Lagi-lagi kisruh mewarnai kehidupan ini dengan berbagai
segmen yang meliputi. Sesungguhnya ada latar belakang dan alasan rasional
kenapa kekisruhan tak dapat di elakkan. Sistem sosial, birokrasi kampus,
politik kekuasaan “kecil” dunia mahasiswa, feodalisme fakultas maupun jurusan,
maupun kebijakan ma’had dimana mahasiswa
Uin maliki berkutat dengan urusan intelektual, moral, dan sosial. Selama ini,
tidak ada gerakan praktis untuk mengatasi problem-problem yang terjadi.
Idealnya, seorang musyrif dan murabbi adalah penyambung lidah, pengayom, teman
curhat, sahabat dekat, konco ngopi, dan tanggap dengan masalah-masalah yang
dihadapi mahasantri. Apa keinginan mereka, selama tidak melanggar tatanan
sosial dan budaya, harusnya ditanggapi dengan hati yang lapang, fikiran yang
jernih dan prinsip silaturahmi yang terbangun. Namun yang terjadi, musyrif
maupun murabbi seakan terjebak pada structural formal. Musyrif dan murabbi
bukannya menjadi penyambung dari problematika mahasantri namun justru berubah
menjadi algojo dan pengeksekusi mahasantri.
Tetap statis. Tidak ada perubahan dan gerakan
revolusioner untuk menggebrak system yang terjadi. Semua hanya bisa rasan-rasan,
misuh, dan bermain isu di belakang layar. Tidak ada perangkat dan jalan
untuk menyampaikan aspirasi. Aku bingung, aku dan teman-teman mencari thoriqoh
untuk menggebrak dengan jalan apapun. Ini bukan pesantren dimana tawadhu’ dan
sungkem menjadi ideologi suci, tapi ini kampus dimana feodalisme mengakar di
setiap posisi.
Kegelisahanku tak dapat kutahan. Berjam-jam,
berhari-hari, dan berbulan-bulan. Kusampaikan pada teman-teman di setiap
kesempatan. Di kantin, kelas, ketika diskusi, belajar, ngopi, menulis kolom,
membuat puisi, semuanya ku eksplorkan. Terutama ketidak adilan perlakuan antara
mahasiswa asing dan lokal. Anda tahu, kami mahasiswa Indonesia hidup dalam
keprihatinan yang tragis sekali walau untuk mencukupi isi perut sendiri. Itupun
tidak cukup, kami harus sabar dengan berbagai ketimpangan-ketimpangan yang
melanda hanya untuk bisa belajar dengan khusyuk sekalipun. Sedang mahasiswa
rusia itu berlehai-lehai seakan menertawakan kesulitan-kesulitan kami. Kami
sebagai tuan rumah dianggap manusia-manusia tak punya harga diri.
Dengan ketimpangan yang seperti ini, akhirnya aku dengan beberapa teman membuat
gerakan dan memulai perang gerilya dengan bergerak dibelakang layar. Setiap
malam kami berekspedisi, motor-motor mahasiswa asing yang diparkir di altar
Al-farabi, kami gembosi, dan paling ekstrem segelas kopi pun bercampur aduk
dengan oli. Itu salah satu gerakan-gerakan kecil saja, masih terencana dengan
sistematis di otak kami untuk membuat gerakan yang paling ekstrem dan frontal
di kemudian hari. Kami sepenuhnya menyadari, bahwa resiko yang diambil cukup
tinggi, kami bisa dianggap tidak menghormati tamu, mencemarkan nama baik,
merusak tatanan, dan sebagainya. Namun, aku dan teman-teman mempunyai satu
prisnsip bahwa tidak hanya kami yang merasakan ketimpangan-ketimpangan, semua
,mahasiswa UIN kami kira merasakan hal yang sama. kami tidak sendirian dan kami
berada pada situasi dan kondisi yang benar.
Pada akhirnya, gerakan ini memuntah di daratan, berawal dari informasi
dan isu, ratusan mahasantri tergerak untuk melakukan aksi. kami membuat
perencanaaan-perencanaan, tuntutan-tuntutan, data-data kongkrit, dan mencari
masa. Jum’at 23 desember 2011, ba’da shalat jum’at beberapa orang yang sudah
ditugaskan menggelar kain putih sepanjang 10 meter. Semua yang melintas, diajak
untuk membubuhkan tanda tangan.
