Sabtu, 19 Mei 2012

Gunting, Rambut Gondrong dan Bapak Berbrewok


            Suatu kali, aku mengantarkan seorang kawan ke sebuah kantor instansi di perguruan tinggi ternama di Malang. Maksud dan tujuan kawanku ke kantor institusi tersebut adalah meminta hak serta ngurusi administrasi yang berkaitan dengan proses beasiswanya di salah satu perguruan tinggi. Ini adalah kali kedua dia datang ke kantor instansi tersebut setelah kali yang pertama dia ditolak dan diusir dari tempat itu. Tentunya, ketika kawanku ini memberanikan diri untuk datang lagi dia sudah menyiapkan mental, kejernihan akal, dan sedikit srategi  agar tidak mengalami kali kedua seperti yang pertama dia alami pada waktu sebelumnya.
             Ketika kami sampai di kantor aku katakan kepadanya “Bleh, opo kowe siap?engko awakmu diusir maneh. “Ah..santae, sing penting aku maju dulu” ujarnya acuh. Sepertinya sudah mantap dia. Apapun hasilnya, diterima, ditolak, diusir kali ketiga, bahkan diblack list nama agaknya dia sudah tak peduli. Kebutuhan yang bersifat pragmatis sudah tak bisa ditunda lagi, harus segera direalisasikan. Idealis tak dibutuhkan saat ini.

            Ketika sampai di kantor institusi itu, Pintu kubuka sedangkan kawanku ngantel di belakang. Sepertinya kami sudah ditunggu. Seseorang nampak terlihat di pojokan sedang sibuk dengan dirinya sendiri, mencatat, menata arsip-arsip perkantoran, sepertinya.  Repot dengan aktivitasnya tanpa sedikitpun menoleh pada kami.
“Assalamu’alaikum” ku uluk salam
“ Waalaikumsalam” jawabnya acuh  sambil menunjukkan ekspresi wajah yang dingin
            Kawanku itu lalu memulai pembicaraan dengan halus, santun, dengan sedikit nyenggol bahu saya. Grogi mungkin.
            “Ehm..anu pak, saya mau ngambil uang Spp yang kemarin kata bapak suruh ngambil di kantor. Ini foto copy buku tabungannya sudah saya urus” sambil menyerahkan secarik foto copian buku tabungan.
            “Kok belum potong rambut kamu,sudah berapa kali saya ingatkan agar sampyan cepet potong rambut heh. “Jawab bapak itu sambil mengambil gunting di sebelah mejanya.
            Tiba-tiba waktu terasa aneh, seakan berhenti berputar menyaksikan kejadian yang nampak slow motion dihadapanku. Bapak berbrewok tebal itu menghampiri kawanku dengan membawa gunting kearahnya. Aku bersiap-siap mengambil tindakan kalau ada gerakan-gerakan yang dirasa membahayakan.
            “ Sini kamu, biar tak potong rambutmu kalau masih mbandel”Teriak Bapak berbrewok tebal itu
            Kawanku itu masih berdiri tegap ditempatnya. mau lari bingung, mau melawan juga tambah bingung. Aku akhirnya mengambil tindakan atraktif dengan tetap diam ditempat. hehehe.
            “mboten Pak, mangke kulo potong pak. Saya janji “Sambil melepaskan jeratan tangan si bapak brewok yang mencengkram rambutnya.
            Ya Tuhan, kusaksikan adegan ketidakdewasaan. Adegan fulgar yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang pengayom, pembina, guru. Menonjolkan kekerasan fisik agar ia ditakuti dan dihormati. Kalau tidak sabar menjadi Pembina mahasiswa, mending jadi waka kesiswaan saja di sekolah. Karakter serta prinsip kedewasaan antara siswa dan mahasiswa sangatlah berbeda. jangan disamakan dengan model pendidikan yang sama pula. Mahasiswa itu sensitivitasnya tinggi. Senggol titik bacok.    
            Untuk kawanku itu, akhirnya ia pulang tanpa membawa hasil. Kembali dengan pemerolehan yang sama seperti ia datang pertama kali. Ia hanya cengengea-cengenges. Dia hanya berucap “Wuih, kenek setan opo wong iku maeng yo” Ujarnya santai. 
Malang 2012