Selasa, 24 April 2012

Mahasantri Ma'had Sunan Ampel Al- 'Aly itu akhirnya muntab

            Lagi-lagi kisruh mewarnai kehidupan ini dengan berbagai segmen yang meliputi. Sesungguhnya ada latar belakang dan alasan rasional kenapa kekisruhan tak dapat di elakkan. Sistem sosial, birokrasi kampus, politik kekuasaan “kecil” dunia mahasiswa, feodalisme fakultas maupun jurusan, maupun  kebijakan ma’had dimana mahasiswa Uin maliki berkutat dengan urusan intelektual, moral, dan sosial. Selama ini, tidak ada gerakan praktis untuk mengatasi problem-problem yang terjadi. Idealnya, seorang musyrif dan murabbi adalah penyambung lidah, pengayom, teman curhat, sahabat dekat, konco ngopi, dan tanggap dengan masalah-masalah yang dihadapi mahasantri. Apa keinginan mereka, selama tidak melanggar tatanan sosial dan budaya, harusnya ditanggapi dengan hati yang lapang, fikiran yang jernih dan prinsip silaturahmi yang terbangun. Namun yang terjadi, musyrif maupun murabbi seakan terjebak pada structural formal. Musyrif dan murabbi bukannya menjadi penyambung dari problematika mahasantri namun justru berubah menjadi algojo dan pengeksekusi mahasantri.  


            Tetap statis. Tidak ada perubahan dan gerakan revolusioner untuk menggebrak system yang terjadi. Semua hanya bisa rasan-rasan, misuh, dan bermain isu di belakang layar. Tidak ada perangkat dan jalan untuk menyampaikan aspirasi. Aku bingung, aku dan teman-teman mencari thoriqoh untuk menggebrak dengan jalan apapun. Ini bukan pesantren dimana tawadhu’ dan sungkem menjadi ideologi suci, tapi ini kampus dimana feodalisme mengakar di setiap posisi.

            Kegelisahanku tak dapat kutahan. Berjam-jam, berhari-hari, dan berbulan-bulan. Kusampaikan pada teman-teman di setiap kesempatan. Di kantin, kelas, ketika diskusi, belajar, ngopi, menulis kolom, membuat puisi, semuanya ku eksplorkan. Terutama ketidak adilan perlakuan antara mahasiswa asing dan lokal. Anda tahu, kami mahasiswa Indonesia hidup dalam keprihatinan yang tragis sekali walau untuk mencukupi isi perut sendiri. Itupun tidak cukup, kami harus sabar dengan berbagai ketimpangan-ketimpangan yang melanda hanya untuk bisa belajar dengan khusyuk sekalipun. Sedang mahasiswa rusia itu berlehai-lehai seakan menertawakan kesulitan-kesulitan kami. Kami sebagai tuan rumah dianggap manusia-manusia tak punya harga diri.


            Anda tahu, kebijakan-kebijakan birokrasi yang tidak pro mahasiswa lokal begitu kentara. Korban yang terkena imbas pun bersegmen, dari pengasuh hingga mahasantri. Dari yang paling fundamen hingga yang paling ekstrem sekalipun. Undang-undang satpam tentang pelarangan membawa sepeda motor bagi semua yang masih tinggal di mahad adalah kejelasan yang sangat jelas bagi semua pihak untuk mentaatinya. Tidak hanya mahasiswa lokal, mahasiswa asing pun seharunya terikat dengan aturan itu. Jika setiap pagi para murabbi, musyrif, dan mahasantri, bahkan (Gus Is pun di gembosi motornya) beramai-ramai nuntun motor karena gembos dan kehilangan pentil,bahkan busi, maka seharusnya mahasiswa rusia itu juga mengalami hal yang sama. Jika kami tidak diperkenankan memasuki ma’had dengan motor karena alasan peraturan, mengapa mahasiswa rusia itu,mbleyar-mbleyer dan mleba-mlebu sak karepe udele dewe. Jika kami tidak diperbolehkan membawa alat-alat listrik seperti kulkas, magicjer, kompor, kipas angin listrik dan lain-lain dengan alasan pemborosan listrik, mengapa mereka dengan bebas membawa lalat-alat itu semua. Dan yang paling membuat aku sesak dan semakin sesak, konsep pemahaman dan madzab fiqh apa yang melatarbelakangi mereka untuk selalu memakai sepatu dan sandal jika memasuki mabna, Siapapun tahu, bahwa itu adalah najis. Namun, kami hanya bisa mengelus dada dan misah-misuh dengan diri sendiri.

