Minggu, 19 April 2015

Sejarah nama Indonesia

Oleh: Agus Sunyoto   

Kronik-kronik bangsa Tionghoa menyebut kawasan kepulauan  di laut selatan  ini sebagai Nan-hai (“Kepulauan Laut Selatan”) dan penduduknya disebut Kun-lun.  Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini dengan berbagai sebutan seperti Nagnaloka (tempat orang telanjang),  Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah  Ramayana karya pujangga Walmiki  menceritakan pencarian terhadap Sita, istri Rama yang diculik Rahwana sampai ke Suwarnadwipa (“Pulau Emas”, diperkirakan Pulau Sumatera sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.        
    
Catatan kuno India menyebut wilayah lautan di sebelah timur dan selatan sebagai kekuasaan Baruna yang tinggal di istana Barunai yang terletak  di Barunadwipa (Pulaunya Baruna, nama purba Kalimantan). Penduduk Lautan di wilayah Baruna disebut Kalakeya (monster lautan) karena kesukaan naik ke daratan India dan melakukan penjarahan dan perusakan yang mengerikan.     
     
Bangsa Arab menyebut wilayah kepulauan itu sebagai Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa Arab, luban jawi (“kemenyan Jawa”), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “orang Jawi” oleh orang Arab, termasuk untuk orang Indonesia dari luar Jawa sekali pun. Dalam bahasa Arab juga dikenal nama-nama Samathrah (Sumatera), Sholibis (Pulau Sulawesi), dan Sundah (Sunda), Mul-Jawa, yang disebut kullu Jawi (“semuanya Jawa”).        
   
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang adalah Portugis yang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari orang Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah Hindia. Jazirah Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”, sementara kepulauan ini memperoleh nama Hindia Timur (Indes orientales, Oost Indie, East Indies), Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau. Nama lain yang kelak juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais).              

Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda) yang menggantikan kekuasaan VOC (Verenigde Oost-Indie Compagnie) pada tahun 1800 setelah VOC bubar tahun 1799. Pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah taklukannya di kepulauan ini.   
           
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (dalam bahasa Latin insula berarti pulau). Nama Insulinde ini selanjutnya kurang populer, walau pernah menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di awal abad ke-20. Nama Indonesia               

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.             

Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis “… the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians“.                

George Samuel Windsor  Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.        
       
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah Indian Archipelago terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.     
         
 Untuk pertama kalinya kata Indonesia  muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: “Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago“.               

Ketika mengusulkan nama “Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.                 

Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel (“Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu”) sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu dari tulisan-tulisan Logan.             

 Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 ia mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.             

Nama Indonesisch (Indonesia) juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch (“Hindia”) oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander (pribumi) diganti dengan Indonesiër (orang Indonesia).                

Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.                     

Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.              

Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,”Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia-Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”                

Di Indonesia Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”. Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa, dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.                

 Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia-Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama Indonesië diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Permohonan ini tentu ditolak.               


Dengan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia-Belanda”. Pada tanggal 17 Agustus 1945, menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan, lahirlah [Republik Indonesia]. - See more at: http://www.pesantrenglobal.com/sejarah-nama-indonesia/#sthash.eIRoKteM.dpuf