Puasa : Menuju Makan
Sejati
(Emha Ainun Nadjib)
Puasa itu jalan sunyi
Tersedia makanan tapi tak dimakan
Tersedia kursi tapi tak diduduki
Tersedia tanah tapi tak dipagari
Puasa itu jalan sunyi
Menggambar tapi tak terlihat
Bernyanyi tapi tak terdengar
Menangis tapi tak diperhatikan
Puasa itu jalan sunyi
Menjadi tanpa eksistensi
Pergi menuju kembali
Hadir tapi tak dikenali
(Emha Ainun Nadjib)
Puasa itu jalan sunyi
Tersedia makanan tapi tak dimakan
Tersedia kursi tapi tak diduduki
Tersedia tanah tapi tak dipagari
Puasa itu jalan sunyi
Menggambar tapi tak terlihat
Bernyanyi tapi tak terdengar
Menangis tapi tak diperhatikan
Puasa itu jalan sunyi
Menjadi tanpa eksistensi
Pergi menuju kembali
Hadir tapi tak dikenali
ILMU Rasulullah Muhammad, "hanya makan ketika lapar dan
berhenti makan sebelum kenyang", telah menjadi pengetahuan hampir setiap
pemeluk Agama Islam, tetapi mungkin belum menjadi ilmu. Puasa demi puasa,
Ramadlan demi Ramadlan beserta fatwa demi fatwa yang senantiasa menyertainya
dengan segala kerendahan hati harus saya katakan belum cukup mengantarkan kita
dari permukaan pengetahuan menuju kedalaman ilmu.
Ada jarak yang tak terkirakan antara pengetahuan dengan ilmu,
meskipun khasanah kebahasaan kita dengan kalem menyebut ilmu pengetahuan di
lembaran-lembaran kamusnya. Dengan berkunjung ke sebuah museum, kita bisa
memperoleh pengetahuan tentang sebilah pedang, lengkap dengan semua data
tentang panjang-lebarnya, asal-usul sejarahnya, serta logam suku cadangnya,
termasuk berapa kepala yang dulu pernah dipenggalnya.
Tetapi, ilmu baru terjadi tatkala pedang itu telah menyatu
dengan tangan kita. Bukan saja kita sanggup menggenggamnya dan
mendayagunakannya dengan seribu teknik silat; lebih dari itu ilmu ditandai oleh
realitas menyeluruh, di mana pedang itu telah menjadi bagian dari diri kita,
bagian dari badan kita, akal pikiran kita, emosi hati kita, termasuk budi dan
kearifan jiwa kita.
Pengetahuan barulah tataran terendah dari persyaratan mutu
dan aktualitas eksistensi mahluk yang bernama manusia. Tetapi, ilmu pun
belumlah "langit" tertinggi dalam kosmos "ahsani taqwin"
sebaik-baik mahluk - manusia. Sebab, ilmu pedang bisa merupakan awal mula dari
tertikamnya dada seseorang. Oleh karena itu, di atas ilmu si penggenggam
kebenaran ada langit lebih tinggi yang bernama hubb atau cinta.
Cinta adalah rem, pembijak, pengatif, yang terkandang nikmat
terkadang sakit, bagi kemungkinan pembunuhan atau permusuhan yang
dipotensialkan oleh ilmu pedang. Ini berlaku pada skala mana pun, di kesempitan
pergaulan sehari-hari hingga di keluasan peradaban.
Adapun jika ilmu jika penghayatan akan kebenaran, bersenyawa,
bekerja sama, berkoperasi, berposisi, dan berkelangsungan intermanagable, atau
denan kata lain "bersuami-istri dengan hubb" atau cinta maka
tercapailah tataran "taqwa".
Tanpa itulah target puasa. Taqwa itulah cakrawala perjalanan
kemusliman manusia. Taqwa lebih tinggi dari nilai kebenaran dan nilai cinta.
Apalagi dibandingkan tataran norma, hukum formal, adat, serta tabung-tabung
formal kultural lainnya dalam komunitas atau kejamaahan umat manusia. Taqwa itu
suatu atmosfer yang bukan main menyejukkan, menenteramkan, dan membahagiakan,
yang terletak di garis kemungkinan "liga rabb", yakni kemungkinan
pertemuan hamba-hamba hina dina macam kita ini dengan Allah. Sekarang bisalah
kita membandingkan, apa beda kemungkinannya jika pedang berada di tangan orang
berpengetahuan, dengan jika ia tergenggam di tangan orang berilmu saja, atau
jika ia tergenggam di tangan orang yang bercinta saja dengan jika ia tergenggam
di tangan orang yang bertaqwa.
