Tak perlu menunggu tahun ini.
Tingginya animo masyarakat yang
ingin pergi haji/lunga kaji/naik haji ke Mekkah menimbulkan sejumlah
keterpendingan (ketertundaan) yang harus dilakukan oleh pemerintah,
karena keterbatasan kuota yang tersedia dibandingkan jumlah pendaftar naik haji
dari tahun ke tahun. Bahkan untuk 10 (sepuluh) tahun yang akan datang pun
sebagian kuota telah terpenuhi. Untuk wilayah Jatim saja berlaku daftar tahun
sekarang (2011), berangkat tahun 2021.
Dan sejumlah keterpendingan itu
tentunya menimbulkan dana tertahan bertahun-tahun di bank, yang memungkinkan
bank mengelola untuk aktivitas perbankkan yang ada (misalnya kredit-kredit (KPR
dll) di masyarakat melalui BPR, bank thithil, lembaga finance)
dan macet serta sulit mengembalikannya. Namun yang terpenting adalah memicu
peredaran rente/riba/duit bunga berbunga yang semakin tak terkendali dan
menimbulkan sejumlah kredit macet di masyarakat saat ini. Hal ini cukup
beralasan, karena uang yang terlanjur masuk dalam pendaftaran ongkos naik haji
(ONH) sangat sulit ditarik kembali oleh pemiliknya sekalipun dengan berbagai
macam alasannya.
Animo yang demikian besar untuk naik haji/lunga
kaji menunjukkan, bahwa setiap orang ingin mulia di hadapan Tuhannya. Dan
salah satunya adalah menjadi seorang haji/kaji. Namun selama itukah
untuk mendapatkan kemuliaan yang dicita-citakan ? Padahal kalau bisa sekarang, mengapa harus menunggu
besok, apalagi 10 (sepuluh) tahun yang akan datang ?
Keterpendingan
sebenarnya bukan idealisme bagi setiap calon jamaah haji (CJH), karena kalau
bisa sekarang mengapa harus tahun ini, apalagi 10 (sepuluh) tahun yang akan
datang ? Namun kebijakan kuota pengunjung Mekkah al-Mukarromah yang ditetapkan
oleh pemerintah Arab Saudi memang harus diberlakukan, karena keterbatasan
fasilitas dan tempat (terutama) di Mekkah itu sendiri, walaupun kebijakan itu
tentu ”merugikan” bagi CJH yang mengalami ketertundaan cita-citanya mendapat
kemuliaan yang diinginkan yaitu menjadi haji yang mabrur yang tiada
balasannya kecuali surga.
Kalau
menilik sejumlah keterpendingan pemberangkatan dari pembayaran ONH yang ada, mungkin
Tuhan belum berkenan menerima para tamuNya, karena dianggap belum
memenuhi syarat-syarat tamu Tuhan yang menjadi haji mabrur, sehingga untuk itu
(haji para CJH melalui ONH) harus dipending terlebih dulu. Demikiankah ? Hanya
Tuhanlah yang maha mengetahuinya. Namun demikian ada sedikit celah penerang
yang bisa memberikan informasi, salah satunya yaitu melalui istilah naik haji
dan lunga kaji.
Naik Haji
Naik merupakan aktivitas
seseorang dari tempat/kelas/strata/tingkat yang rendah ke tempat/kelas/strata/grade
yang lebih tinggi. Demikian juga jarang sekali orang yang memaknai naik haji,
sebagai sebuah kenaikan ke strata/tingkat yang lebih tinggi atau naik ke kelas
yang lebih tinggi. Haji merupakan bagian dari rukun islam tertinggi yang
ke-lima.
