Jadi, sekian langkah kakiku berjalan,
berkilo-kilo diri ini kubuang dalam pengasingan, bahkan silaturahmi sesama
kawan-kawan lama sudah ‘tidak’ pernah aku sambung—sebagaimana biasanya. Bukan
pelarian apalagi mencari ruang aman agar tak lagi bergelut di dunia ‘rimba’
yang dulu aku sangat menikmati dan mengejar-ngejarnya. Pragmatisme.
Hidup yang amat sangat luas dan
berlipat-lipatnya, ada sahabat, ada musuh, gembira, lapar, sepi, huru-hara,
gegap gempita politik, tukang bakso, aktivis, dan apapun saja hanya satu dari
ribuan langkah dimana kau tetap merasa gelap dengan ketidaktahuan akan masa
depan. Spekulasi.
Tapi, tahukah kau, ada dunia yang hampir
tidak terjamah oleh kebanyakan orang. Dunia yang penuh warna, eksotis rasa dan
nuansa, menyibak keramaian dengan mengintip keheningan dan kesejatian, gejolak
jiwa, esensi ilmu, substansi akhlak dan moral, cara berpikir yang luas, yang
semua itu dielaborasi menjadi satu kesatuan wujud kekuatan batin yang tenang
dan anteng.
Orang jawa bilang Wong Jawa iku nggoning semu,
sinamun ing samudana, sesadone ingadu manis. Maksudnya, orang Jawa itu
tempatnya segala simbol, dengan maksud agar tampak indah dan manis. Kritik
sosial, filsafat, seni, sastra dan budaya sering dinyatakan dengan kiasan.
dalam pergulatan pribadi, perasaan apapuyn ditahan dalam dalam batin, dan
diungkapkan lain waktu dengan ungkapan halus, entah berupa kata-kata semu atau
ekspresi bahasa tubuh.
Inilah yang kumaksud, dunia batin dan
ekspresi tubuh.
Aku tidak bisa menerka, apalagi membayangkan
betapa muleknya jiwa manusia jika didalam muatan batinnya tersimpan
marah, kesal, gembira, sedih, sepi, tidak dianggap, dicuekin dan apapun
saja—yang ia menyimpannya rapat-rapat dan tidak ditampakkan oleh ekspresi
wajahnya maupun tubuhnya.
Adakah manusia yang kuat menahan marah dan
tidak diekspresikan?
Mampukah manusia memendam kebahagian namun
tak ditampakkan?
Bisakah manusia bergelut putus asa dengan
tetap dingin-dingin saja?
Mungkinkah hati manusia tidak hancur oleh
kerinduan dan cinta yang ditutup-tutupinya?
Sungguh, manusia macam apa yang mempunyai
batin sedemikian tangguh dan kuat menahan berkuintal-kuintal gejolak rasa.
Dulu, para sepuh Jawa sempat menganalogikan
dunia batin dan kehidupan manusia—khusunya manusia Jawa—dengan arif dan cantik.
Konon, apabila digambarkan secara simbolis, dunia batin manusia Jawa
diibaratkan sebuah telaga yang luas dan dalam. Airnya tenang, jernih. Sejak
berabad-abad lalu bremacam ragam flora dan fauna hidup di dalamnya. Seperti
lumut, ganggang, cacing, ikan, ketam, ular, dan lain-lain. Termasuk juga
mungkin makhluk-makhluk berbadan halus. Karena letaknya di lereng gunung,
dikelilingi hutan dan udaranya sejuk segar, maka siapa pun yang datang akan
merasa tenang, nyaman, dan kerasan.
Sabrang ketika Maiyahan di Surabaya mengatakan,
“ Hati itu bagai permukaan danau. Semakin halus permukaan danau semakin tenang
dan tidak ada goyangan. Semakin bisa pula kita merasakan tetesan air dari
langit”.
Dan aku pun tetap merasa sendiri dan asing.
Tapi bukankah keasingan merupakan penemuan yang riel terhadap diriku sendiri.
Semakin diri ini merasa asing, semakin kau otentik dengan dirimu sendiri.
Maka, jiwamu selalu bertapa.
Matamu terpejam merasakan hilir mudik
kekhusyukan yang selalu datang seketika.
Disitulah tetesan air dari langit mengucur
deras ke ubun-ubun kepala. Dan kau semakin menemukan dirimu yang ternyata
berbeda dengan dirimu yang lain.
Ada perenungan, ada ilmu, ada energi,
tanda-tanda, dan lain sebagainya.