Santri dan Peci
Seorang kawan cerita bahwa ia baru
saja menemui, sowan ke salah seorang Kyai di
kota Malang, berharap dalam hatinya ia akan mendapatkan nasehat, petuah,
atau do’a-do’a yang bersifat kontekstual yang sesuai dengan keadaan dirinya. Kebiasaan
seseorang yang sowan kepada orang yang dianggap tua adalah satu bentuk sungkem,
andap ashor, tata karma di dalam menghormati orang tua. Khususnya orang alim.
Rasulullah SAW meng-SK mereka sebagai waratsatul Anbiya’ asistennya para
Nabi, manusia dengan derajat khusus yang mendapatkan mandat kehormatan, prestisius,
wibawa, juga sekaligus ‘cobaan’.
Artinya bahwa tidak semua kyai itu “ulama”’,
begitupun dengan sebaliknya tidak semua orang yang yang dianggap “kecil”,
petani, pedagang, tukang bakso, tukang becak, juru parkir itu tidak ulama’,
dengan analogi terbalik bahkan mereka sangat bisa disebut dengan ulama’. Kita
sering terjebak pada konsonan kata, kalimat, tanpa mengetahui arti leterlek
dari kata itu sendiri. Kita mengartikan kata amal itu dengan meminta-minta,
mengemis, mengharap pemberian orang. Di jalan-jalan dekat dengan pembangunan
masjid, seringkali kita temui yang namanya kotak amal. Atau peminta-minta di
jalan seringkali mengatakan “mas amalnya mas”. Padahal amal itu artinya
bekerja. 7 Abad kesalahan bahasa ini kita pendam, tanpa direnkonstruksi ulang
apa sebenarnya makna amal itu. Maka kotak amal redaksinya harus diganti dengan
kotak infak, atau kotak shadaqah. lalu, jika anda kebetulan bertemu dengan
pengemis, peminta-minta di jalan, berilah seikhlas uang dari dompet anda, dan
katakan “mas, mbak, buk, pak, ini bukan meminta amal, tapi meminta infaq.
Sudah, koq kemana-mana. Kawan saya
itu lalu menceritakan bagaimana dia sangat tidak habis fikir mengapa dia diusir
dari ndalem kyai dengan alasan yang aneh, serasa dibuat-buat, dan terkesan
menggelikan. Kebetulan kawan saya itu pernah nyantri di salah satu pesantren di
lampung. Ketika bertemu dengan sang kyai, dia ditanya apakah dia santri.
Praktis kawan saya itu menjawab iya. Lalu kyai itu mengatakan “Loh, santri koq
ndak pakai peci (kopyah), sana pakai peci dulu, baru kesini.
Ada dua alasan subjektif mengapa
sang kyai mengatakan demikian. Pertama, kyai tersebut mungkin adalah kyai sepuh
tradisional yang menganggap peci adalah sebuah lambang kebaikan, kewibawa’an,
dan sumber penghalang keburukan. Jadi, jika seseorang itu memakai peci,
kemudian ia ingin melakukan hal-hal yang bersifat sayyi’ah, maka itu
tidak akan segera ia lakukan karena malu dengan peci yang dipakainya. Santri
dengan peci adalah satu kesatuan, satu tubuh, satu hati, software anti virus
yang sangat ampuh. Karena di lapangan kita sering menjumpai, santri yang sudah
keluar dari pesantren, jika tidak terkontrol kenakalnnya melebihi orang yang
sangat nakal. Maka, peci adalah daya magnet kontrol bagi santri. Urusan para
pejabat memakai peci jika disidang adalah sebuah penghinaan, pelucutan wibawa
kesantrian terhadap peci.
Kedua, karena rata-rata santri salaf
itu rambutnya gondrong, mamel, krewol, maka kyai ini menganjurkan
kepada setiap santri itu harus memakai peci. Biar kelihatan lebih klimis,
ganteng, dan terawat. Simpel. Maka, anda yang merasa rambutnya gondrong,
pakailah peci jika sowan ke ndalem kyai. Sekalipun anda bukan santri, minimal
biar anda dianggap santri. Lumayan kan dapat do’a. Santri kata sebagian orang
berasal dari dua kata Sun dan three. Sun berarti matahari
dan three yang berarti tiga. Makna yang terkandung adalah manusia unggul
yang menaungi, menyinari apapun dan siapapun dengaan tiga sinar. Iman, Islam,
dan Ihsan. Beruntung sekali jika Allah memperkenankan anda menjadi sosok
demikian.
Sesaat kemudia, kawan saya sudah
memakai peci. Lha gitu kan lebih oke, lebih klimis “kata saya.
Salam
Sapi (Santri Gawe Peci)
Malang, 20 Januari 2012