Idealismenya
seorang haji adalah orang yang ideologinya hanya menghamba kepada Tuhan (syahadat);
terdepan (menjadi imam) dalam mendirikan/mengadopsi/menggunakan sistem shalat
dalam seluruh aktivitas ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan
dan keamanan (ipoleksosbudhankam)nya (mendirikan/aqimish shalat mencegah
kerusakan dan kemungkaran); mampu mengendalikan (puasa/shiyam) dan
mendistribusikan (lung-lung, weh-weh, memberi) seluruh potensi kemampuannya ke dalam beragam
sektor kehidupan (perdagangan/bai'un (modal, barang, jasa) , pertemanan/khullatun,
pertolongan (pinjaman/pelunasan hutang) /syafa'ah); telah sedang akan
mampu mengelola dan menyalurkan (lung-lung, weh-weh, memberi) zakat (shadaqah,
infaq, pemberian, fai)nya sabagai bagian kecil dari potensi kemampuannya
kepada yang berhak fakir, miskin, amil, gharim, muallaf, riqob,
sabilillah dan ibnu sabil (seperti person-person tercantum dalam kata
shadaqah, infaq dll); baru kemudian mendaftarkan wisuda sarjana haji ke
Mekkah karena aktivitas lung-lung, weh-weh, memberi yang telah optimal
dijalankannya, sehingga telah ka-aji/kaji di lingkungannya dan layak
menjadi haji.
Demikiankah
para CJH dan para haji itu saat ini ? Belum, dimana hal ini ditunjukkan
secara jelas oleh indikatornya yaitu renten/riba semakin berkembang dan
tidak semakin hilang. Bahkan oleh bank yang berlabel syariah sekalipun. Padahal
Tuhan telah jelas memberikan solusi bagi peredaran riba yang merajalela yaitu
melalui sedekah yang subur dimana-mana. Namun yang terjadi adalah banyaknya
juru tagih (debt collector) bank/lembaga kredit/koperasi yang beredar
dimana-mana menjadi centhengnya dan sedikit sekali orang/lembaga
(termasuk pemerintah) yang melakukan pembelaan dengan sedekahnya bagi terhutang
yang masih kesulitan untuk membayar cicilan yang disepakati.
“Hai orang-orang yang beriman nafkahkan hartamu dari apa yang Aku rizqikan kepadamu
sebelum datang kepadamu satu masa yang tidak ada di dalamnya perdagangan,
pemberdayaan kerja/pertemanan dan pertolongan (mati pen.). Dan orang-orang yang mendustakan (kafir terhadap
adanya perdagangan, pemberdayaan
kerja/pertemanan dan pertolongan) termasuk dalam golongan orang-orang
yang dzalim (QS.2:255)
” Allah menghapuskan
riba dan menyuburkan shadaqah. Dan barang siapa kufur, maka
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang kafir dan membikin
dosa/kesalahan (QS.276).
Person-person dalam shadaqah di
atas yang terdiri dari beberapa kelompok masyarakat antara lain; fakir (orang
yang tak memiliki penghasilan dan pekerjaan seperti pengangguran), miskin (orang
yang memiliki pekerjaan dan penghasilan , namun tidak mencukupi), amil (orang
yang mendapat mandat mengambil dan mendistribusikan shadaqah/zakat yang
dihimpun), muallaf (orang yang bertaubat), riqab (orang yang
ingin memerdekakan dari perbudakan menjadi orang mandiri/usaha mandiri), gharimin (orang yang
mempunyai utang dan kesulitan untuk melunasinya seperti orang yang terlilit
rente bank thithil hingga bank konvensional), sabilillah (orang yang
sedang menjalankan tugas kemasyarakatan seperti pendidik), ibnu sabil
(orang yang dalam perjalanan misalnya musafir, pelajar, mahasiswa)
“Sesungguhnya shadaqah itu bagi orang-orang yang
faqir, orang-orang miskin, orang-orang yang membagikan, orang-orang yang
hatinya tertambat menjadi hamba Tuhan, budak yang ingin merdeka, orang-orang
yang punya utang, orang-orang yang berjuang di jalan Tuhan, dan orang-orang
yang bersafar (QS.10:60)”.
“Mereka bertanya tentang untuk siapa infaq itu. Dan apa-apa yang diinfaqkan dari sesuatu yang baik untuk
kedua orang tuanya, kerabatnya, para yatim, orang-orang miskin dan orang-orang
dalam perjalanan. Dan apa yang baik yang engkau lakukan, maka sesungguhnya
Allah mengetahuinya (QS.2:215)
Dengan demikian menuju naik
haji seharusnya setiap person menjalani lelaku yang terdapat rukun Islam
sebelumnya. Jadi bila seseorang ingin naik haji, sebagaimana terungkap di atas
maka tahapan yang harus ditempuh adalah pertama syahadat dahulu, kedua
mendirikan shalat, ketiga menunaikan zakat, keempat melaksanakan puasa, baru
kelima naik haji.
