Suatu kali, aku mengantarkan seorang kawan ke sebuah
kantor instansi di perguruan tinggi ternama di Malang. Maksud dan tujuan kawanku
ke kantor institusi tersebut adalah meminta hak serta ngurusi administrasi
yang berkaitan dengan proses beasiswanya di salah satu perguruan tinggi. Ini
adalah kali kedua dia datang ke kantor instansi tersebut setelah kali yang
pertama dia ditolak dan diusir dari tempat itu. Tentunya, ketika kawanku ini
memberanikan diri untuk datang lagi dia sudah menyiapkan mental, kejernihan
akal, dan sedikit srategi agar tidak
mengalami kali kedua seperti yang pertama dia alami pada waktu sebelumnya.
Ketika kami sampai
di kantor aku katakan kepadanya “Bleh, opo kowe siap?engko awakmu
diusir maneh. “Ah..santae, sing penting aku maju dulu” ujarnya acuh.
Sepertinya sudah mantap dia. Apapun hasilnya, diterima, ditolak, diusir kali
ketiga, bahkan diblack list nama agaknya dia sudah tak peduli. Kebutuhan yang
bersifat pragmatis sudah tak bisa ditunda lagi, harus segera direalisasikan.
Idealis tak dibutuhkan saat ini.
Ketika sampai di kantor institusi itu, Pintu kubuka
sedangkan kawanku ngantel di belakang. Sepertinya kami sudah ditunggu.
Seseorang nampak terlihat di pojokan sedang sibuk dengan dirinya sendiri, mencatat,
menata arsip-arsip perkantoran, sepertinya.
Repot dengan aktivitasnya tanpa sedikitpun menoleh pada kami.
“Assalamu’alaikum” ku uluk salam
“ Waalaikumsalam”
jawabnya acuh sambil menunjukkan
ekspresi wajah yang dingin
Kawanku itu lalu memulai pembicaraan dengan halus,
santun, dengan sedikit nyenggol bahu saya. Grogi mungkin.
“Ehm..anu pak, saya mau ngambil uang Spp yang kemarin
kata bapak suruh ngambil di kantor. Ini foto copy buku tabungannya sudah saya
urus” sambil menyerahkan secarik foto copian buku tabungan.
“Kok belum potong rambut kamu,sudah berapa kali saya
ingatkan agar sampyan cepet potong rambut heh. “Jawab bapak itu sambil
mengambil gunting di sebelah mejanya.
Tiba-tiba waktu terasa aneh, seakan berhenti berputar
menyaksikan kejadian yang nampak slow motion dihadapanku. Bapak
berbrewok tebal itu menghampiri kawanku dengan membawa gunting kearahnya. Aku
bersiap-siap mengambil tindakan kalau ada gerakan-gerakan yang dirasa
membahayakan.
“ Sini kamu, biar tak potong rambutmu kalau masih mbandel”Teriak
Bapak berbrewok tebal itu
Kawanku itu masih berdiri tegap ditempatnya. mau lari
bingung, mau melawan juga tambah bingung. Aku akhirnya mengambil tindakan
atraktif dengan tetap diam ditempat. hehehe.
“mboten Pak, mangke kulo potong pak. Saya janji
“Sambil melepaskan jeratan tangan si bapak brewok yang mencengkram rambutnya.
Ya Tuhan, kusaksikan adegan ketidakdewasaan. Adegan
fulgar yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang pengayom, pembina, guru. Menonjolkan
kekerasan fisik agar ia ditakuti dan dihormati. Kalau tidak sabar menjadi
Pembina mahasiswa, mending jadi waka kesiswaan saja di sekolah. Karakter serta
prinsip kedewasaan antara siswa dan mahasiswa sangatlah berbeda. jangan
disamakan dengan model pendidikan yang sama pula. Mahasiswa itu sensitivitasnya
tinggi. Senggol titik bacok.
Untuk kawanku itu, akhirnya ia pulang tanpa membawa
hasil. Kembali dengan pemerolehan yang sama seperti ia datang pertama kali. Ia
hanya cengengea-cengenges. Dia hanya berucap “Wuih, kenek setan opo
wong iku maeng yo” Ujarnya santai.
Malang 2012