Rabu, 27 Juni 2012

Baju kesombongan manusia


            Puji syukur kehadiran Tuhan yang masa kuasa aku ditakdirkan menjadi makhluk dari golongan manusia. Menjadi sosok agung dengan multi talenta, mengalahkan makhluk-makhluk jagad nan perkasa sekaliber Jin, Syetan, bahkan malaikat. Bukan menyombongkan diri karena mentang-mentang sudah dinash dalam alkitab “sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (A-Tin :04). Manusia dengan segala multi talentanya, kekuatan internalnya, kreativitasnya, sesungguhnya merupakan satu qodrat yang haram untuk dipersombongkan. Lha wong Raja-raja besar mbah-mbah kita seperti Panembahan Senopati, raja Majapatih, Prabu Yudistira yang terkenal dengan nama lakobnya Raden darma Putra, Mas Aryo penansang, hingga manusia suci layak malaikat seperti Semar, Pandawa Gareng, Petruk, Bagong dan panakawan saja tidak nggedekno awak. Apalagi kita yang hanya cecunguk kecil dihadapan Tuhan.
Sekali lagi, sujud syukurMu padaMu Tuhan aku diberikan kesempatan untuk berproses menjadi manusia. Ya, berproses menjadi manusia. Karena sesungguhnya aku ini adalah kadal, iblis, bekecot, cicak dengan kepala buaya, ular berbisa, yang hari ini entah sampai kapan menghadapi ujian untuk bisa lulus menjadi sosok yang bernama manusia.  
            Manusia dengan segmentasi, proses menemukan diri, dan keterpukauaannya terhadap apa-apa yang menjadi tujuannya sering mengalami distorsi pemahaman sebenarnya siapa dia dan bagaimana dia mengambil sikap dalam konteks sosial yang melingkupinya. Jika Gus Muhammad Saw adalah seorang nabi agung, raja para nabi, revolusioer besar dalam tatanan perdaban sejarah maka jangan lupa ia tetaplah seorang manusia biasa terlepas dari dimensi dan campur tangan Tuhan terhadapnya. Nabi pernah ditawari oleh Tuhan melalui Jibril As “ Takunu mulukan Nabiyya”. Ya Muhammad Maukah engkau Kujadikan raja diraja ? “ la Akunu abdan Nabiyya. Tidak, aku hanya ingin menjadi nabi yang rakyat jelata. Jadi, sekalipun Gus Muhammad adalah nabi besar, beliau tetap ingin bergumul, bersosialisasi dengan masyarakat dengan sosok kemanusiaannya, bukan dengan kenabianya. Identitas kenabian adalah jatah, gelar dari Tuhan sebagai kekuatan internal untuk menunjukkan sisi kekuasaan Tuhan kepada hambaNya.
            Hijab untuk ngaweruhi siapa kita sebagai manusia semakin hari semakin tebal, seperti tembok raksasa yang sulit untuk dihancurkan. sedari kecil kita sudah di mengalami reduksi pemikiran sehingga mengalami benturan-benturan pemahaman, tidak hanya di dalam struktul masyarakat, tapi juga di dalam mensed, cara berfikir, hingga pada kebodohan yang tersistematis.
            Anda tahu bahwa apapun yang menjadi eksistensi manusia seringkali dijadikan lakon utama, pengkultusan buta dalam membangun citra dan identitas dengan idiomatic klasik bahwa sesungguhnya manusia membutuhkan identitas. Jika seseorang sudah menjadi Profesor ia lupa bahkan bersikap buta bahwa dia manusia, sudah tak mau lagi bergumul dengan orang-orang desa. Jika seseorang sudah menjadi doctor, ia lalai dan mempersempit dirinya dengan sudah tidak lagi cangkrua’an dengan mahasiswa-mahasiswanya. Jika seseorang sudah menjadi Ustadz, Kyai, Gus, atau apapaun saja mau main sepak bola bareng pun merasa kikuk, mau ngopi juga sering merasa rendah “ Masa’ aku ngopi sama arek-arek, aku kan ustadz. Apa kata orang kampung kalau ustdz koq cangkru’an dan ngopi. “ Di berbagai segmen,di lingkungan anda bertempat tinggal, atau dimanapun saja anda bisa mencermati dan bisa berfikir sehat. Tidak hanya dalam skala makro, mikrositas dalam diri kita sendiri pun ternyata timbul batu besar yang bernama kesombongan.
            Segala merk tentang identitas, pusaran eksistensi dari mulai presiden, Guru, ustadz, dosen, dekan, professor,  mahasiswa, bupati, tukang sedot lemat, tukang sedot wc, bencong stasiun, tukang sapu dan lain-lain itu semua adalah explorasi bidang keilmuan, spesifikasi dari konsentrasi ilmu yang anda geluti. Bukan satu citra yang membuat anda harus bangga bahkan terlilit kesombongan karena memakai semua baju itu. Apapin baju, merk, gelar, yang kita pakai dan sandang, kita tetaplah manusia. Jika diminta tolong untuk sekedar menyapu halaman rumah, ndandani genteng, mengantarkan orang tua ke rumah sakit, dan apapun saja bukankah kita  lebih baik mengedahkan tangan dari pada masih berfikir seribu kali hanya karena saya, bukan anda adalah seorang ini, seorang itu.
            “Mas, mbak minta tolong bla,,bla,..
            “loh, sampeyan ini koq. Saya ini orang besar mbak, terkenal, kaya, masa’ nyuruh saya ini itu ”
            Kita berlindung kepada Allah dari kesombongan-kesombongan. Semoga semakin merasa tawadhu’ dan sungkem kita diberikan keselamatan oleh Allah Swt.
Malang, Juni 2012