Lunga! Kaji
Lunga! Kaji merupakan istilah
dalam bahasa Jawa yang diartikan secara umum dengan makna pergi haji (tindak
haji), .Namun jarang sekali yang memaknai lunga ! kaji, sebagai
lafal dan kalimat perintah dari kata kerja bahasa Jawa lung yang artinya memberi dan mendapat khiran
huruf a (ao bhs. Jawa) berbunyi lungo
! yang berarti memberilah ! , maka kaji/keaji/ kajen (dimuliakan/mendapat kemuliaan). Lunga dalam
bahasa Jawa salah satunya berarti weweha (memberilah).
Sangat dalam makna pernyataan Lunga! Kaji di atas, namun masih
dimengerti pada tataran makna harfiah pergi saja dan belum pada makna lelaku
distribusi potensi kepada setiap anggota masyarakat di sekitar calon jamaah
haji. Padahal untuk itu sejatinya untuk menjadi
kaji syaratnya sangat mudah
yaitu lunga ! Lung-lung
(memberi) kepada yang berhak dan berkenan
menerima dan membutuhkan pemberian (lungan) tidak perlu menunggu
waktu yang lama, sekarang pun bisa. Jadi untuk kaji/keaji/kajen,
sekarang pun bisa dan tidak harus menunggu tahun ini,
apalagi 10 tahun yang akan datang.
Dalam
aktivitas lung-lung tidak ada pembatasan apa dan berapa yang
harus dilungkan. Apapun dan berapapun bukan menjadi pembatas
aktivitas ini, bisa uang, beras, barang, pekerjaan, modal, pinjaman, sarana
prasarana, pelunasan hutang dan lain-lain. Sedikit dan banyak bukan menjadi
ukuran untuk melakukan pemberian.
Setidaknya setara dengan kemampuan orang yang melakukan pemberian.
Sedikit boleh. Banyak pun apalagi lebih
boleh. Namun tentunya kepada yang tepat untuk mendapatkan pemberiannya,
sebagaimana tersebut pada ayat al-Qur'an di atas. Terutama tetangga yang lebih
dekat dengan pemberi. Setidaknya 40 (empat puluh) rumah tetangga di sekitar
pemberi.
Untuk itu seorang CJH memang
seharusnya orang yang benar-benar kaya segalanya baik moral maupun
material. Dan menjadi pemimpin
masyarakatnya yang berpegang pada tali Allah, menjadi khalifah dalam khilafah/pemerintahan
bagi masyarakat sekitarnya,setidaknya ketua satu RT dalam wilayahnya misalnya,
jadi setidaknya diri dan keluarganya serta 40 (empat puluh) rumah tetangga di
sekitarnya, menjadi hamba Tuhan yang beriman dan bertaqwa. Haji/kaji adalah
orang yang sudah menjalankan aktifitas lung lung/ weh weh bagi
siapapun yang membutuhkannya. Sehingga dia aji/mulia di
masyarakatnya, walaupun belum haji ke Mekkah. sehingga pada masanya baru
kemudian wisuda haji ke Mekkah setelah
optimal lung lungnya. Menjadi haji adalah menjadi waliullah
yang menguasai suatu wilayah disebut waliul-amri (pemimpin
(ketua/lurah/camat/bupati/gubernur/presiden/raja) pemerintahan (RT, RW,
kelurahan, kabupaten, propinsi, negara, kerajaan), sekaligus waliud-din
yang menguasai tatanan masyarakat, adab, dan budaya dalam kehidupan suatu
masyarakat.Untuk itu gerakkan Lunga! bakal/akan
Kaji.
Pembimbing = wali
Pembimbing sering digunakan untuk memaknai kata wali.
Untuk itu seorang pembimbing haji seharusnya adalah seorang wali. Dan seorang
wali adalah seorang pemimpin/pengayom/ pendidik/tempat bergantung bagi masyarakatnya.
Dengan demikian tidak terlalu salah, bila seorang haji adalah orang yang kaji
dalam masyarakatnya. Orang telah kaji
lunga/pergi ke Mekkah dan tentunya telah menjadi pelaku lunga! / memberilah !, sehingga
masyarakat dan dirinya sendiri yang bisa menilai kelayakannya disebut kaji.