Aksi ini tidak dapat terelakkan. Dirasa sudah cukup, sekitar duaratus mahasantri bergerak, berorasi di sepanjang area ma’had lalu menuju ke asrama putri, dan terakhir di depan kantor ma’had. Satpam sudah berjaga-jaga dan siap mengantisipasi apapun yang terjadi. Selebaran kertas di bagikan pada setiap orang yang kami jumpai. Tidak hanya tentang ketidak adilan perlakuan terhadap mahasiswa local, hal-hal yang lain tentang fasilitas ma’had, system sks, dan transparansi dana pun menjadi tuntutan. Berikut adalah tuntutan tertulis kami “Banyak fakta di kalangan mahasiswa Uin Maliki Malang khususnya dalam bidang akademik mereka biasanya mendapat sebutan “mahasiswa abadi”. Sebabnya adalah mereka dahulu tidak lulus ujian ma’had yang berakibat tidak bisa mengambil enam sks mata kuliah, yakni study Al-qur’an, study fiqh dan study hadist. Ketika mereka tidak bisa mengambil tiga mata kuliah tersebut dipastikan akan menghambat proses study mereka, belum lagi ketika ketiga mata kuliah tersebut menjadi prasyarat dari mata kuliah yang lain. Bermula dari sinilah keterlambatan kelulusan mereka tidak tepat waktu. Sebenarnya apa hubungan kurikulum ma’had dan kurikulim regular?
Dengan adanya data
seperti ini kami menuntut adanya perbaikan system ma’had dan perkuliahan. kami
tidak mengatasnamakan pribadi yang mempunyai alasan pe-manageman-an waktu dari
individu. Secara logika, ketika anak-anak mendapat tugas regular yang
mengharuskan untuk lembur, disaat yang sama mereka juga terbebani dengan acara
ma’had yang demikian padat, belum lagi iqab/sangsi jika tidak mengkuti
shabahul lughah, ta’’lim maupun agenda-agenda yang lain. Seharusnya, ma’had
harus mempunyai system sendiri tanpa harus mengikuti system kampus.
Begitupun dengan transparansi dana 5 Juta untuk
pengembangan dan infak ma’had. Kasur, bantal, ranjang tidur dan lain-lain
terbukti adalah alat-alat bekas dari peninggalan tahun-tahun terdahulu. kami
hanya menikmati barang sisa dan bekas. Listrik sering mati namun listrik rumah
pengasuh tidak pernah sedikitpun padam. Dari tahun ke tahun biaya semakin
mahal, namun fasilitas tetap tak memadai. Disini banyak hal yang harus
diperjelas karena semua ini menyangkut dana yang tidak kecil dan diskriminasi
yang terjadi”.
Aku mengamati dari dari belakang dan sesekali mengambil
gambar. Setiap orang berorasi, mengajukan tuntutannya masing-masing. Kh.
Israhun najah dan Kh. Chamzawi dengan ditemani beberapa pengurus ma’had seakan
dikepung oleh tuntutan yang tiada henti.
“kami disini ingin kuliah pak, bukan mondok”
“disini biaya mahal, tolong fasilitas dipenuhi”
“kenapa mahasiswa asing disini lebih dianak emaskan dari
pada mahasiswa lokal, kami tidak
terima pak, sepakaaat!!!!
“sepakaaaaaaa”t!!!!
Dinamisme dunia kampus dipenuhi oleh berbagai
kepentingan-kepentingan. Jika kita tidak kritis, kita mudah disetir sekehendak
hati. Mahasiswa bukan anak kecil lagi, mereka adalah manusia-manusia yang haus
perubahan, manusia yang berproses untuk menjadi agent of change maupun agent
of control. Manusia yang penuh dengan pemikiran idealis, kritis, dan
solutif.
Diam-diam aku merasa khawatir.
Dan kekahawatiran itu benar-benar terjadi ketika Jam 22.00
Wib 26 desember 2011 ratusan mahasantri Al-farabi menggrebek setiap kamar
mahasiswa asing. Praktis, mereka diam dan tak bisa berbuat apa-apa. Kami siap
perang fisik jika itu memungkinkan. Alat-alat elektronik tegangan tinggi
berhasil kami rampas. Kulkas, Kipas angin listrik, dan lain-lain.
Ketika kawanku bertanya tentang bagaimana kelanjutan aksi
ini, kujawab” mereka (mahasiswa Rusia) akan “sujud” dihadapan kita. Lihat saja
nanti.
Malang, 27 Desember
2011