Sudahlah.
Filosofikan hidupmu
sedemikian rupa. Semampu-mampumu, sekuat-kuatmu, sesuai kadar kekuatan dan
kelemahanmu sendiri. Manusia, sekalipun prototipe sempurna ciptaan Tuhan, tetap
mempunyai kadar batas kemerdekaan, dimana ia mampu menimbang segala apa yang ia
ucap, ia dengar, ia lakukan.
Mengapa harus
filosofi..?
Itulah letak
kebijaksanaan. Yang hampir semua manusia enggan mencari, bahkan untuk sejenak
menoleh sedikitpun aras-arasen. Skala dan aksentuasinya begitu luas,
tapi anda bisa memulainya dari diri sendiri.
Produk paling gampang
adalah membuat orang, dan siapapun disekitar anda merasa senang, merasa
gembira. Itu sudah cukup. Dan berdo’alah kepada Tuhan ditengah kebahagiaan
mereka, ditengah kegembiraan mereka.
Jika anda kuat menakar,
jangan mengungkit-ungkit menjadi subjek. Apalagi front man atas kegembiraan
yang terjadi.
Berdialektikalah dengan
Tuhan, berbincang-bincanglah pada jernihnya hati, berasyiklah dengan sejatinya
cinta. Biarkan mereka bahagia, tanpa tahu siapa yang sesungguhnya membuat mereka
bahagia. Biarkan mereka tertawa tanpa mengerti siapa yang membuat mereka
tertawa. Biarkan saja mereka beribadah dengan tekun, belajar dengan rajin, sregep
ngaji, rajin beramal, bangun pagi, bekerja keras, dengan ketidakmengertian
bahwa sebenarnya siapa yang mendorong dibalik itu semua. Sebuah kebahagiaan
yang tak terkira.
Itu latihan untuk
menjadi ikhlas. Ikhlas adalah ketertundaan. Lho..?
Ada yang kau tunda : Kebahagiaan
Ada yang kau nyalakan :
Harapan
Ada yang kau tunggu : Kesabaran
Tuhan, aku tetap
bersama-Mu dan baik-baik saja.