Kamis, 07 Juni 2012


Kuliah yes + organisasi yes = Selingan
Oleh : Andri Kurniawan*

Dikalangan teman-teman aktivis, bukan aktivis akademis melainkan aktivis organisatoris tertimbun satu ideologi klasik yang menjadi satu eksistensi dari keberadaan mereka. Eksistensi dengan dalih ideologi ini menjadi pola fikir yang tidak bisa dilepaskan dari sudut vertikal maupun horizontal. Ketika dihapkan pada sistem kaku, kolot, ideologi ini muncul sebagai bentuk pembrontakan dan perjuangan untuk melawan sistem kolot itu. Entah, aku juga tak bisa memberi representasi secara komperehensif mengapa aku menyebutnya sebagai ideologi. Yang kupahami adalah bahwa ketika manusia dihantam pada sebuah dinamika sosial, maka yang pertama berkehendak untuk bergerak apa dan bagaimana adalah dari pola fikir, metodologi pemikiran yang disebut dengan ideologi. Sek-sek, mungkin bukan ideologi tepatnya, mungkin “prinsip” lebih mendekati.
Jika konco-konco aktipis (kata orang sunda) membuat frame pemikiran akan bentuk eksistensi mereka, maka poro konco akademis juga tak kalah. Ingat, subyek dinamika sosial kampus mung terbagi menjadi dua. Aktivis akademis dan aktivis organisatoris. Selain itu tidak ada, jika ada yang ngaku-ngaku menjadi aktivis akademis sekaligus organisatoris anggap saja itu selingan, guyonan, nylempit diantara demikian banyaknya sample yang ada.
Ibarat reog ponorogo, sosok duo simbolik patriotik antara macan dan merak. Jika ada macan dibawah, ingatlah juga masih ada merak diatas. Begitupun duo aktivis ini, jika di depan ada aktivis akademis, jangan lupa bahwa dibelakang juga nongol, nyantol konco-konco  aktivis organisatoris. Semua sudah diciptakan dengan berpasang-pasangan.
Wes, kembali ke prinsip. Anda tahu kisah seorang kyai mbeling dari jombang emha ainun nadjib, tahu juga kan kisah heroik pahlawan pluralisme almarhum Gus Dur, atau juga ilmuwan cerdas Albert einstein. Kabar-kabarnya, mereka bertiga ini (hanya sample saja) melawan kekakuan-kekauan dunia pendidikan dengan malas sekolah, emoh mengerjakan tugas, sering mbolos, mencari ilmu dengan sinau yang mereka atur sendiri. Menggelandang, mbambung ditempat-tempat sepi, bergumul dengan banyak macam orang, bergelut dengan permasalahan-permasalah internal dan eksternal, membaca buku-buku “berat” yang tidak ada di kelas dan segala kembelingan lainnya. Yang mereka lakukan ini adalah ingin menggelitik kekakuan-kekakuan yang sudah membudaya di kelas. Hanya mendengarkan guru ceramah, mengerjakan tugas, ya itu-itu saja. Bagi mereka ini tidak mencerdaskan dan tidak membuat siswa menjadi cerdas, malah membuat siswa semakin tertata kebodohannya. Maka tak heran mereka memberontak dengan cara demikian. Nah, demikianlah bagaimana arek-arek aktivis organisatoris memandang kuliah. Maka sangat aneh dan nyleneh jika ada aktivis organisatoris lulus kuliah dengan waktu tepat empat tahun. Jika pun ada, lagi-lagi anggap saja itu selingan, guyonan, nylempit diantara demikian banyaknya sample yang ada. Hehe…
Pun kebalikan dari aktivis akademis, kuliah menjadi titik sentral, menjadi pagar besi yang tidak boleh diterobos. Kuliah menjadi sandangan kewajiban, yang tak bisa diganggu dengan apa saja. Diganggu saja tidak boleh apalagi digugat. Dalam fiqh, ini adalah kewajiban fardhu yang gak oleh diusik dengan hal-hal yang bersifat sunnah. Kulaih itu wajib, organisasi itu sunnah.
Seorang kawan nyletuk “oalah-oalah, mengapa harus ada dualisme. Satu berkutat dengan kuliaaaaaah saja, satunya lagi berkutat dengan organisasi. lha terus gimana nasibnya model orang yang kayak aku. Aku kan moderat, kuliah iya, organisasi juga iya”.
            “nggak usah bingung, anggap saja dirimu itu selingan, guyonan, yang nylempit diantara banyaknya sample yang ada “sambut yang lain.
*Ketua Senat Mahasiswa
Fakultas Humaniora dan Budaya

Malang, Juni 2012