Kemudian gampanglah bagi kita untuk memproyeksikan: jika
pedang itu adalah kekuatan fisik, adalah kekuasan politik, adalah modal dan
peluang ekonomi, adalah pasal-pasal hukum, atau apa pun saja. Gampanglah kita
perhitungkan: terjaditikaman, siapa yang menikam dan yang tertikam, seberapa
dahsyat akibat sejarah dari ketertikaman itu, ataukah mungkin berlangsung suatu
ketaqwaan peradaban, di mana pedang tak pernah menikam, di mana ketajaman
pedang ditaqwai untuk hanya menguak kesejahteraan dan kebahagiaan bersama.
Makan yang sejati
Rasanya tak enakuntuk memuji-muji Muhammad. Ada situasi
psikologis tertentu dalam pergaulan teologis dan kultural di lapangan integrasi
nasional kita, yang menjadi sumber ketidakenakan tersebut.
Sepenuhnya saya memahami itu. Secara kultural, untuk situasi
semacam itu, saya harus pelti" pujian. Tetapi, dalam konteks ilmu kita
tidak bisa menemukan argumentasi apa pun untuk melakukan hal yang sama. Tidak kebetulan
bahwa arti harfiah kata "Muhammad adalah juga yang terpuji". Apa yang
ingin saya lakukan dengan tulisan ini hanyalah mencicil landasan rasional agar
kita berhak menyebut rasul terakhir itu dengan Muhammad. Kalau tak cukup
pengetahuan dan ilmu, syukur cinta dan ketaqwaan, maka jika kita memanggilnya
dengan mesra "Ya Muhammad kekasih", rasanya kosong, tak ada
muatannya. Muhammad menolehkan kepalanya dan melirikkan bola matanya ke arah
kita, tetapi hati, nalar dan budinya tak ikut merasa terpanggil, karena
panggilan kita memang tanpa nalar, hati dan budi. Beliau pasti kecewa.
"Makan hanya ketika lapar, dan berhenti makan sebelum
kenyang" Adalah formula tentang kesehatan hidup. Tak hanya menyangkut
tubuh, tapi juga keseluruhan mental sejarah. Ia adalah contoh soal lebih dari
sekadar teori keilmuan tentang keefektifan dan efisiensi.
Selama ini pemahaman-pemahaman nilai budaya kita cenderung
mentabukan perut. Orang yang hidupnya terlalu profesional dan hanya mencari
uang, kita sebut "diperbudak oleh perut". Para koruptor kita gelari
"hamba perut" yang mengorbankan kepentingan negara dan rakyat demi
perutnya sendiri.
Padahal ia bukanlah hamba perut. Sebab, kebutuhan perut amat
sederhana dan terbatas. Ia sekadar penampung dan distributor sejumlah zat yang
diperlukan untuk memelihara kesehatan tubuh. Perut tak pernah mempersoalkan,
apakah kita memilih nasi pecel atau pizza, lembur kuring atau masakan Jepang.
Yang menuntut berlebih pertama-tama adalah lidah. Perut tidak
menolak untuk disantuni dengan jenis makanan cukup seharga seribu rupiah.
Tetapi, lidah mendorong kita harus mengeluarkan sepuluh ribu, seratus ribu, aau
terkadang sejuta rupiah.
Mahluk lidah termasuk yang menghuni batas antara jasmani
dengan rohani. Satu kaki lidah berpijak di kosmos jasmani, kaki lainnya
berpijak di semesta rohani. Dengan kaki yang pertama ia memanggul kompleks
tentang rasa dan selera; tak cukup dengan standar 4 sehat 5 sempurna, ia
membutuhkan variasi dan kemewahan. Semestinya cukup di warung pojok pasar, tapi
bagian lidah yang ini memperkuda manusia untuk mencari berbagai jenis makanan,
inovasi dan paradigma teknologi makanan, yang dicari ke seantero kota dan desa.
Biayanya menjadi ratusan kali lipat.
Dengan kaki lainnya lidah memikul penyakit yang berasal dari
suatu dunia misterius, yang bernama mentalitas, nafsu, serta
kecenderungan-kecenderungan aneh yang mensifati budaya manusia. Makan, yang
dalam konteks perut hanya berarti menjaga kesehatan, di kaki lidah itu
diperluas menjadi bagian dari kompleks kultur, status sosial, gengsi,
feodalisme, kepriyayian, serta penyakit-penyakit kejiwaan komunitas manusia
lainnya.
