Entah, ketika menapak langkah pada satu langkah kaki yang
bernama kuliah tergambarkan pada ruang sadarku
tentang banyak corak, pola absurd, sketsa yang sampai sekarang belum
kutemukan satu bentuk nyata sebenarnya terbentuk gambar apa dari sekian pola
abstrak itu.
Segala macam bentuk yang kuanggap abstrak itu berupa
segala system yang dipatrap di kampus. Seperti mahasiswa harus berambut
rapi, klimis, membuat makalah, masuk perkuliahan yang diabsen, haram berambut
gondrong dan celana bolong dan lain-lain. Inilah abstrak-ku itu. Dengan alasan
rasional memang dapat aku akui, bahwa kelembagaan itu mempunyai “otonomi”
internal yang harus di manuti oleh segenap akademikanya. Jadi, siapapun
anda ketika mlebu “kandang singa” mau tak mau anda minimal harus pakewuh
dengan segala hal-hal yang berada disana terutama dengan system yang
diterapkan.
Aku merasa terhimpit disini, tak bisa kugerakkan jemari
ini tuk sekedar menulis fikiran-fikiran nakalku. Karena segala aspek
kenakalan-kenalan disebuah system selalu terpasung, terpenjara dengan hal-hal
yang dinormatif-normatifkan. Padahal penuh amoral.
Aku ini belum bisa menjadi manusia berdandan rapi, sepatu
fantovel mengkilap bak pantulan cahaya terkena sinar, belum terpatri dalam manunggaling
jiwo menjadi sosok dengan setelan jas, berdasi, apalagi beambut klimis.
Entah, aku tak tahu. Koq rasa-rasanya ingin kutelusuri
jejak kebebasan, kuterjal tembok-tembok kekakuan, kuingin tuding mereka dengan
kata-kata halus nan penuh sindir mengapa harus menuhankan setelan luar dari
pada pambukaning ati, sisi subtansi yang itu benar-benar
terpatri.
Buat apa masuk kuliah kalau hanya mencari absen, ngapain
kungkang-kungkung ngerjain tugas kuliah kalau hanya sekedar mendapat
nilai A. Bukankah ini pembodohan akal, perusakan system berfikir. Bukankah
lebih baik belajar dengan panggilan nurani, tidak dengan keterpaksaan, dan
benar-benar serius tanpa aling-aling karena absen, nilai, ataupun takut dosen.
Wahai, mengapa kau harus terpasung dengan semua itu.
Malang, Mei 2012