Semoga,
cerita ini bukan merupakan bentuk gede rumongso, karena aku tulis dengan
kehatia-hatian dan perenungan. Setiap kata, kalimat, hingga paragraph aku susun
dengan ketelitian rasa, kekurangan diri, agar aku tak terjebak kepada
kesombongan, tidak terkungkung pada konservatisme diri.
Semoga,
setiap untaian renungan—yang selama ini aku alami dari berbagai kejadian—bukan
merupakan kekolotan hati, tidak juga merupakan sifat picis, apalagi mengklaim
bahwa prinsip yang aku pegang adalah yang paling benar dan sejati.
Astagfirullaha
Rabbal Baraya…
Astagfirullaha
minal khataya..
Begini
kawan…
Adakah
diantara kalian yang pernah merasakan keterasingan. Keteraasingan ini luas
maknanya. Engkau bisa merasakan keterasingan diri, bahkan didalam keramaian pun
seolah-olah terasa sepi. Tidak ada apa-apa kawan, masih ada satu keterasingan
yang mungkin engkau akan menderita jika mengalaminya.
Keterasingan
nilai-nilai.
Seorang
teman, mengataiku puritan karena begitu terbelenggunya diriku dengan idealitas
prinsip yang kuanut. Cara berpikir yang kualitatif, namun sangat tidak
realistis melihat gejala atau fakta yang terjadi di lapangan. Khususnya di
lembaga pendidikan.
“ Prinsipmu
itu bagus dan ideal bro, sangat otentik. Ada falsafah, ada akhlak, ada moral,
ada kesantunan “ Ujarnya.
“ Tapi awakmu
kudu ngerti “ Lanjut ia sembari
menghisap rokoknya
Aku diam
saja. Kupasang telingaku baik-baik untuk mendengar ocehannya. Kopi di meja
tinggal ampasnya. Segera aku ngacir ke belakang, menghidupkan kompor,
menuangkan air. Kutinggal ke depan melanjutkan obrolan dengan kawanku di teras
sambil menunggu mendidihnya air.
“ piye-piye..??”
kulemparkan sebatang Dji Sam Soe
kearahnya
“ Gini lho Ndre. Mbok kamu
lentur dikit, ojo kaku-kaku.
“ Gak
usah nggedabrus. Langsung ae intine “
“ Lihat dirimu. Berkacalah. Supaya kamu tahu bahwa banyak paradoks-paradoks
dalam hidup. Dalam bidang apa saja. Khusunya alam bathin setiap manusia. Tanyalah
pada hatimu, kamu akan mengerti apa yang benar-benar jujur dan otentik dari
kebenaran dibalik gejala yang kamu alami”
“ Kesuwen pengantare, langsung intine ngunu lho “
“ Memang, mengaktualisasikan sifat dan akhlak butuh proses. Tidak
ujug-ujug. Ada orang yang keliru berbuat walaupun niatnya benar. Sebaliknya,
beberapa orang mengeksploitir niat untuk suatu kepentingan dan obsesi, tapi di
tengah-tengah perjalanan ia sadar dan memperbaiki diri. Waktu berjalan
sedemikian kencang, hingga kamu tak mampu menentukan seribu langkah ke depan “
“ Walahh..kok malah jadi motivator gitu “
“ Kamu jangan pernah meledek para motivator-motivator itu
walaupun apa yang mereka omongkan sepenuhnya tidak pernah mereka alami. Seakan mereka
adalah manusia-manusia perkasa yang mampu mengubah penderitaan menjadi kegembiraan,
menyulap kesedihan menjadi bahagia dengan mulut penuh busa. Motivator itu
profesi sedang motivasi itu muncul dalam diri. Profesi itu pekerjaan dan kamu
dapat uang, sedang motivasi yang muncul dari alam jiwamu itu merupakan bisikan
Tuhan kepada para hambanya yang dirundung sedih hatinya. Kamu harus tahu bedanya
mana kebenaran yang bersandar pada uang, dan kebenaran yang berasal dari Tuhan “
“ Jabang bayi mbrojoooll.. kowe ngomong opo to. Fokus…fokus…”
“ Heeh…kamu itu ya. Bisa ndak sich diajak berpikir zig-zag
dan siglikal. Setiap peristiwa maupun gejala pada intinya bermuara pada inti
yang sama. Kamu misalnya, kamu asing dengan nilai-nilai yang dianut banyak
orang makanya aku suruh kamu berkaca biar tahu apa yang dimaui Tuhan kepadamu. Butuh
proses memang, dan niat menjadi pondasi utama agar kamu tetap berpijak dan tak
terjatuh di tengah-tengah jalan. Makanya cari motivasi yang terpendam dalam
dirimu “
Kawanku kesetanan.
“ Dan kamu itu, harus berbagi hati untuk mau menghargai
profesi orang. Termasuk para motivator-motivator nggedabrus itu. Lihat dirimu. Emangnya
apa profesimu selama ini. Gelandangan tak jelas arah, yang bisa-bisanya cuma ngomong
ndakik-ndakik soal filsafat dan kehidupan. Mending para
motivator-motivator itu. Jelas kerjanya walaupun mulutnya penuh busa.
“ aku bukan gelandangan “
“ Ya..kamu gelandangan sepanjang masa. Mungkin setiap
perputaran zaman kamu akan tetap gelandangan. Kamu sepi, sendiri, asing, merasa
tidak ada yang memahami. Tak ada yang menyapamu, tak ada yang peka dengan roso
atimu, tak satupun dari teman-temanmu, gurumu, dan Ibu Bapakmu yang
mendukung perjuanganmu dalan ranah nilai-nilai.
“ Nilai akhlak seorang guru sejati kamu pegang. Makanya kamu
enggan menawar-nawarkan diri, melamar-lamarkan kepribadian agar diterima
menjadi guru. Derajat guru tak mampu dikalahkan oleh lembaga wadag yang bernama
sekolah atau institusi-instisusi pendidikan. Seluruh muatan kebaikan,
kebenaran, ketulusan, sikap adil dan jujur, luasnya ilmu, kerendah hatian jiwa,
ada dalam seorang Guru. Manusia suci macam itu mana mungkin menawar-nawarkan
dirinya untuk ‘menjadi’ Guru. Harusnya, lembaga-lembaga pendidikan itulah yang ‘sendiko
dawuh’ meminta perkenan seorang Guru agar mau mengajarkan ilmunya di sekolah. Bukan
sebaliknya. Dan sistem pendidikan nasional kita belum mencapai arah kesana.
“ Terus aku kudu piye “
“ Tetep dadio gelandangaaan “
Hahahahahahahahahahahaha.
Malang, Mei 2015