Jadi Menjadi haji adalah menjadi waliullah yang menguasai suatu
wilayah disebut waliul-amri, sekaligus waliud-din yang
menguasai tatanan masyarakat, adab, dan budaya dalam kehidupan suatu
masyarakat.
Kalau menilik dari idealisme
naik haji dan lunga kaji di atas,
maka setiap para pembimbing manasik haji seharusnya menjadi orang-orang
yang memimpin suatu wilayah kewalian setidaknya 40 (empat puluh) tetangga di
sekitarnya , minimal 1(satu RT, apalagi kalau jamaah bimbingannya setiap tahun
100-400 orang, maka banyak orang yang ideal mendapat manfaat dari seorang
pembimbing manasik haji ).
Untuk itulah seharusnya upaya
para pembimbing (pembimbing lho !!) untuk naik
tangga ke haji yaitu melewati
tahap salah satunya adalah aktivitas memberi-memberi /lung-lung/aweh-aweh
antara lain; zakat, shadaqah, infaq, aatal mall. Namun bila yang terjadi
saat ini banyak pembimbing manasik haji yang belum masuk dalam idealisme yang
demikian, tentunya kembali lagi pada pembimbing itu dalam memahami agamanya
dalam aplikasi tuntunan itu ke dalam kehidupannya sehari-hari apakah mereka
pelaku lung-lung itu atau bukan.
Mabrur tidak ke Mekkah
Pada satu kisah diceritakan
bahwa ada seseorang/CJH hendak pergi haji ke Mekkah. Di perjalanan dia
merasakan lapar yang sangat, tiba-tiba mencium bau daging yang sedang dibakar.
Bertambah pula hasratnya untuk menemukan sumber bau sedap daging yang dibakar.
Hingga akhirnya dia menemukan seorang perempuan bersama anak-anaknya sedang
menunggui daging yang dibakarnya matang. Kemudian CJH ini mendekati perempuan
itu dan hendak membeli sebagian daging yang dibakarnya.
Namun ...perempuan itu menolak
menjual maupun memberikannya dengan mengatakan,"daging ini halal bagi
kami, namun haram bagi tuan".
Sang CJH pun bertanya,"Mengapa
engkau melarangku untuk membeli dan memberikannya kepadaku. Aku lapar. butuh
makanan yang aku makan."
"Ya, kami mengetahui kalau tuan lapar dan butuh makanan. Namun
daging ini haram dimakan tuan, tapi halal bagi kami. Kami kelaparan dan tidak
ada uang atau barang yang bisa kami gunakan untuk membeli atau menukar dengan
makanan yang halal. Dan tidak ada orang yang datang memberi kami santunan.
Ketahuilah tuan! daging ini adalah daging bangkai keledai di jalan yang saya
ambil sebagian untuk mengganjal perut kami sementara, agar tidak mati
kelaparan. Karena itu saya
mengatakan," daging ini halal bagi kami, namun haram bagi tuan". jawab
perempuan itu dengan menjelaskan duduk perkaranya.
Mendengar penuturan perempuan
itu, maka CJH itu langsung tersentuh hatinya, kemudian memberikan bekal yang
dibawanya dari rumah menuju ke Mekkah kepada perempuan itu.
Dan akhirnya pada kisah itu
diceritakan bahwa kurang lebih 600000 orang jamaah haji di Mekkah yang
diberitakan para malaikat telah tertolak (mardud) hajinya. Kemudian
menjadi mabrur karena perilaku CJH yang gagal berangkat di atas.
Wallaahu a'lam.
Sarjana haji bukan sarjana manasik
CJH ibaratnya seperti seorang
calon mahasiswa baru yang hendak memasuki perguruan tinggi untuk mendapatkan
titel seorang sarjana, maka tidak cukup dengan hanya membayar uang masuk
perguruan tinggi, kemudian menjadi sarjana. Di samping harus membayar ongkos
masuk perguruan tinggi, dia mendapat keharusan mengikuti perkuliaan yang ada
dan lulus, praktek kerja- praktek kerja sesuai dengan bidang yang diambil,
menulis skripsi pada akhirnya dan lulus ujian skripsinya, baru kemudian sang
calon mahasiswa mendapat gelar sarjana. Sehingga layak mengikuti prosesi wisuda
sarjana. Jadi Sarjana didapatkan bukan
melalui sebuah prosesi wisuda sarjana saja, tetapi melalui proses-proses
(ospek, kuliah, lulus, praktek kerja lapang, lulus, bikin skripsi, diuji,
lulus) di atas.
