Sampai saat ini, di usiaku
yang 23 ini, tak faham aku dengan segala terminologi apa itu sukses, bahagia,
dengan segala bentuk puncak pencapaian manusia. Tolak ukurnya apa, tingkat
manfaatnya apa, dan kebahagiaan yang bagaimana aku sama tak faham dengan semua
itu. Yang oleh manusia menyebutnya ‘kesuksesan’.
Riuh rendah, gegap gempita
nuansa, rasa, menyelimuti perasaan teman-temanku. Kala itu, kulihat satu
momentum indah dimana semua teman-teman plong menikmati ucapan kesuksesan,
kebahagiaan, yang menambah motivasi hidup, siap menerjang kejamnya dunia di
masa datang.
Setiap kepala meyandang toga
plus dengan atribut yang lainnya. Ijazah sebagai wujud nyata dari proses
pengalaman menimba pengetahuan, paling tidak senyum orang tua menyungging
bahagia melihat putra-putrinya tersenyum jujur dan mengatakan “ Ibuk, Bapak,
anakmu sudah diwisuda”.
Lalu, putra-putrinya memeluk
rindu Ibunya, betapa tak bisa terungkap perasaan hati saat itu. Berdekap
dipelukan Ibu, dengan air mata berlinang sendu Ibunya berkata “ Selamat ya Nak,
kamu diwisuda, sudah pinter, berpendidikan tinggi. Ibu hanya bisa mendo’akan.
Kamu sudah sukses sekarang.
Sang Ayah hanya berdiri
dengan kewibawaannya, melihat putra-putrinya senang, haru biru bergenggam rasa
dengan Ibunya. Ayah yang sudah renta, dimakan usia, segala zaman sudah
dilaluinya dengan otot-ototnya yang kuat, segala pengalaman hidup tergambar
pada dirinya yang sudah tidak lagi berusia muda. Sang anak, bergegas salim hormat, sungkem, pada sang Ayah dan berkata “Pak, kuliahku sudah tamat”.
Dan aku hanya terbangun di
penghujung malam. Kusesali itu hanya mimpi. Aku berkata pada fikiranku “ Hei
fikiran, tolng bangunkan alam bawah sadarku, bahwa senyum Ibu dan Bapak harus
menjadi syahadat dalam setiap perjalananku. Tak ada senyuman yang jujur didunia
melainkan senyum mereka berdua.
Fikiranku berkata “ kamu
keliru. Kamu terlalu naif jika hanya mengartikan seperti itu. Sungging senyum
Ibu dan Bapakmu juga adalah senyum Tuhanmu. Tuhan bersemayam dalam hatinya,
Tuhan menangis dalam tangisannya, Tuhan welas asih dalam kasih sayangnya.
Apa daya, aku menangis
sejadi-jadinya. Aku terlalu sok, dan terlalu sombong, sibuk berkelakar mencari
ilmu pengetahuan, tanpa pernah menanyakan, bahkan sejenak urun kabar Ibu Bapak di rumah.
Terakhir kali, kudengar
Bapak kecelakaan. Adik yang memberi kabar. Yang membuat hatiku menderas tangis
adalah bahwa Bapak tak ingin aku tahu, agar kuliahku tetap bisa fokus dan tak
terganggu.
Dan akhir nuansanya adalah
aku harus berjuang keras, militer terhadap diri sendiri untuk mengubah
manajemen hidup, revolusi diri, untuk mengejar senyum Ibu dan Bapakku.
Anshofa, 29/10/2013.