Katanya Sarjana
Lho, katanya sarjana, katanya sudah
wisuda, katanya sudah bertoga, katanya sudah menyandang gelar, katanya sudah
jadi pakar disiplin ilmu, katanya disambut banyak orang, katanya bangga dengan
prestisius puncak, katanya sudah membuat Ibu Bapak bangga, katanya sudah
menghasilkan karya (skripsi), katanya sudah berproses belajar, katanya sudah
yudisium, katanya ..katanya..katanya. Dan katanya sudah menjadi wisudawan. Dimana
seluruh dialektika pengetahuan sudah menancap. Katanya sudah menjadi wisudawan.
Dimana sudah dipastikan menjadi manusia yang manusia, yang dibekali dengan tiga
pengetahuan dasar. Kognitif, afektif, dan psikomotrik.
Seorang sarjana, tentunya idealis dasarmu
kognitifisme. Kau merangkum permasalahan sosial dengan cara pandang objektif, cara
berfikir yang tepat, dan tentunya kau pandai dalam hal itu. Kan sarjana.
Seorang sarjana, pastinya didalam hatimu
terpancar sikap-sikap santun, akhlak yang baik, jiwa yang sehat, bisa menjadi
uswatun hasananah bagi teman-temanmu, adik-adikmu, kakak-kakakmu, dan tentunya
kau menjadi promotor yang tangguh bagi lingkunganmu. Kan sarjana, bukankah itu
yang disebut afektif.
Seorang sarjana, gerak dan lakumu
harusnya selangkah lebih maju, paling tidak bisa berlari disaat semua masih
merangkak. Kau sudah berada di depan, di garis finish untuk menatap masa depan
yang gelap, yang pekat, yang menjadi misteri bagimu tetapi tidak bagi Tuhan.
Namun, itu tidak kulihat dari seorang
dirimu, tidak tampak dari sikapmu, dari cara berbicaramu, bergaulmu, yang
didahimu terstempel tog sarjana.
Kau sudah menjadi sarjana, tapi belum
bagi kehidupan.
Anshofa, 08/11/2013