Oleh : Andri
Kurniawan*
Dikalangan
teman-teman aktivis, bukan aktivis akademis melainkan aktivis organisatoris
tertimbun satu ideologi klasik yang menjadi satu eksistensi dari keberadaan
mereka. Eksistensi dengan dalih ideologi ini menjadi pola fikir yang tidak bisa
dilepaskan dari sudut vertikal maupun horizontal. Ketika dihapkan pada sistem
kaku, kolot, ideologi ini muncul sebagai bentuk pembrontakan dan perjuangan
untuk melawan sistem kolot itu. Entah, aku juga tak bisa memberi representasi
secara komperehensif mengapa aku menyebutnya sebagai ideologi. Yang kupahami
adalah bahwa ketika manusia dihantam pada sebuah dinamika sosial, maka yang
pertama berkehendak untuk bergerak apa dan bagaimana adalah dari pola fikir,
metodologi pemikiran yang disebut dengan ideologi. Sek-sek, mungkin
bukan ideologi tepatnya, mungkin “prinsip” lebih mendekati.
Jika
konco-konco aktipis (kata orang sunda) membuat frame pemikiran akan
bentuk eksistensi mereka, maka poro konco akademis juga tak kalah. Ingat,
subyek dinamika sosial kampus mung terbagi menjadi dua. Aktivis akademis
dan aktivis organisatoris. Selain itu tidak ada, jika ada yang ngaku-ngaku
menjadi aktivis akademis sekaligus organisatoris anggap saja itu selingan, guyonan,
nylempit diantara demikian banyaknya sample yang ada.
Ibarat
reog ponorogo, sosok duo simbolik patriotik antara macan dan merak. Jika ada
macan dibawah, ingatlah juga masih ada merak diatas. Begitupun duo aktivis ini,
jika di depan ada aktivis akademis, jangan lupa bahwa dibelakang juga nongol,
nyantol konco-konco aktivis
organisatoris. Semua sudah diciptakan dengan berpasang-pasangan.
Wes,
kembali ke prinsip. Anda tahu kisah seorang kyai mbeling dari jombang emha
ainun nadjib, tahu juga kan kisah heroik pahlawan pluralisme almarhum Gus Dur,
atau juga ilmuwan cerdas Albert einstein. Kabar-kabarnya, mereka bertiga ini
(hanya sample saja) melawan kekakuan-kekauan dunia pendidikan dengan malas
sekolah, emoh mengerjakan tugas, sering mbolos, mencari ilmu dengan sinau yang
mereka atur sendiri. Menggelandang, mbambung ditempat-tempat sepi, bergumul
dengan banyak macam orang, bergelut dengan permasalahan-permasalah internal dan
eksternal, membaca buku-buku “berat” yang tidak ada di kelas dan segala
kembelingan lainnya. Yang mereka lakukan ini adalah ingin menggelitik
kekakuan-kekakuan yang sudah membudaya di kelas. Hanya mendengarkan guru
ceramah, mengerjakan tugas, ya itu-itu saja. Bagi mereka ini tidak mencerdaskan
dan tidak membuat siswa menjadi cerdas, malah membuat siswa semakin tertata
kebodohannya. Maka tak heran mereka memberontak dengan cara demikian. Nah,
demikianlah bagaimana arek-arek aktivis organisatoris memandang kuliah. Maka
sangat aneh dan nyleneh jika ada aktivis organisatoris lulus kuliah dengan waktu
tepat empat tahun. Jika pun ada, lagi-lagi anggap saja itu selingan, guyonan,
nylempit diantara demikian banyaknya sample yang ada. Hehe…
Pun
kebalikan dari aktivis akademis, kuliah menjadi titik sentral, menjadi pagar
besi yang tidak boleh diterobos. Kuliah menjadi sandangan kewajiban, yang tak
bisa diganggu dengan apa saja. Diganggu saja tidak boleh apalagi digugat. Dalam
fiqh, ini adalah kewajiban fardhu yang gak oleh diusik dengan hal-hal yang
bersifat sunnah. Kulaih itu wajib, organisasi itu sunnah.
Seorang
kawan nyletuk “oalah-oalah, mengapa harus ada dualisme. Satu berkutat dengan
kuliaaaaaah saja, satunya lagi berkutat dengan organisasi. lha terus gimana
nasibnya model orang yang kayak aku. Aku kan moderat, kuliah iya, organisasi
juga iya”.
“nggak usah bingung, anggap saja dirimu itu selingan, guyonan,
yang nylempit diantara banyaknya sample yang ada “sambut yang lain.
*Ketua Senat
Mahasiswa
Fakultas
Humaniora dan Budaya
Malang, Juni 2012