Minggu, 03 November 2013

# Renung Senja 10

Seorang kawan, tiba-tiba memberikan sesuatu. Ia berikan begitu saja sambil cengangas-cengenges seakan tak peduli dengan keherananku mengapa ia memberikan sesuatu itu. Ia kemudian merebahkan diri, memejamkan matanya. Sepertinya ia kelelahan. Ia tanggalkan saja tasnya yang besar di sampinya. Ia masih tak peduli dengan keherananku. Dan sejenak kemudian, ia terbang di alam mimpinya. 

Kuamati plastik hitam itu, kuambil, kutimang-kutimang. Apa kira-kira isinya, siapa pengirimnya. Agak mendramatisir sedikit, fikiranku berkahayal, menghempas kesegala arah menemukan sangkut paut atas plastik hitam di depanku. 

Fikiranku mengantarkan pada diriku yang sedang tidur-tiduran di musholla pondok. Sambil mendengarkan entah apa, diriku itu seolah menikmati suara dari headset yang ia cupingkan di telinganya. Aku yang sedang menyaksikan diriku itu paling tidak mafhum musik apa yang ia dengar. 
Aku yang sedang menyaksikan diriku itu hanya senyum. Sebenarnya, ia sedang menertawakan dirinya sendiri. Menertawakan betapa rumitnya manusia dengan segala sifatnya, keunikannya, kebodohannya, maupun cara berfikirnya. 

Diriku yang kulihat itu selalu mencoba menerjang, mencari kemerdekaan yang terpasung, memungut pengetahuan yang tercecer, hingga ia akhirnya merasa bosan dan capek. Seakan tak ada pangkal, serasa tak ada ujung. Ia himpit kebesaran dunia dengan cara meremehkannya. Ia gertak pongahnya penguasa dengan cara mendemonya. Ada kalanya ia sangat puas dengan apa yang ia lakukan, juga tak kalahnya ia roboh dengan apa yang sudah dihasilkan. 

Ia remehkan segala sesuatu yang membuatnya terpenjara. Paling tidak, bisa membuatnya sedikit leluasa di tengah berbagai himpitan yang mengurungnya. Di sisa-sisa keletihannya, ia pun hanya bisa memejamkan mata, bersila, memicingkan telinga, berharap ada suara yang sesungguhnya tak bisa di dengar oleh indra. Ternyata ia sedang mencari kesejatian. Ia buka pori-pori jiwanya, ruhnya, alam bawah sadarnya, bahwa Tuhan selalu berbisik di setiap lubuk hati manusia. Ia sedang mencari itu. 

Kemudian fikiranku mengantarkan pada diriku yang sedang menikmati dunianya. Diriku yang sedang kulihat itu mengaktualisasikan sisi kemanusiaanya, darah mudanya, ditengah hingar bingarnya aktivitas kampus, dunia akademisi, hingga sisi lemahnya menghadapi cinta dan asmara. 

Aku berkata pada fikiranku. “ Tolong, hantarkan aku pada kisah cintanya, pada cerita asmaranya”. 

Kemudian, aku dihantar pada sebuah dunia yang rumit dan terbalik-balik. Aku tidak bisa menerka dunia apa ini. Dimana elemen-lemennya ngeblur dan tak jelas. Eksotis warna-warni yang amburadul. Langit yang biru sesungguhnya tidak biru, ia menghijau campur aduk dengan warna kuning dan hitam. Hijaunya pepohonan hambar menyatu dengan warna jingga dan orange. Hitam yang tidak hitam, putih yang entah apa itu benar-benar putih, cokelat yang ragu-ragu menampilkan dirinya sebagai warna cokelat. Dunia apa ini. 

Aku bertanya “ Dunia apakah ini, aneh sekali “.  Fikiranku menjawab “ inilah dunia cintanya, dunia asmaranya. Absurd tak terpola, penuh sketsa-sketsa, wajah tak tergambarkan dari suasanya hatinya. Malam terbalik menjadi siang, siang menghendaki dirinya menjadi malam. Rindang berasap, pepohonan menyeruak.  

Inilah ruang pengap tentang cintanya. Inilah waktu tak berujung dimana kerinduan mencercanya habis-habisan. Dirimu itu adalah kau sendiri, yang berusaha menampik wajah keeaslian dengan merayu keadaan. Kau membohongi dirimu sendiri, sebagaiamana dirimu yang lain. Kau yang sangat mencintainya, namun pula tersiksa olehnya. Maka, kau kuat-kuatkan dirimu untuk selalu tulus, ikhlas, pasrah. Kau berpisah sementara dengannya karena kau takut kehilangannya. Kau pasrahkan ia kepada Tuhan, kau titipkan ia pada kejujuran hati. Bahwa cinta yang sejati tidak akan pernah mati. 

Dan tiba-tiba saja aku sudah berada di kamar. Alam bawah sadarku sudah kembali. Menjadi normal lagi. Seorang kawanku terbangun dan berkata “ Cak, bungkusan itu dari Mbak Binti”.
Dan aku pun tersenyum. Bahagia. Sangat bahagia.  

Malang, 03/10/2013