Kecenderungan ini membuat makan tidak lagi sejati dengan
konteks perut dan kesehatan tubuh, melainkan dipalsukan, dimanipulir atau
diartifisialkan menjadi urusan-urusan kultur danperadaban, yang biayanya
menjadi amat, sangat mahal. Budaya artifisialisasi makan ini dieksploitasi dan
kemudian dipacu oleh etos industrialisasi segala bidang kehidupan, serta
disahkan oleh kepercayaan budaya, bahwa harus senantiasa ada proses kreatif:
orang menyelenggarakan modifikasi budaya makan, pembaruan teknologi konsumsi,
jenis makanannya, panggung tempat makannya, nuansanya, lagu-lagu pengiringnya,
pewarnaan meja kursi dindingnya hingga karaokenya.
Artif isia l isasi budaya makan itu akhirnya juga menciptakan
berbagai ketergantunan manusia, sehingga agar selamat sejahtera dalam
keterlanjuran ketergantungan itu, manusia bernegosiasi di bursa efek, menyunat
uang proyek, memborong gunung-gunung dan hutan-hutan, bahkan berperang dan
membunuh satu sama lain.
Padahal perut hanya membutuhkan "makan ketika lapar dan
berhenti makan sebelum kenyang".
Maka yang bernama "makan sejati" ialah makan yang
sungguh-sungguh untuk perut. Adapun yang pada umumnya kita lakukan selama ini
adalah "memberi makan kepada nafsu".
Perut amat sangat terbatas dan Allah mengajarinya untuk tahu
membatasi diri. Sementara nafsu adalah api yang tak terhingga skala perbesaran
atau pemuaiannya. Jika filosofi makan dirobek dan dibocorkan menuju banjir
bandang nafsu tak terbatas, jika ia diartifisialkan dan dipalsukan dan
tampaknya itulah salah satu saham utama beribu konflik dan ketidakadilan dalam
sejarah umat manusia maka sesungguhnya itulah contoh paling konkret dari
terbunuhnya efisiensi dan keefektifan. Rekayasa budaya makan pada masyarakat
kita, dari naluri sehari-hari hingga aplikasinya di pasal-pasal rancangan
pembangunan jangka pendek dan jangka panjang, mengandung inefisiensi atau
keborosan dan keserakahan, yang terbukti mengancam alam dan kehidupan manusia
sendiri; di samping sangat tidak efektif mencapai hakikat tujuan makan itu
sendiri.
Kebutuhan sejati
Aktivitas puasa selalu diartikan - dan memang benar demikian
- sebagai peperangan melawan nafsu. Cuma barangkali karena pengetahuan dan ilmu
kita tentang musuh yang harus diperangi itu tidak bertambah, maka strategi dan
taktik perang kita pun kurang berkembang.
Kalau kita mendengar tentang nafsu makan, asosiasi kita
menunjuk ke makan, bukan ke nafsunya. Maka ketika istri kita ke pasar, yang
dibeli terutama adalah pesanan-pesanan nafsu, bukan kapasitas kebutuhan makan
yang diperlukan. Setiap pelaku puasa punya pengalaman untuk cenderung
mendambakan dan menumpuk berbagai jenismakanan dan minuman sepanjang hari,
kemudian ketika saat berbuka tiba, ia baru tahu, bahwa perut sama sekali tidak
membutuhkan sebanyak dan semewah itu.
Pelajaran yang diperoleh dari peristiwa semacam itu
seharusnya adalah kesanggupan memilahkan antara dorongan nafsu dengan kebutuhan
makan. Kegiatan puasa jadinya bukanlah pertempuran melawan "tidak boleh
makan" atau "tidak adanya makanan", melainkan melawan nafsu itu
sendiri yang menuntut pengadaan
lebih dari sekadar makanan.
Puasa adalah penguraian "nafsu" dari
"makan". Untuk tidak makan dari subuh hingga maghrib, putra kita yang
baru duduk di kelas III Sekolah Dasar saja pun sudah sanggup. Untuk "tidak
makan" jauh lebih gampang dan ringan dibanding untuk "tiak bernafsu
makan", terutama bagi para penghayat "makan yang sejati".
