Puji syukur kehadiran Tuhan yang
masa kuasa aku ditakdirkan menjadi makhluk dari golongan manusia. Menjadi sosok
agung dengan multi talenta, mengalahkan makhluk-makhluk jagad nan perkasa
sekaliber Jin, Syetan, bahkan malaikat. Bukan menyombongkan diri karena
mentang-mentang sudah dinash dalam alkitab “sesungguhnya Kami
telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (A-Tin :04).
Manusia dengan segala multi talentanya, kekuatan internalnya, kreativitasnya,
sesungguhnya merupakan satu qodrat yang haram untuk dipersombongkan. Lha
wong Raja-raja besar mbah-mbah kita seperti Panembahan Senopati, raja
Majapatih, Prabu Yudistira yang terkenal dengan nama lakobnya Raden darma
Putra, Mas Aryo penansang, hingga manusia suci layak malaikat seperti Semar,
Pandawa Gareng, Petruk, Bagong dan panakawan saja tidak nggedekno awak.
Apalagi kita yang hanya cecunguk kecil dihadapan Tuhan.
Sekali lagi, sujud
syukurMu padaMu Tuhan aku diberikan kesempatan untuk berproses menjadi manusia.
Ya, berproses menjadi manusia. Karena sesungguhnya aku ini adalah kadal, iblis,
bekecot, cicak dengan kepala buaya, ular berbisa, yang hari ini entah sampai
kapan menghadapi ujian untuk bisa lulus menjadi sosok yang bernama manusia.
Manusia dengan
segmentasi, proses menemukan diri, dan keterpukauaannya terhadap apa-apa yang
menjadi tujuannya sering mengalami distorsi pemahaman sebenarnya siapa dia dan
bagaimana dia mengambil sikap dalam konteks sosial yang melingkupinya. Jika Gus
Muhammad Saw adalah seorang nabi agung, raja para nabi, revolusioer besar dalam
tatanan perdaban sejarah maka jangan lupa ia tetaplah seorang manusia biasa
terlepas dari dimensi dan campur tangan Tuhan terhadapnya. Nabi pernah ditawari
oleh Tuhan melalui Jibril As “ Takunu mulukan Nabiyya”. Ya Muhammad Maukah
engkau Kujadikan raja diraja ? “ la Akunu abdan Nabiyya. Tidak, aku hanya ingin
menjadi nabi yang rakyat jelata. Jadi, sekalipun Gus Muhammad adalah nabi
besar, beliau tetap ingin bergumul, bersosialisasi dengan masyarakat dengan
sosok kemanusiaannya, bukan dengan kenabianya. Identitas kenabian adalah jatah,
gelar dari Tuhan sebagai kekuatan internal untuk menunjukkan sisi kekuasaan
Tuhan kepada hambaNya.
Hijab untuk ngaweruhi
siapa kita sebagai manusia semakin hari semakin tebal, seperti tembok raksasa
yang sulit untuk dihancurkan. sedari kecil kita sudah di mengalami reduksi
pemikiran sehingga mengalami benturan-benturan pemahaman, tidak hanya di dalam
struktul masyarakat, tapi juga di dalam mensed, cara berfikir, hingga pada
kebodohan yang tersistematis.
Anda tahu bahwa
apapun yang menjadi eksistensi manusia seringkali dijadikan lakon utama,
pengkultusan buta dalam membangun citra dan identitas dengan idiomatic klasik
bahwa sesungguhnya manusia membutuhkan identitas. Jika seseorang sudah menjadi
Profesor ia lupa bahkan bersikap buta bahwa dia manusia, sudah tak mau lagi
bergumul dengan orang-orang desa. Jika seseorang sudah menjadi doctor, ia lalai
dan mempersempit dirinya dengan sudah tidak lagi cangkrua’an dengan
mahasiswa-mahasiswanya. Jika seseorang sudah menjadi Ustadz, Kyai, Gus, atau
apapaun saja mau main sepak bola bareng pun merasa kikuk, mau ngopi juga sering
merasa rendah “ Masa’ aku ngopi sama arek-arek, aku kan ustadz. Apa kata orang
kampung kalau ustdz koq cangkru’an dan ngopi. “ Di berbagai segmen,di
lingkungan anda bertempat tinggal, atau dimanapun saja anda bisa mencermati dan
bisa berfikir sehat. Tidak hanya dalam skala makro, mikrositas dalam diri kita
sendiri pun ternyata timbul batu besar yang bernama kesombongan.
Segala merk
tentang identitas, pusaran eksistensi dari mulai presiden, Guru, ustadz, dosen,
dekan, professor, mahasiswa, bupati,
tukang sedot lemat, tukang sedot wc, bencong stasiun, tukang sapu dan lain-lain
itu semua adalah explorasi bidang keilmuan, spesifikasi dari konsentrasi ilmu
yang anda geluti. Bukan satu citra yang membuat anda harus bangga bahkan
terlilit kesombongan karena memakai semua baju itu. Apapin baju, merk, gelar,
yang kita pakai dan sandang, kita tetaplah manusia. Jika diminta tolong untuk
sekedar menyapu halaman rumah, ndandani genteng, mengantarkan orang tua
ke rumah sakit, dan apapun saja bukankah kita
lebih baik mengedahkan tangan dari pada masih berfikir seribu kali hanya
karena saya, bukan anda adalah seorang ini, seorang itu.
“Mas, mbak minta
tolong bla,,bla,..
“loh, sampeyan ini
koq. Saya ini orang besar mbak, terkenal, kaya, masa’ nyuruh saya ini itu ”
Kita berlindung
kepada Allah dari kesombongan-kesombongan. Semoga semakin merasa tawadhu’ dan
sungkem kita diberikan keselamatan oleh Allah Swt.
Malang, Juni 2012