Senin, 14 Januari 2019

Biografi Siingkat Imam Al Ghazali

Sosok pribadi Imam AL Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhammad al Ghazali, dilahirkan di Thus, sebuah kota di Khurasan, Persia pada tahun 450 H atau 1058 M. ayahnya adalah seorang pemintal wool yang selalu memintal dan menjualnya sendri di kota itu.[1] al-Ghazali mempunyai seorang saudara. Ketika akan meninggal, ayahnya berpesan kepada sahabat setianya agar kedua putranya itu diasuh dan disempurnakan pendidikan setuntas-tuntasnya. Sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah Al-Ghazali. Kedua anank didik itu disekolahkan, setelah harta pusaka peninggalan ayah mereka habis,mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampu-mampunya.  Imam al-Ghazali seal kecil dikenal sebagai pecinta  ilmu pengetahuan dan penggandrung pencari kebenaran  yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa duka nestapa.
Di masa anak-anak imam al-Ghazali belajar kepada Ahwaad bin Muhammad ar-Radzikani di Thus, kemudian belajar kepada Abi Nasr al-Ismaili di Jurjani dan akhirnya ia kembali ke Thus lagi. Pada kali yang lain diceritakan bahwa dalam perjjalanan pulangnya ia dihadang sekawanan pembegal yang kemudian merampas harta dan kebutuhan-kebutuhan yang mereka bawa. Para pembegal tersebut merebut tas al-Ghazali yang berisi buku-buku filsafat dan pengetahuan yang ia senangi. Kemudian al-Ghazali berharap  agar sudi mengembalikan tasnya, karena ia ingin mendapatkan berbagai macam pengetahuan yang terdapat pada buku-buku itu. kawanan perampok itu merasa iba hati dan kasihan kepadanya, akhirnya merekaa mengembalikan kitab-kitab itu kepadanya.
Diceritakan setelah kejadian itu, al-Ghazali semakin rajin mempelajari kitab-kitiabnya, memahami ilmu yang terkandung dan berusaha mengamalkannya. Bahkan al-Ghazali selalu menyimpan kitab-kitabnya di tempat yang khusus dan aman.
Sesudah itu al-Ghazali pindah  ke Nisabur untuk belajar kepada seorang ahli agama kenamaan dimasanya, yaitu al-Juwaini, Imam al-Haramain. Dari beliau ini beliau belajar ilmu kalam, ilmu ushul, dan pengetahuan agama lainnya.
Imam al-Ghazali seorang yang cerdas dan mampu mendebat segala sesuatu  yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernnih dan logis hingga al-Juwaini sempat memberi predikat sebagai orang yang memiliki ilmu yang sangat luas bagaikan “laut dalam nan menggelamkan” (bahrun mughriq). Ketika gurunya ini meninggal dunia, al-Ghazali meninggalkan Nisabur menuju istana Nidzam al-Mulk dan menjadi seorang perdanan menteri Sultan anu Saljuk.
Keikutsertaan al-Ghazali dalam suatu diskusi bersama sekelompok ulama dan para intelektual di hadapan Nidzam al-Mulk membawa kemenangan baginya. Hal itu tidak lain berkat ketinggian ilmu filsafatnya, kekayaan ilmu pengetahuannya, kefasihan lidahnya dan kejituan argumentasinya. Nidzam al-Mulk benar-benar kagum melihat kehebatan al-Ghazali dan berjanji akan mengangkatnya sebagai guru besar di Universitas yang didirikannnya di Baghdad. Peristiwa ini terjadi pada tahun 484 atau 1091 M. [2]
Ditemgah-tengah kesibukannnya mengajar di Baghdad al-Ghazali masih sempat mengarang sejumah kitab seperti ; Al-Basith, Al-Wasith, Khulashah Ilmu Fiqh, Al-Munqil fi Ilm al-Fadal, Makhhadz al-Khalaf, Lubab al-Nadzar, Tahsin al-Ma’akhidz dan Al-Mabadi’ wa al-Ghayat fi Fann al-Khalaf. Namun kesibukannya dalam mengarangnya ini tidak mengganggu perhatian beliau terhadap ilmu metafisika dan beliau selalu meragukan kebenaran adat-istiadat warisan nenek moyang dimana seorang pun yang memperdebatkan soal kebenarannya atau menggali asal-usul dari tindakan adat-istiadat tersebut.
Kemudian pada satu waktu beliau pulang ke Baghdad kembali mengajar disana. Hanya saja beliau menjadi guru besar dalam bidang studi lain tidak seperti dahulu lagi. setelah menjadi guru besar dalam berbagai ilmu pengetahuan agama, beliau diberi tugas sebagai imam ahli agama dan tasawuf serta penasehat khusus dalam bidang agama. Kembalinya Imam GhazaIi ke Baghdad sekitar sepuluh tahun beliau pindah ke Naisaburi dan  sibuk mengajar disana dalam waktu yang tidak lama, setelah itu beliau meninggal dunia di kota Thus, kota kelahirannya, pada tahun  505H atau 1111  M.
Konsep Pendidikan Al-Ghazali
Pengertian pendidikan menurut al-Ghazali adalah menghilangkan akhlak yang buruk. [3] Dengan demikian pendidikan merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan secara sistematis untuk melahirkan perubahan-perubahan yang progresif pada tingkah laku manusia. Dari pengertian diatas, al-Ghazali menitik beratkan perilaku manusia yang sesuai dengan ajaran islam sehingga didalam melakukan suatu proses diperlukan suatu proses yang diajarkan secara indoktrinatif atau nilai yang dijadikan mata pelajaran. Hal ini didasarkan pada batin manusia yang memiliki empat unsure yang harus diperbaiki secara keseluruhan, serasi dan seimbang. Keempat unsure tersebut meliputi; kekuatan ilmu, kekuatan ghadbah (kemarahan), kekuatan syahwat dan kekuatan keadilan. Dengan terintegrasinya keempat unsure tersebut dalam diri manusia, maka diharapkan dapat melahirkan keindahan watak manusia.




[1] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada), hlm.81
[2] Ibid, hlm.83
[3] Zainudin (eds), Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik hingga Kontemporer, (UIN Malang Press, 2009), hlm.166