Seorang Sufi yang taraf pergaulannya dengan makan tinggal
hanya berkonteks kesehatan tubuh, dalam hidupnya ia tak pernah lagi ingat
makan, kecuali ketika perutnya lapar. Ia bukan merekayasa untuk hanya makan
ketika lapar, tapi memang betul-betul sudah tak ingat makan sampai perutnya
mengingatkan, bahwa ia lapar.
Untuk ingat lapar, cukup perut yang melakukannya, tapi untuk
berhenti makan sebelum kenyang, manusia memerlukan dimensi-dimensi rohani
tinggi kemanusiaannya untuk mengingatnya. Ia memerlukan nalar ilmu kesehatan
tentang makan yang sehat, yakni tentang kurang dan tak lebih. Ia juga
memerlukan ilmu dan kearifan yang lebih tinggi untuk melatih ketepatan
kapasitas makan, agar ia memperoleh ketepatan pula dalam aktivitas
"makan" yang lain di bidang-bidang kehidupan yang lebih luas.
Dalam pelajaran keaktoran teater, ada metoda "biasakan
makan minum yang pas, agar dalam bermain drama engkau tidak overacting dan juga
tidak underacting."
Padahal ilmu "makan sejati" atau "makan
pas"-nya Rasulullah Muhammad juga berlaku untuk segala makan dalam
kehidupan.
Kita masuk ke toko serba ada dengan segala gemerlap yang
tidak memanggil-manggil kebutuhan kita, melainkan mengundang nafsu kita. Saya
mohon maaf, bukan saya bermaksud
mematikan nafkah para pedagang, tetapi bermilyar-milyar
rupiah dikeluarkan orang untuk membeli pelayanan atas nafsu, bukan pelayanan
atas kebutuhan.
Program-program pembangunan kita memacu tahyul;
mengetalasekan beribu-ribu jenis konsumsi yang tak sejati, yang sebenarnya
belum tentu dibutuhkan oleh konsumen. Iklan-iklan industri adalah kendaraan
budaya yang mengangkut jutaan manusia dari terminal kebutuhan ke terminal
nafsu, dari kesejatian dan kepalsuan. Mereka dicetak untuk merasa rendah atau
bahkan merasa tak ada, apabila tidak memiliki celana model ini dan kosmetika
model itu. Merk-merk dagang adalah strata tahyul dan klenik. Para pasien di
rumah sakit budaya tinggi, budaya gengsi, budaya kelas priyayi, menyerbu
warung-warung status modernitas tidak untuk membeli barang, melainkan membeli
anggapan-anggapan tentang barang.
Salah satu wajah dunia industri modern adalah tahyul
konsumtifisme, yang menjadi sumber dari berbagai konflik serius di bidang
persaingan ekonomi, pergulatan kekuasaan politik hingga penyelewengan hukum.
Ini adalah kata-kata "purba", yang terasa lucu dan
naif untuk diperdengarkan. Tapi, tak bisa kita menghapusnya, karena setiap
orang - setidaknya beberapa hari menjelang ajalnya - akan mendengar kata-kata
semacam itu dari lubuk hati dan kesadarannya sendiri.
Puasa mengajarkan dan melatih pelaku-pelakunya untuk makan,
untuk memiliki sejumlah uang dan kekayaan, untuk bersedia menggenggam
kekuasaan, untuk menjadi ini-itu atau melakukan apa pun saja hanya ketika
benar-benar dalam keadaan "lapar sejati", bukan dalam keadaan
"merasa lapas karena nafsu".
Jika orang menjalankan puasa dengan pengetahuan, ilmu, cinta,
dan ketaqwaan, ia akan terlatih untuk bertahan pada "makan yang
sejati". Yakni, terlatih untuk mengambil jarak dari nafsu. Terlatih untuk
tidak melakukan penumpukan kuasa dan milik, tidak melakukan monopoli,
ketidakadilan, serta penindasan, karena telah diketahui dan dialaminya, bahwa
itu semua adalah "makanan palsu".
Tetapi, alangkah sedihnya menyaksikan, betapa dunia ini diisi
oleh banyak manusia yang tak henti-hentinya makan, padahal ia tak lapar, serta
oleh banyak manusia yang tak habis-habisnya makan, padahal ia sudah amat
kekenyangan.
Untunglah, bahwa bagi para pelaku puasa sejati, kesabaran
untuk menyaksikan keburaman hidup semacam itu bisa justru meningkatkan
perolehan kemuliaan dan kesejatiannya.