Kabeh podo khusyuk, repot, seakan ndunyo
mau kiamat. Segala referensi dibuka, dianalisis, disingkep, disinanuni
demi terwujudnya satu kulminasi kepuasan yang bernama nilai. Nilai itu
macem-macem lho, ada yang sekedar nyontek lalu puas syukur-syukur dapat nilai
pucak. A. Ada yang pasrah, tawakkal, kuliah cuma formalitas, ngisi absen, kupu
kupu (kuliah-pulang2) dapat nilai apik syukur, dapat nilai abang yo
tetep syukur. Ngikut aliran jabariyah pokoknya. Ada yang sibuk di dunia sosial,
organisasi intra maupun ekstra, berjuang dengan keilmuan empiris, kenyataan
bahwa lingkup sosial harus diperjuangkan demi mewujudkan kesadaran kolektif,
bahwa mahasiswa adalah pendobrak sejarah, pembaharu peradaban, dengan membela
hak-hak temannya, sahabatnya, adek-adeknya, masyarakatnya dalam memperoleh
keadilan. Praktis, ketika UAS, opo sing digowo, lha wong kuliahnya di
jalan, di pelataran kantin, diskusi-diskusi ilmu hidup dll. Lha, tipikal model
mahasiswa demikian biasanya penuh idealisme. Nggak iso nggarap soal ya wajar,
lha wong jarang sinau diskursus ilmunya.
Maka yang terjadi adalah peletakan
kejujuran yang penuh nilai, sedikit ngawur, absurd dan gagah. Ngisi jawaban
yang ditulis soalnya. Atau ngisi jawaban yang bertuliskan “maaf pak bu, saya
nggak bisa ngerjakan soal. Ini apa adanya. Mending saya ngulang semester depan
dengan belajar serius dan tlaten dari pada tolah-toleh, nyonta-nyonto,
lirik depan belakang. Ngak kongkrit. Masalah kecil gini saja sudah penuh
kebohongan apalagi ngurusi masalah besar di masyarakat, tindak hukum,
integritas sosial, apalah jadinya. Maaf bapak, ibu sudah mengecewakan”. Nilai
bagi mereka tidak hanya cukup A,B,C,D,E. Tapi lebih dari itu, nilai harus penuh
dengan kejujuran, dialektika pemaknaan, serta idealisme. Nah, lho.
Kenapa kita tak bersedia merasa
menjadi anak yang sedang belajar, sehingga ketidakmampuan itu wajar dan tak
perlu ditutup-tutupi. Kenapa kita cenderung menciptakan diri menjadi nabi-nabi
yang bersabda dengan gagah perkasa. Absurd dan samar. Mengapa kita mecoba
melakukan hal-hal bodoh dengan mengatasnamakan satu pamor yang bernama
kemunafikan. Manusia dengan segala aspek multi telentanya mempunya pola dimensi
yang tak tertandingi jika ia sadar dan mau berjuang untuk kemampanan dirinya
dan masyarakatnya. Dengan penelaahan yang lebih wahid, yaitu menuju Tuhan.
Manusia mesti memutuskan untuk menemukan dirinya kembali, memilih tempatnya
berpijak, menentuka langkah hidupnya. Ditengah ilmu yang semakin menumbuhkan
ruh. Di tegah pengebirian agama, pendangalan agama, ironi kenyataan yang
palipurna, penindasan yang disamarkan, penjajahan dengan senyuman. Ini zaman
darurat, apa yang bisa kau perbuat? Mengubah masyarakat? Itu impian sekarat.
Tapi, sekarat-karatnya kita, akan
menjadi mulia jika apapun yang kita lakukan, dengarkan, kerjakan, telaah,
dieksplorasi dan dicari makna dan filosofinya. Semua ada hikmahnya
sahabat. Ihdinas shiratal mustaqim.
Ihdini qalbi, ihdini shirati, wa ihdini nafsi.
Malang, Juni 2012
10.36
Wib setelah UAS