Selasa, 29 Oktober 2013

Senyuman yang jujur



Sampai saat ini, di usiaku yang 23 ini, tak faham aku dengan segala terminologi apa itu sukses, bahagia, dengan segala bentuk puncak pencapaian manusia. Tolak ukurnya apa, tingkat manfaatnya apa, dan kebahagiaan yang bagaimana aku sama tak faham dengan semua itu. Yang oleh manusia menyebutnya ‘kesuksesan’. 

Riuh rendah, gegap gempita nuansa, rasa, menyelimuti perasaan teman-temanku. Kala itu, kulihat satu momentum indah dimana semua teman-teman plong menikmati ucapan kesuksesan, kebahagiaan, yang menambah motivasi hidup, siap menerjang kejamnya dunia di masa datang. 

Setiap kepala meyandang toga plus dengan atribut yang lainnya. Ijazah sebagai wujud nyata dari proses pengalaman menimba pengetahuan, paling tidak senyum orang tua menyungging bahagia melihat putra-putrinya tersenyum jujur dan mengatakan “ Ibuk, Bapak, anakmu sudah diwisuda”. 

Lalu, putra-putrinya memeluk rindu Ibunya, betapa tak bisa terungkap perasaan hati saat itu. Berdekap dipelukan Ibu, dengan air mata berlinang sendu Ibunya berkata “ Selamat ya Nak, kamu diwisuda, sudah pinter, berpendidikan tinggi. Ibu hanya bisa mendo’akan. Kamu sudah sukses sekarang. 

Sang Ayah hanya berdiri dengan kewibawaannya, melihat putra-putrinya senang, haru biru bergenggam rasa dengan Ibunya. Ayah yang sudah renta, dimakan usia, segala zaman sudah dilaluinya dengan otot-ototnya yang kuat, segala pengalaman hidup tergambar pada dirinya yang sudah tidak lagi berusia muda. Sang anak, bergegas salim hormat, sungkem, pada sang Ayah dan berkata “Pak, kuliahku sudah tamat”. 

Dan aku hanya terbangun di penghujung malam. Kusesali itu hanya mimpi. Aku berkata pada fikiranku “ Hei fikiran, tolng bangunkan alam bawah sadarku, bahwa senyum Ibu dan Bapak harus menjadi syahadat dalam setiap perjalananku. Tak ada senyuman yang jujur didunia melainkan senyum mereka berdua. 

Fikiranku berkata “ kamu keliru. Kamu terlalu naif jika hanya mengartikan seperti itu. Sungging senyum Ibu dan Bapakmu juga adalah senyum Tuhanmu. Tuhan bersemayam dalam hatinya, Tuhan menangis dalam tangisannya, Tuhan welas asih dalam kasih sayangnya. 

Apa daya, aku menangis sejadi-jadinya. Aku terlalu sok, dan terlalu sombong, sibuk berkelakar mencari ilmu pengetahuan, tanpa pernah menanyakan, bahkan sejenak urun kabar Ibu Bapak di rumah. 

Terakhir kali, kudengar Bapak kecelakaan. Adik yang memberi kabar. Yang membuat hatiku menderas tangis adalah bahwa Bapak tak ingin aku tahu, agar kuliahku tetap bisa fokus dan tak terganggu. 

Dan akhir nuansanya adalah aku harus berjuang keras, militer terhadap diri sendiri untuk mengubah manajemen hidup, revolusi diri, untuk mengejar senyum Ibu dan Bapakku.
Anshofa, 29/10/2013.