Seorang kawan, tiba-tiba memberikan sesuatu. Ia
berikan begitu saja sambil cengangas-cengenges seakan tak peduli dengan
keherananku mengapa ia memberikan sesuatu itu. Ia kemudian merebahkan diri,
memejamkan matanya. Sepertinya ia kelelahan. Ia tanggalkan saja tasnya yang
besar di sampinya. Ia masih tak peduli dengan keherananku. Dan sejenak
kemudian, ia terbang di alam mimpinya.
Kuamati plastik hitam itu, kuambil,
kutimang-kutimang. Apa kira-kira isinya, siapa pengirimnya. Agak mendramatisir
sedikit, fikiranku berkahayal, menghempas kesegala arah menemukan sangkut paut
atas plastik hitam di depanku.
Fikiranku mengantarkan pada diriku yang sedang
tidur-tiduran di musholla pondok. Sambil mendengarkan entah apa, diriku itu
seolah menikmati suara dari headset yang ia cupingkan di telinganya. Aku yang
sedang menyaksikan diriku itu paling tidak mafhum musik apa yang ia dengar.
Aku yang sedang menyaksikan diriku itu hanya
senyum. Sebenarnya, ia sedang menertawakan dirinya sendiri. Menertawakan betapa
rumitnya manusia dengan segala sifatnya, keunikannya, kebodohannya, maupun cara
berfikirnya.
Diriku yang kulihat itu selalu mencoba
menerjang, mencari kemerdekaan yang terpasung, memungut pengetahuan yang
tercecer, hingga ia akhirnya merasa bosan dan capek. Seakan tak ada pangkal,
serasa tak ada ujung. Ia himpit kebesaran dunia dengan cara meremehkannya. Ia
gertak pongahnya penguasa dengan cara mendemonya. Ada kalanya ia sangat puas
dengan apa yang ia lakukan, juga tak kalahnya ia roboh dengan apa yang sudah
dihasilkan.
Ia remehkan segala sesuatu yang membuatnya
terpenjara. Paling tidak, bisa membuatnya sedikit leluasa di tengah berbagai
himpitan yang mengurungnya. Di sisa-sisa keletihannya, ia pun hanya bisa
memejamkan mata, bersila, memicingkan telinga, berharap ada suara yang
sesungguhnya tak bisa di dengar oleh indra. Ternyata ia sedang mencari
kesejatian. Ia buka pori-pori jiwanya, ruhnya, alam bawah sadarnya, bahwa Tuhan
selalu berbisik di setiap lubuk hati manusia. Ia sedang mencari itu.
Kemudian fikiranku mengantarkan pada diriku
yang sedang menikmati dunianya. Diriku yang sedang kulihat itu
mengaktualisasikan sisi kemanusiaanya, darah mudanya, ditengah hingar bingarnya
aktivitas kampus, dunia akademisi, hingga sisi lemahnya menghadapi cinta dan
asmara.
Aku berkata pada fikiranku. “ Tolong, hantarkan
aku pada kisah cintanya, pada cerita asmaranya”.
Kemudian, aku dihantar pada sebuah dunia yang
rumit dan terbalik-balik. Aku tidak bisa menerka dunia apa ini. Dimana
elemen-lemennya ngeblur dan tak jelas. Eksotis warna-warni yang
amburadul. Langit yang biru sesungguhnya tidak biru, ia menghijau campur aduk
dengan warna kuning dan hitam. Hijaunya pepohonan hambar menyatu dengan warna
jingga dan orange. Hitam yang tidak hitam, putih yang entah apa itu benar-benar
putih, cokelat yang ragu-ragu menampilkan dirinya sebagai warna cokelat. Dunia
apa ini.
Aku bertanya “ Dunia apakah ini, aneh sekali
“. Fikiranku menjawab “ inilah dunia
cintanya, dunia asmaranya. Absurd tak terpola, penuh sketsa-sketsa, wajah tak
tergambarkan dari suasanya hatinya. Malam terbalik menjadi siang, siang
menghendaki dirinya menjadi malam. Rindang berasap, pepohonan menyeruak.
Inilah ruang pengap tentang cintanya. Inilah
waktu tak berujung dimana kerinduan mencercanya habis-habisan. Dirimu itu
adalah kau sendiri, yang berusaha menampik wajah keeaslian dengan merayu
keadaan. Kau membohongi dirimu sendiri, sebagaiamana dirimu yang lain. Kau yang
sangat mencintainya, namun pula tersiksa olehnya. Maka, kau kuat-kuatkan dirimu
untuk selalu tulus, ikhlas, pasrah. Kau berpisah sementara dengannya karena kau
takut kehilangannya. Kau pasrahkan ia kepada Tuhan, kau titipkan ia pada
kejujuran hati. Bahwa cinta yang sejati tidak akan pernah mati.
Dan tiba-tiba saja aku sudah berada di kamar.
Alam bawah sadarku sudah kembali. Menjadi normal lagi. Seorang kawanku
terbangun dan berkata “ Cak, bungkusan itu dari Mbak Binti”.
Dan aku pun tersenyum. Bahagia. Sangat bahagia.
Malang,
03/10/2013