Demikian juga seharusnya dengan
gelar haji bukan didapatkan
melalui prosesi manasik haji saja seperti yang sering diselenggarakan para
petugas pembimbing manasik haji, tetapi
dilaksanakan oleh seorang warganya
melalui tahapan-tahapan dalam rukun Islam di atas. Sarjana haji bukan
sarjana manasik.
Sehingga dengan demikian
Departemen Agama RI pun tidak kebingungan menyeleksi siapa-siapa yang
telah layak berangkat haji, dan tidak perlu terjadi pemendingan yang sekian
lama, karena masing-masing orang bisa menilai kelayakan dirinya untuk
berangkat wisuda menjadi Sarjana Haji.
Demikian
juga seharusnya pemerintah kerajaan Arab Saudi tak perlu kerepotan merubah
situs-situs bersejarah yang ada.
Haji Hne H mung siji dudu H H H
H HA HA Hi Hi Hi
Haji merupakan gelar yang
sering terpampang di depan nama seseorang yang pada umumnya telah mengikuti
prosesi ritual pergi ke Mekkah, namun apa jadinya bila gelar haji (H) dipampang
di depan nama setiap orang yang pulang haji. Tentu menjadi H H H H H H H Hi Hi Hi Hi Hi Fulan. Laksana
orang tertawa atau keheranan Ha Ha Ha atau Ha ! H ! H !. Namun tidak mungkin seseorang menempelkan H
sebanyak di atas di depan namanya, karena tentu akan menggelikan dan
ditertawakan. Untuk itulah mengapa
haji cukup dilakukan sekali saja. Walaupun mungkin bisa dikerjakan berkali-kali
(dengan alasan menjadi pembimbing sekalipun, karena Hnya prosesi upacara
pengukuhan H1 (satu/siji) saja), namun gelar yang terpampang Hnya h-nya satu
saja. H. Bukan H H H H H atau Ha Ha Ha Ha atau Hi Hi Hi Hi.
PENUTUP
Lunga
! kaji. Merupakan kalimat yang secara samar terungkapkan sebagai sebuah
perintah kepada setiap orang untuk peduli menjaga keberimbangan kehidupan alam
menutupi yang kurang dan mendistribusikan yang berlebih, sehingga menjadi
sebuah sistem yang dinamis mengikuti qadha dan qadar/sunnatullah dan dinullah.
Ini merupakan karunia pemahaman yang diberikan Tuhan kepada siapa saja
hambaNya yang dikehendaki untuk membuka kembali pemahaman-pemahaman dan mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari dalam penghambaannya kepada Tuhan. Dengan pemahaman di atas untuk kaji
tidak perlu menunggu tahun ini apalagi 10 (sepuluh) tahun yang akan datang.
Sekarang pun kita bisa LUNGA! Dan ... Kaji.
Yen pingin
kaji/keaji/diajeni mangka Lunga! Piro wae saiki uga sing mbok LUNG ke marang
wong kang butuhake, mangka slirane yo bakal Kaji. Lan PING piro wae slirane budhal lunga menyang
Mekkah, mangka gelar hajinira hamung siji. Haji hane hamung siji. Dudu H H H H
dadi kaya wong kang ngguyu lan nggeguyu Ha Ha Ha Ha Ha Ha Ha!!! (Kalau menginginkan dimulyakan, maka memberilah! Berapapun
dan sekarang juga anda memberikannya kepada orang membutuhkannya, maka anda
pasti mulya. Dan berapakalipun anda bepergian ke Mekkah untuk haji, maka gelar
haji anda pun Hnya satu saja. Haji Hnya Hnya satu. Bukan H H H H
sehingga seperti orang tertawa dan menertawakan Ha Ha Ha Hi Hi !!!
Oleh MD. Abduh
Pondok Kuningan
Tawangsari Garum Blitar Jatim Indonesia 081358139029