Selasa, 05 Mei 2015

#Renung Senja 28

Jadi, sekian langkah kakiku berjalan, berkilo-kilo diri ini kubuang dalam pengasingan, bahkan silaturahmi sesama kawan-kawan lama sudah ‘tidak’ pernah aku sambung—sebagaimana biasanya. Bukan pelarian apalagi mencari ruang aman agar tak lagi bergelut di dunia ‘rimba’ yang dulu aku sangat menikmati dan mengejar-ngejarnya. Pragmatisme.

Hidup yang amat sangat luas dan berlipat-lipatnya, ada sahabat, ada musuh, gembira, lapar, sepi, huru-hara, gegap gempita politik, tukang bakso, aktivis, dan apapun saja hanya satu dari ribuan langkah dimana kau tetap merasa gelap dengan ketidaktahuan akan masa depan. Spekulasi. 
Tapi, tahukah kau, ada dunia yang hampir tidak terjamah oleh kebanyakan orang. Dunia yang penuh warna, eksotis rasa dan nuansa, menyibak keramaian dengan mengintip keheningan dan kesejatian, gejolak jiwa, esensi ilmu, substansi akhlak dan moral, cara berpikir yang luas, yang semua itu dielaborasi menjadi satu kesatuan wujud kekuatan batin yang tenang dan anteng. 

Orang jawa bilang Wong Jawa iku nggoning semu, sinamun ing samudana, sesadone ingadu manis. Maksudnya, orang Jawa itu tempatnya segala simbol, dengan maksud agar tampak indah dan manis. Kritik sosial, filsafat, seni, sastra dan budaya sering dinyatakan dengan kiasan. dalam pergulatan pribadi, perasaan apapuyn ditahan dalam dalam batin, dan diungkapkan lain waktu dengan ungkapan halus, entah berupa kata-kata semu atau ekspresi bahasa tubuh. 

Inilah yang kumaksud, dunia batin dan ekspresi tubuh. 

Aku tidak bisa menerka, apalagi membayangkan betapa muleknya jiwa manusia jika didalam muatan batinnya tersimpan marah, kesal, gembira, sedih, sepi, tidak dianggap, dicuekin dan apapun saja—yang ia menyimpannya rapat-rapat dan tidak ditampakkan oleh ekspresi wajahnya maupun tubuhnya. 

Adakah manusia yang kuat menahan marah dan tidak diekspresikan?  

Mampukah manusia memendam kebahagian namun tak ditampakkan?

Bisakah manusia bergelut putus asa dengan tetap dingin-dingin saja? 

Mungkinkah hati manusia tidak hancur oleh kerinduan dan cinta yang ditutup-tutupinya? 

Sungguh, manusia macam apa yang mempunyai batin sedemikian tangguh dan kuat menahan berkuintal-kuintal gejolak rasa. 

Dulu, para sepuh Jawa sempat menganalogikan dunia batin dan kehidupan manusia—khusunya manusia Jawa—dengan arif dan cantik. Konon, apabila digambarkan secara simbolis, dunia batin manusia Jawa diibaratkan sebuah telaga yang luas dan dalam. Airnya tenang, jernih. Sejak berabad-abad lalu bremacam ragam flora dan fauna hidup di dalamnya. Seperti lumut, ganggang, cacing, ikan, ketam, ular, dan lain-lain. Termasuk juga mungkin makhluk-makhluk berbadan halus. Karena letaknya di lereng gunung, dikelilingi hutan dan udaranya sejuk segar, maka siapa pun yang datang akan merasa tenang, nyaman, dan kerasan.
Sabrang ketika Maiyahan di Surabaya mengatakan, “ Hati itu bagai permukaan danau. Semakin halus permukaan danau semakin tenang dan tidak ada goyangan. Semakin bisa pula kita merasakan tetesan air dari langit”. 

Dan aku pun tetap merasa sendiri dan asing. Tapi bukankah keasingan merupakan penemuan yang riel terhadap diriku sendiri. Semakin diri ini merasa asing, semakin kau otentik dengan dirimu sendiri.
Maka, jiwamu selalu bertapa. 

Matamu terpejam merasakan hilir mudik kekhusyukan yang selalu datang seketika.
Disitulah tetesan air dari langit mengucur deras ke ubun-ubun kepala. Dan kau semakin menemukan dirimu yang ternyata berbeda dengan dirimu yang lain. 

Ada perenungan, ada ilmu, ada energi, tanda-tanda, dan lain sebagainya.