Apa itu fotografi ?
Fotografi berasal
dari kata “photography”. Photo = sinar dan grapy = tulisan, lukisan, cetakan.
Fotografi menurut arti harfiyahnya adalah menggambar dengan sinar. Kalau
dijabarkan lebih luas lagi, fotografi adalah media yang digunakan untuk
menyampaikan gagasan, pikiran, ide, cerita, peristiwa dan lain sebagainya
seperti halnya bahasa, tetapi berujud gambar.
Tujuan hakiki dari
fotografi adalah komunikasi (menyampaikan pesan). Ia mempunyai nilai dokumentatif
(mengungkap peristiwa penting yang mempunyai nilai sejarah), Informatif
(mengungkapkan berbagai macam peristiwa yang diperlukan masyarakat), seni
(keindahan), hiburan.
Jadi, fotografi
merupakan sarana komunikasi yang praktis untuk menyatakan perasaan, pikiran
ataupun pesan melalui hasil karya foto secara universal, layaknya disebut
bahasa gambar. Bahasa gambar mempunyai fungsi yang sama seperti halnya dengan
bahasa yang kita gunakan sehari-hari, baik secara lisan maupun tulisan dengan
maksud untuk dimengerti atau mendapatkan perhatian. Selanjutnya direspon dengan
tindakan sesuai dengan apa yang kita harapkan.
Proses kerja dari
fotografi ini menggunakan alat yang dinamakan kamera. Dari kamera itu akan
diperoleh gambar dan cahaya yang dipantulkan oleh objek masuk ke lensa kemudian
diteruskan ke bidang film atau disimpan dalam memory card (sehingga
menghasilkan gambar.
Apa itu jurnalistik?
Jurnalistik adalah proses kegiatan meliput atau
reportase, menulis, mengedit, memuat/menayangkan gambar atau tulisan dan
menyebarluaskan peristiwa yang bernilai news (berita) dan view (pandangan)
kepada khalayak melalui saluran media massa, cetak atau elektronik.
Apa itu foto
jurnalistik?
Dari penjelasan
mengenai fotografi dan jurnalistik di atas, tentu Anda sudah bisa menarik
kesimpulan apa yang dimaksud dengan foto jurnalistik. Sedang orang yang
melakukan tugas jurnalistik khusus di bidang fotografi disebut dengan wartawan
foto atau fotografer. Ada juga fotografer lepas yang tidak memiliki media. Di
luar negeri fotografer tanpa surat kabar ini dijuluki dengan paparazzi. Tugas utama
fotografer ini tak jauh berbeda dengan reporter atau wartawan tulis. Hanya
saja, alat yang dipakai untuk menjalankan tugasnya bukan pena ataupun tape
recorder, melainkan kamera.
Hasil karya mereka
umumnya merupakan perpaduan antara unsur teknik dan seni seperti halnya media
komunikasi (cetak, broadcasting, audio visual) yang lainnya. Termasuk
batasan-batasan tertentu yang harus dianut seperti kode etik jurnalistik. Agar
hasil karya foto bermanfaat dan berhasil dengan baik, seorang fotografer harus
memadukan unsur teknik foto, keindahan, komposisi warna, ide cerdas, moment,
dan lain sebagainya.
Foto jurnalistik pertama
kali muncul ketika The Illustrated London News memuat gambar lukisan
(hasil cukilan kayu) yang merupakan hasil reproduksi sebuah foto pada 30 Mei
1842. Waktu itu disebut sebagai drawing pictures. Gambar itu merupakan spotnews
atau peristiwa langsung, tentang pembunuhan (penembakan) dengan pistol atas
diri Ratu Victoria di dalam keretanya.
Karena belum
ditemukannya cara membuat nada warna abu-abu atau halftones dalam surat
kabar, maka sampai tahun 1896 gambar yang dimuat masih saja dibuat dari cukilan
kayu. Baru 21 Januari 1897 koran Tribune New York benar-benar memuat
foto di dalamnya. Ini dimungkinkan setelah ditemukan sistem penggunaan
titik-titik (dots) yang kita kenal sekarangdengan sebutan raster untuk membuat
warna halftones tadi.
Bagaimana menghasilkan
foto jurnalistik yang menarik?
Sejak itulah pemuatan
gambar di surat kabar menjadi semakin tambah banyak dan mulailah redaksi
memperhatikan apa sebenarnya yang sangat menarik dari sebuah foto yang patut
untuk dimuat. Termasuk juga mempertimbangkan perlunya mengadakan tugas khusus
bagi wartawannya hanya untuk pekerjaan memotret saja. Artinya hanya untuk
mencari gambar saja. Spesialisasi ini juga banyak diberlakukan di dunia
persuratkabaran yang maju. Sesudah ada spesialisasi itu maka para pakar atau
jumhur jurnalis mulai memperhatikan apa sebenarnya yang sangat menarik dari
dari sebuah foto yang patut untuk dimuat.
Dari hasil pengamatan
mereka disimpulkan bahwa gambar/foto jurnalistik yang menarik itu harus
mempunyai tiga aspek utama :
1. Punya daya tarik visual (eye catching)
2.
Punya isi atau arti
(meaning) dan
3.
Punya
daya tarik emosional (impact)
Foto yang bagus
adalah yang dapat menyampaikan pesan kepada yang melihatnya. Apakah itu sedih,
riang, lucu, tragis, artistik atau yang menumbuhkan emosi lain. Jadi, karya fotonya
tidak hanya sekedar pendukung tulisan berita saja. Meski demikian, sebuah foto
yang baik, dapat menciptakan berita yang baik. Tetapi, sebuah berita yang
sebenarnya menarik, menjadi kurang menarik kalau tidak disertai dengan foto.
Namanya saja
foto-berita, maka norma-norma atau nilai-nilai berita (tulis) yang menarikpun
juga dituntut dari sebuah foto berita, seperti :
1.
Sifatnya menarik (interesting)
2.
Lain dari biasa (different)
3.
Satu-satunya (exclusive)
4.
Peristiwanya dekat dengan pembaca
5.
Dampaknya luas
6.
Mengandung ketegangan (suspense)
7. Menyangkut masalah seks, humor,
konflik, dll.
Dari pedoman
itulah para jurnalis-foto memfokuskan perhatiannya pada hal-hal yang tersirat
dalam kriteria itu. Untuk menjadi jurnalis-foto profesional, wartawan perlu
memperhatikan hal-hal tersebut. selain itu harus memperdalam pengetahuan dan
pengalamannya. Seorang wartawan foto
dituntut tahu benar tentang kamera dan proses fotografi, tahu pula memanfaatkan
kesempatan serta harus cekatan. Wartawan foto mesti mengombinasikan kerja mata,
otak dan hati dalam tugasnya.
Guru yang baik adalah
pengalaman, karena itu apabila ingin menjadi wartawan foto yang baik harus
tekun belajar dan banyak praktik lapangan. Karena ini pekerjaan praktis, maka
tidak bisa hanya dibayangkan di atas meja.
(*)
Sumber : Jawa Pos Radar Jombang