Sabtu, 16 Mei 2015

GURU

Semoga, cerita ini bukan merupakan bentuk gede rumongso, karena aku tulis dengan kehatia-hatian dan perenungan. Setiap kata, kalimat, hingga paragraph aku susun dengan ketelitian rasa, kekurangan diri, agar aku tak terjebak kepada kesombongan, tidak terkungkung pada konservatisme diri.
Semoga, setiap untaian renungan—yang selama ini aku alami dari berbagai kejadian—bukan merupakan kekolotan hati, tidak juga merupakan sifat picis, apalagi mengklaim bahwa prinsip yang aku pegang adalah yang paling benar dan sejati.

Astagfirullaha Rabbal Baraya…
Astagfirullaha minal khataya..

Begini kawan…

Adakah diantara kalian yang pernah merasakan keterasingan. Keteraasingan ini luas maknanya. Engkau bisa merasakan keterasingan diri, bahkan didalam keramaian pun seolah-olah terasa sepi. Tidak ada apa-apa kawan, masih ada satu keterasingan yang mungkin engkau akan menderita jika mengalaminya.
Keterasingan nilai-nilai.   

Seorang teman, mengataiku puritan karena begitu terbelenggunya diriku dengan idealitas prinsip yang kuanut. Cara berpikir yang kualitatif, namun sangat tidak realistis melihat gejala atau fakta yang terjadi di lapangan. Khususnya di lembaga pendidikan.

“ Prinsipmu itu bagus dan ideal bro, sangat otentik. Ada falsafah, ada akhlak, ada moral, ada kesantunan “ Ujarnya.

“ Tapi awakmu kudu ngerti  “ Lanjut ia sembari menghisap rokoknya

Aku diam saja. Kupasang telingaku baik-baik untuk mendengar ocehannya. Kopi di meja tinggal ampasnya. Segera aku ngacir ke belakang, menghidupkan kompor, menuangkan air. Kutinggal ke depan melanjutkan obrolan dengan kawanku di teras sambil menunggu mendidihnya air. 

piye-piye..??”  kulemparkan sebatang Dji Sam Soe kearahnya

Gini lho Ndre. Mbok kamu lentur dikit, ojo kaku-kaku

Gak usah nggedabrus. Langsung ae intine “

“ Lihat dirimu. Berkacalah. Supaya kamu tahu bahwa banyak paradoks-paradoks dalam hidup. Dalam bidang apa saja. Khusunya alam bathin setiap manusia. Tanyalah pada hatimu, kamu akan mengerti apa yang benar-benar jujur dan otentik dari kebenaran dibalik gejala yang kamu alami”   

Kesuwen pengantare, langsung intine ngunu lho “

“ Memang, mengaktualisasikan sifat dan akhlak butuh proses. Tidak ujug-ujug. Ada orang yang keliru berbuat walaupun niatnya benar. Sebaliknya, beberapa orang mengeksploitir niat untuk suatu kepentingan dan obsesi, tapi di tengah-tengah perjalanan ia sadar dan memperbaiki diri. Waktu berjalan sedemikian kencang, hingga kamu tak mampu menentukan seribu langkah ke depan “

“ Walahh..kok malah jadi motivator gitu “

“ Kamu jangan pernah meledek para motivator-motivator itu walaupun apa yang mereka omongkan sepenuhnya tidak pernah mereka alami. Seakan mereka adalah manusia-manusia perkasa yang mampu mengubah penderitaan menjadi kegembiraan, menyulap kesedihan menjadi bahagia dengan mulut penuh busa. Motivator itu profesi sedang motivasi itu muncul dalam diri. Profesi itu pekerjaan dan kamu dapat uang, sedang motivasi yang muncul dari alam jiwamu itu merupakan bisikan Tuhan kepada para hambanya yang dirundung sedih hatinya. Kamu harus tahu bedanya mana kebenaran yang bersandar pada uang, dan kebenaran yang berasal dari Tuhan “

Jabang bayi mbrojoooll.. kowe ngomong opo to. Fokus…fokus…”

“ Heeh…kamu itu ya. Bisa ndak sich diajak berpikir zig-zag dan siglikal. Setiap peristiwa maupun gejala pada intinya bermuara pada inti yang sama. Kamu misalnya, kamu asing dengan nilai-nilai yang dianut banyak orang makanya aku suruh kamu berkaca biar tahu apa yang dimaui Tuhan kepadamu. Butuh proses memang, dan niat menjadi pondasi utama agar kamu tetap berpijak dan tak terjatuh di tengah-tengah jalan. Makanya cari motivasi yang terpendam dalam dirimu “

 Kawanku kesetanan.

“ Dan kamu itu, harus berbagi hati untuk mau menghargai profesi orang. Termasuk para motivator-motivator nggedabrus itu. Lihat dirimu. Emangnya apa profesimu selama ini. Gelandangan tak jelas arah, yang bisa-bisanya cuma ngomong ndakik-ndakik soal filsafat dan kehidupan. Mending para motivator-motivator itu. Jelas kerjanya walaupun mulutnya penuh busa.

“ aku bukan gelandangan “

“ Ya..kamu gelandangan sepanjang masa. Mungkin setiap perputaran zaman kamu akan tetap gelandangan. Kamu sepi, sendiri, asing, merasa tidak ada yang memahami. Tak ada yang menyapamu, tak ada yang peka dengan roso atimu, tak satupun dari teman-temanmu, gurumu, dan Ibu Bapakmu yang mendukung perjuanganmu dalan ranah nilai-nilai.

“ Nilai akhlak seorang guru sejati kamu pegang. Makanya kamu enggan menawar-nawarkan diri, melamar-lamarkan kepribadian agar diterima menjadi guru. Derajat guru tak mampu dikalahkan oleh lembaga wadag yang bernama sekolah atau institusi-instisusi pendidikan. Seluruh muatan kebaikan, kebenaran, ketulusan, sikap adil dan jujur, luasnya ilmu, kerendah hatian jiwa, ada dalam seorang Guru. Manusia suci macam itu mana mungkin menawar-nawarkan dirinya untuk ‘menjadi’ Guru. Harusnya, lembaga-lembaga pendidikan itulah yang ‘sendiko dawuh’ meminta perkenan seorang Guru agar mau mengajarkan ilmunya di sekolah. Bukan sebaliknya. Dan sistem pendidikan nasional kita belum mencapai arah kesana.
“ Terus aku kudu piye
Tetep dadio gelandangaaan “ Hahahahahahahahahahahaha.

Malang, Mei 2015