            Dengan ketimpangan yang seperti ini, akhirnya aku dengan beberapa teman membuat gerakan dan memulai perang gerilya dengan bergerak dibelakang layar. Setiap malam kami berekspedisi, motor-motor mahasiswa asing yang diparkir di altar Al-farabi, kami gembosi, dan paling ekstrem segelas kopi pun bercampur aduk dengan oli. Itu salah satu gerakan-gerakan kecil saja, masih terencana dengan sistematis di otak kami untuk membuat gerakan yang paling ekstrem dan frontal di kemudian hari. Kami sepenuhnya menyadari, bahwa resiko yang diambil cukup tinggi, kami bisa dianggap tidak menghormati tamu, mencemarkan nama baik, merusak tatanan, dan sebagainya. Namun, aku dan teman-teman mempunyai satu prisnsip bahwa tidak hanya kami yang merasakan ketimpangan-ketimpangan, semua ,mahasiswa UIN kami kira merasakan hal yang sama. kami tidak sendirian dan kami berada pada situasi dan kondisi yang benar.                Pada akhirnya, gerakan ini memuntah di daratan, berawal dari informasi dan isu, ratusan mahasantri tergerak untuk melakukan aksi. kami membuat perencanaaan-perencanaan, tuntutan-tuntutan, data-data kongkrit, dan mencari masa. Jum’at 23 desember 2011, ba’da shalat jum’at beberapa orang yang sudah ditugaskan menggelar kain putih sepanjang 10 meter. Semua yang melintas, diajak untuk membubuhkan tanda tangan. 

           Aksi ini tidak dapat terelakkan. Dirasa sudah cukup, sekitar duaratus mahasantri bergerak, berorasi di sepanjang area ma’had lalu menuju ke asrama putri, dan terakhir di depan kantor ma’had. Satpam sudah berjaga-jaga dan siap mengantisipasi apapun yang terjadi. Selebaran kertas di bagikan pada setiap orang yang kami jumpai. Tidak hanya tentang ketidak adilan perlakuan terhadap mahasiswa local, hal-hal yang lain tentang fasilitas ma’had, system sks, dan transparansi dana pun menjadi tuntutan. Berikut adalah tuntutan tertulis kami “Banyak fakta di kalangan mahasiswa Uin Maliki Malang khususnya dalam bidang akademik mereka biasanya mendapat sebutan “mahasiswa abadi”. Sebabnya adalah mereka dahulu tidak lulus ujian ma’had yang berakibat tidak bisa mengambil enam sks mata kuliah, yakni study Al-qur’an, study fiqh dan study hadist. Ketika mereka tidak bisa mengambil tiga mata kuliah tersebut dipastikan akan menghambat proses study mereka, belum lagi ketika ketiga mata kuliah tersebut menjadi prasyarat dari mata kuliah yang lain. Bermula dari sinilah keterlambatan kelulusan mereka tidak tepat waktu. Sebenarnya apa hubungan kurikulum ma’had dan kurikulim regular?      

         Dengan adanya data seperti ini kami menuntut adanya perbaikan system ma’had dan perkuliahan. kami tidak mengatasnamakan pribadi yang mempunyai alasan pe-manageman-an waktu dari individu. Secara logika, ketika anak-anak mendapat tugas regular yang mengharuskan untuk lembur, disaat yang sama mereka juga terbebani dengan acara ma’had yang demikian padat, belum lagi iqab/sangsi jika tidak mengkuti shabahul lughah, ta’’lim maupun agenda-agenda yang lain. Seharusnya, ma’had harus mempunyai system sendiri tanpa harus mengikuti system kampus.

            Begitupun dengan transparansi dana 5 Juta untuk pengembangan dan infak ma’had. Kasur, bantal, ranjang tidur dan lain-lain terbukti adalah alat-alat bekas dari peninggalan tahun-tahun terdahulu. kami hanya menikmati barang sisa dan bekas. Listrik sering mati namun listrik rumah pengasuh tidak pernah sedikitpun padam. Dari tahun ke tahun biaya semakin mahal, namun fasilitas tetap tak memadai. Disini banyak hal yang harus diperjelas karena semua ini menyangkut dana yang tidak kecil dan diskriminasi yang terjadi”.

            Aku mengamati dari dari belakang dan sesekali mengambil gambar. Setiap orang berorasi, mengajukan tuntutannya masing-masing. Kh. Israhun najah dan Kh. Chamzawi dengan ditemani beberapa pengurus ma’had seakan dikepung oleh tuntutan yang tiada henti.

            “kami disini ingin kuliah pak, bukan mondok”
            “disini biaya mahal, tolong fasilitas dipenuhi”
            “kenapa mahasiswa asing disini lebih dianak emaskan dari pada mahasiswa lokal, kami                  tidak terima pak, sepakaaat!!!!
            “sepakaaaaaaa”t!!!!

            Dinamisme dunia kampus dipenuhi oleh berbagai kepentingan-kepentingan. Jika kita tidak kritis, kita mudah disetir sekehendak hati. Mahasiswa bukan anak kecil lagi, mereka adalah manusia-manusia yang haus perubahan, manusia yang berproses untuk menjadi agent of change maupun agent of control. Manusia yang penuh dengan pemikiran idealis, kritis, dan solutif.

            Diam-diam aku merasa khawatir.

            Dan kekahawatiran itu benar-benar terjadi ketika Jam 22.00 Wib 26 desember 2011 ratusan mahasantri Al-farabi menggrebek setiap kamar mahasiswa asing. Praktis, mereka diam dan tak bisa berbuat apa-apa. Kami siap perang fisik jika itu memungkinkan. Alat-alat elektronik tegangan tinggi berhasil kami rampas. Kulkas, Kipas angin listrik, dan lain-lain. 

            Ketika kawanku bertanya tentang bagaimana kelanjutan aksi ini, kujawab” mereka (mahasiswa Rusia) akan “sujud” dihadapan kita. Lihat saja nanti.
Malang, 27 Desember 2011