Jika Clifford
Geertz mengklasifikasi masyarakat Jawa dengan santri, abangan, dan priyayi,
mungkin sebagai orang Jawa kita akan mempertanyakan dan berpendapat lain.
Mengapa yang dimunculkan hanya tiga strata, dan tidak lebih? Sebab, dengan tiga
penggolongan saja, realitasnya tidak cukup dan tidak lengkap. Ada satu golongan
lagi yang keberadaannya belum atau justru sengaja tidak dimunculkan ke
permukaan.
Dalam konteks
kehidupan Islam di Jawa, pengelompokan santri dan abangan bisa diterima. Dimana
santri adalah mereka yang mengamalkan syariat Islam dengan baik, sementara
abangan adalah para pemeluk Islam yang belum atau tidak melakukan syariat
dengan baik. Sedangkan yang disebut priyayi, adalah mereka yang memiliki
kedudukan terhormat dalam masyarakat di masa lalu, seperti golongan pegawai
negeri, pamong praja, dan lain-lain. Menurut bausastra (kamus) bahasa
Jawa, priyayi mempunyai arti lebih spesifik lagi. Yaitu, kalangan bangsawan,
pejabat istana, keturunan raja maupun penguasa kerajaaan. Pendeskripsian ini dapat
dipahami karena munculnya golongan priyayi hanyalah di masa aristokrasi, bukan
setelah kemerdekaan Indonesia atau masa demokrasi.