Peringatan maulid nabi kali ini, aku hanya mengurung diri di kamar
sempit. Bermain dengan kesendirian bisu yang tak kunjung aku nikmati. Berbeda
dengan sebelumnya, dimana aku masih bergelut dengan berbagai animo refleksitas
di lapangan, organisasi, komunitas ku ajak teman-teman, sekelompok kawan untuk
duduk melingkar, bersila, menikmati kekhusukan hati dengan bersama-sama
melantunkan shalawat nabi. Al-barjanzi, Shalawat Burdah dan lain-lain. Diiringi
hadrah, sejenis alat rebana yang biasanya digunakan untuk mengiringi lagu-lagu
shalawat atau dalam suatu kebudayaan masyarakat, hadrah juga dipakai untuk ngarak
orang sunatan atau upacara perkawinan.
Biasanya, satu sampai dua jam kami Diba’an. Setelah itu dilanjutkan
dengan makan-makan, cangkru’an sejenak sambil kebal-kebulDji Sam Soe.
Sesederhana inilah kami meluapkan cinta kami kepada Rasulullah. Kami belum
mampu mencapai maqam tinggi dimana segala refleksi hidup sesungguhnya sudah
dicontohkan Nabi kepada umatnya, dimana umat islam harus mengeksekusi contoh
perilaku nabi untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, aku
hanyalah berandal yang hanya bisa berceloteh siang dan malam tanpa tahu apa
sesungguhnya yang kucelotehkan itu.
Anta Syamsun Anta Badrun kau adalah matahari dan rembulan. Hatiku gemetar mendengar lantunan
itu. dalam arti sesungguhnya, tak akan padam sinar matahari menerangi dunia.
Begitu rupa kita disinari oleh cahaya wahyu yang Tuhan titipkan pada Muhammad.
Sinar akhlak, ilmu pengetahuan, rahasia semesta, juklak kehidupan yang hakiki
hingga hitungan matematis tentang rahasia Tuhan yang begitu luas bak samudra.
Namun sinar Muhammad seakan pudar oleh kenistaan diri kita sendiri. Kita bangga
dan mengagung-agungkan beliau, tapi menguburnya hidup-hidup dalam teks sejarah.
Pujian kita lantunkan, tapi legitiminasi nilai moral kita sampingkan.
Tak apalah, aku hanya manusia awam yang belum bisa sepenuhnya
mengambil sikap tegas untuk meneladani cara hidup Nabi. Yang aku bisa hanyalah
selalu melantunkan pujian kepadanya, bershalawat untuknya. Ya rabbi shalli
ala Muhammad ya rabbi salli ala’hi wasallim.
Kelantunkan dalam kesendirian shalawat diba’ itu dengan hembusan
angin malam dan suara derik pintu. Tak ada keramaian apalagi sorak gemontang
kebersamaan. Hampa sekali namun sangat menyayat. Hening namun tenang. Aku
mengandai-ngandai bergelayut di pangkuan Rasulullah (emange aku sopo kok
enake dipangku Nabi).
Namun, suasana yang penuh dengan komtemplasi itu hilang tatkala
corong, speaker masjid sebelah berdentum keras seakan tak mau tahu. Kudengar
beramai-ramai orang melantunkan shalawat diba’. Dipimpin seorang ustadz yang
lembut suaranya. Iringan serta alunan hadrah menyertai berbagai macam lagu
shaalawat. Gegap gempita asma rasul dikumandangkan. Shallu ‘ala
nabiiii Muhammad.
Para aktivis masjid maupun takmir seharusnya mempertimbangkan
aturan teknis dalam beribadah. Terlebih perangkat pendukung seperti tape,
speaker dan perangkat yang lain. Karena itu akan mendukung sarana dakwah.
Siapapun yang mendengar lantunan shalawat dengan kualitas mic, speaker yang
sudah reyot, telinga rsanya gatal. Eman-eman suara ustadz yang sangat indah itu
laksana blek diseret. Mbok ya beli sound yang lebih bagus, mahal ndak
masalah asal maslahah. Apalagi speaker masjid itu didengar orang banyak,
masyarakat luas.
Malang, Januari 2013