dua macam kecakapan kognitif siswa yang amat perlu dikembagkan secara khususnya oleh guru, yakni : a) strategi belajar memahami isi materi pelajaran, b) strategi meyakini arti penting isi materi pelajaran dan aplikasinya serta menyerap pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran tersebut.

             Strategi adalah sebuah istilah populer dalam istilah psikologi kognitif, yang berarti prosedur mental yang berbentuk tatanan tahapan yang memerlukan alokasi upaya-upaya yang bersifat kognitif dan selalu dipengaruhi oleh piihan-pilihan kognitif atau pilihan-pilihan kebiasaan belajar (cognitive preferences) siswa.
Pilihan kebiasaan belajar ini secara global terdiri atas : 1) menghafal prinsip-prinsip yang terkandun dalam materi, 2) mengaplikasikan prinsip-prinsip materi.

            Preferensi kognitif yang pertama pada umumnya timbul karena dorongan luar (motif ekstrinsik) yang mengakibatkan siswa menganggap belajar hanya sebagai alat pencegah ketidak lulusan atau ketidak naikan.
Aspirasi yang dimilikinya pun bukan ingin menguasai materi secara mendalam, melainkan sekadar asal lulus atau naik kelas. Sebaliknya, preferensi kognitif yang kedua biasanya timbul karena dorongan dari dalam diri siswa sendiri (motif intrinsik), dalam arti siswa tersebut memang tertarik dan membutuhkan materi-materi yang disajikan gurunya.

            Tugas guru dalam hal ini adalah menggunakan pendekatan mengajar yang memungkinkan para siswa menggunkan strategi belajar yang berorientasi pada pemahaman yang mendalam terhadap isi materi pelajaran. Guru juga diharapkan mampu menjauhkan para siswa dari strategi dan preferensi akal yang hanya mengarah ke aspirasi asal naik atau lulus. Guru juga sangat diharapkan mampu menjelaskan nilai-nilai moral yang terkandung dalam materi yang ia ajarkan, sehingga keyakinan para siswa terhadap faidah materi tersebut semakin tebal dan pada gilirannya kelak ia akan mengembangkan dan mengaplikasikan dalam situasi yang relevan.

            Selanjutnya, guru juga dituntut untuk mengembangkan kecakapan kognitif para siswa dalam memecahkan masalah dengan menggukanakan pengetahuan yang dimilikinya dan keyakinan-kayakinan terhadap pesan-pesan moral atau nilai yang terkandung dan menyatu dalam pengetahuannya.

2.      Mengembangkan kecakapan afektif
Keberhasilan pengembangan ranah kognitif tidak hanya akan membuahkan kecakapan kognitif, tetapi juga menghasilkan kecakapan ranah afektif. Sebagai contoh, seorang guru agama yang piawai dalam mengembangkan kecakapan kognitif dengan cara tadi diatas, maka akan berdampak positif terhadap ranah afektif para siswa.
Dalam hal ini, pemahaman yang mendalam terhadap arti penting materi pelajaran agama yang disajikan guru serta preferensi kognitif yang mementingkan aplikasi prinsip-prinsip tadi akan meningkatkan kecakapan afektif ini, antara lain berupa kesadaran beragama yang mantap.

            Dampak positif lainnya adalah dimilikinya sikap mental keagamaan yang lebih tegas sesuai dengan tuntutan ajaran agama yang telah ia pahami dan yakini secara mendalam.

3. Mengembangkan kecakapan psikomotor
            Kecakapan psikomotor ialah segala amal jasmaniah yang konkret dan mudah diamati, baik kuantitasnyamaupun kualitasnya, karena sifatnya yang terbuka.
Namun, kecakapan psikomotor tidak telepas dari kecakapan afektif. Jadi, kecakapan psikomotor siswa merupakan manifestasi wawasan pengetahuan dan kesadaran serta sikap mentalnya.
Banyak contoh yang membuktikan bahwa kecakapan kognitif itu berpengaruh besar terhadap berkembangnya kecakapan psikomotor. Para siswa yang berprestasi baik (dalam arti yang luas dan ideal) dalam bidang pelajaran agama misalnya sudah tentu akan lebih rajin beribadah shalat, puasa, dan mengaji. Dia juga tidak akan segan-segan memberi pertolongan atau membantu kepada orang yang memerlukan. Sebab, ia merasa memberi bantuan itu adalah kebajikan (afektif), sedangkan perasaan yang berkaitan dengan kebajikan tersebut berasal dari pemahaman yang mendalam tehadap materi pelajaran agama yang ia terima dari gurunya.
  
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Perkembangan sosioemosional anak, anak itu ingin dirinya itu mendapat penghargaan diri, martabat diri dan gambaran diri ataupun pandangan keseluruhan dari individu tentang dirinya sendiri.
2.      Perkembangan sosial dan moral anak diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi, meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan kerja sama.
-          Bentuk-bentuk tingkah laku sosial:
A.    Pembangkangan (Negativisme)
B.     Agresi (Agression)
C.     Berselisih (Bertengkar)
D.    Menggoda (Teasing)
E.     Persaingan (Rivaly)
F.      Kerja sama (Cooperation)
G.    Tingkah laku berkuasa (Ascendant behavior)
H.    Mementingkan diri sendiri (selffishness)
I.       Simpati (Sympaty)
-             Faktor – faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial Anak:
A.      Keluarga
B.      Kematangan
C.      Status sosial ekonomi
D.       Pendidikan
E.      Kapasitas Mental : Emosi dan Intelegensi
3.      Peran penting perkembangan  kognitif bagi proses belajar adalah
A.       Untuk mengembangkan kecakapan kognitif
B.      Untuk mengembangkan kecakapan afektif
C.      Untuk mengembangkan kecakapan psikomotor ,


DAFTAR PUSTAKA
Hartinah Sitti, 2008, Perkembangan Peserta Didik, Bandung : PT. Refika Aditama
Mustaqim, Wahib Abdul, 1991, Psikologi Pendidikan, Jakarta : PT. Rineka Cipta
Sukmadinata Syaodih Nana, 2005, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya
Syah Muhibbin, 2005, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya

Yusuf Syamsu LN, 2006, Psikologi Perkembangan Anak & Remaja, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya