Sangat menarik menelaah tulisan Djoko Susilo di rubric
opini jawa pos beberapa hari yang lalu (19/05/2012). Tulisan yang berjudul
“nasionalisme di belantara mal” itu mengangkat satu tema menarik tentang bangsa
kita dari sudut dan lorong yang berbeda untuk diambil pelajaran berharga
tentang rasa nasionalis kita terhadap bangsa ini.
Djoko Susilo memberi satu ulasan runtut tentang
nasionalisme dari pandangan fakta bahwa tidak bisa dipungkiri banyak dari kita
yang menganggap kemajuan suatu daerah, kota ditandai dengan adanya mal atau
pusat perbelanjaan modern di kawasan itu.
Bukan hanya itu, seakan mal masih dianggap kurang, sebuah daerah akan
merasa maju jika ditiap kecamatan terdapat banyak mart yang menjual
produk-produk asing (jawa pos,19/05/2012) Kenyataan tersebut patut kita
renungkan. Ya, kita renungkan setelah kita melewati hari kebangkitan nasional
20 Mei beberapa hari yang lalu.
Sebagai wartawan sekaligus duta besar yang pernah hidup
lama diluar negeri, Djoko memandang bahwa dalam satu aspek local, keadaan kita
sangatlah miris dan menyedihkan. Misal, kita kaitkan nasionalisme dengan mart-mart
yang menjamur dibanyak tempat lebih banyak menjajakan makanan asing semisal
hot dog, burger, pizza, dan sebagainya. Hampir tidak ada mart
yang menyediakan makanan tradisional sebagai menu andalan semisal rawon, sate,
soto, dan seterusnya. Wajar jika menteri Gita Wirjawan sangat resah dengan
realita itu sehingga berencana mewajibkan mart, supermarket, hypermart,
atau mart-mart lainharus menjual minimal 75 persen produk Indonesia
(jawa pos, 19/05/2012).
Agaknya kita sebagai warga Negara yang baik hendaknya
mendukung apa yang akan dilakukan oleh menteri perdagangan Gita Wijarwan yang akan
memasok penuh produk local disemua mart-mart seluruh Indonesia. Kita
tidak anti terhadap produk asing, namun prioritas terhadap produk local
harusnya tetap didahulukan.
Sebuah PR bagi civitas akademika, khususnya fakultas
Humaniora dan budaya dalam mewujudkan kearifan budaya local ditengah nuansa
budaya global.
Malang, Mei 2012