Selasa, 24 April 2012

Santri dan Peci


Santri dan Peci
            Seorang kawan cerita bahwa ia baru saja menemui, sowan ke salah seorang Kyai di  kota Malang, berharap dalam hatinya ia akan mendapatkan nasehat, petuah, atau do’a-do’a yang bersifat kontekstual yang sesuai dengan keadaan dirinya. Kebiasaan seseorang yang sowan kepada orang yang dianggap tua adalah satu bentuk sungkem, andap ashor, tata karma di dalam menghormati orang tua. Khususnya orang alim. Rasulullah SAW meng-SK mereka sebagai waratsatul Anbiya’ asistennya para Nabi, manusia dengan derajat khusus yang mendapatkan mandat kehormatan, prestisius, wibawa, juga sekaligus ‘cobaan’.
Artinya bahwa tidak semua kyai itu “ulama”’, begitupun dengan sebaliknya tidak semua orang yang yang dianggap “kecil”, petani, pedagang, tukang bakso, tukang becak, juru parkir itu tidak ulama’, dengan analogi terbalik bahkan mereka sangat bisa disebut dengan ulama’. Kita sering terjebak pada konsonan kata, kalimat, tanpa mengetahui arti leterlek dari kata itu sendiri. Kita mengartikan kata amal itu dengan meminta-minta, mengemis, mengharap pemberian orang. Di jalan-jalan dekat dengan pembangunan masjid, seringkali kita temui yang namanya kotak amal. Atau peminta-minta di jalan seringkali mengatakan “mas amalnya mas”. Padahal amal itu artinya bekerja. 7 Abad kesalahan bahasa ini kita pendam, tanpa direnkonstruksi ulang apa sebenarnya makna amal itu. Maka kotak amal redaksinya harus diganti dengan kotak infak, atau kotak shadaqah. lalu, jika anda kebetulan bertemu dengan pengemis, peminta-minta di jalan, berilah seikhlas uang dari dompet anda, dan katakan “mas, mbak, buk, pak, ini bukan meminta amal, tapi meminta infaq.
            Sudah, koq kemana-mana. Kawan saya itu lalu menceritakan bagaimana dia sangat tidak habis fikir mengapa dia diusir dari ndalem kyai dengan alasan yang aneh, serasa dibuat-buat, dan terkesan menggelikan. Kebetulan kawan saya itu pernah nyantri di salah satu pesantren di lampung. Ketika bertemu dengan sang kyai, dia ditanya apakah dia santri. Praktis kawan saya itu menjawab iya. Lalu kyai itu mengatakan “Loh, santri koq ndak pakai peci (kopyah), sana pakai peci dulu, baru kesini.
            Ada dua alasan subjektif mengapa sang kyai mengatakan demikian. Pertama, kyai tersebut mungkin adalah kyai sepuh tradisional yang menganggap peci adalah sebuah lambang kebaikan, kewibawa’an, dan sumber penghalang keburukan. Jadi, jika seseorang itu memakai peci, kemudian ia ingin melakukan hal-hal yang bersifat sayyi’ah, maka itu tidak akan segera ia lakukan karena malu dengan peci yang dipakainya. Santri dengan peci adalah satu kesatuan, satu tubuh, satu hati, software anti virus yang sangat ampuh. Karena di lapangan kita sering menjumpai, santri yang sudah keluar dari pesantren, jika tidak terkontrol kenakalnnya melebihi orang yang sangat nakal. Maka, peci adalah daya magnet kontrol bagi santri. Urusan para pejabat memakai peci jika disidang adalah sebuah penghinaan, pelucutan wibawa kesantrian terhadap peci.
            Kedua, karena rata-rata santri salaf itu rambutnya gondrong, mamel, krewol, maka kyai ini menganjurkan kepada setiap santri itu harus memakai peci. Biar kelihatan lebih klimis, ganteng, dan terawat. Simpel. Maka, anda yang merasa rambutnya gondrong, pakailah peci jika sowan ke ndalem kyai. Sekalipun anda bukan santri, minimal biar anda dianggap santri. Lumayan kan dapat do’a. Santri kata sebagian orang berasal dari dua kata Sun dan three. Sun berarti matahari dan three yang berarti tiga. Makna yang terkandung adalah manusia unggul yang menaungi, menyinari apapun dan siapapun dengaan tiga sinar. Iman, Islam, dan Ihsan. Beruntung sekali jika Allah memperkenankan anda menjadi sosok demikian. 
            Sesaat kemudia, kawan saya sudah memakai peci. Lha gitu kan lebih oke, lebih klimis “kata saya.
            Salam Sapi (Santri Gawe Peci)
Malang, 20 Januari 2012