Malang pada (11/05/2012) benar-benar seperti mendapat
durian runtuh. Seakan tidak percaya dengan apa yang benar-benar terjadi pada
malam itu. Disaksikan ratusan mungkin ribuan orang menyambut kedatangan Sri
Sultan Hamengku Buwono X di jalan ijen tepatnya di perpus kota Malang.
Kedatangan Sri Sultan ini membawa aroma baru terhadap era kepemimpinan era
modern yang mengangungkan republic sebagai system dari pada kerajaan sebagai
manuver baru untuk memperbaiki kondisi bangsa. Kepemimpinan Sri Sultan yang berpusat
di Ngayogyokarto adalah model monarki, sistem kerajaan utuh yang tidak dapat
diintervensi oleh apapun, bahkan oleh Negara sekalipun. Kerajaan ini mempunyai
otonomi independen untuk mengatur, membangun, dan mensejahterakan masyarakatnya
sendiri. Presiden hanya bisa pakewuh, sungkem, dan andhap ashor jika
sudah masuk wilayah Ngayogyokarto ini.
Penyambutan silaturahmi ini dikonsep dengan sebuah
dialog, mengambil tema tentang “kebudayaaan jawa” mengejawentahkan kepemimpinan
jawa dalam era modern. Narasumber utama dalam dialog ini tentunya Sri Sultan
Hamengku Buwono sendiri dengan Wali Kota Malang KRHT Peni Suparto Adhi Negoro.
Di hadiri oleh KPS (Komunitas Pecinta Seni) Malang Raya, para budayawan,
akademisi, dan masyaarakat kota bunga sendiri tentunya.
Dalam
dialog tersebut, Sri Sultan memberi satu konsep kepemimpinan jawa yang sampai
hari ini jarang sekali di sinauni oleh pemimpin bangsa saat ini. Bahwa
dalam tradisi jawa pemimpin itu harus mempunyai yang namanya Tri sakti Brata.
Pertama, Rahayuning Bawono Pramubo Ning Waskito yaitu sesungguhnya
manusia hidup di alam sejatinya harus rukun dengan alam. Alam adalah satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari urgensi kehidupan manusia. Jika
manusia tidak bisa bersahabat, inferioritas terhadap alam, maka siap-siaplah
alam yang akan membalas kelakuan manusia. Bumi adalah harapan yang bisa membuat
manusia bisa hidup. Bumi bukanlah dikuasai untuk kesejahteraan manusia, tapi
bumi harusnya dipelihara demi seimbangnya ekosistem yang ada.
Kedua,
Darmaning Manungso. Adalah keniscayaan yang hak bagi manusia untuk
mempunyai hubungan harmonis diantara sesama. Sri Sultan memberikan contoh yang
jelas, bahwa manusia dihadapan sesama manusia harus mengedepankan keterpujian
akhlak, kejujuran dalam bersosial, menolong diantara sesama, hormat, saling menghargai dan segala apa-apa yang menjadi moralitas
kebaikan. Manusia di alam ini hanya mempunyai dua kewajiban. Pertama,
mengagungkan asma Tuhan dan yang kedua berkemanusiaan.
Ketiga, Rahayuning
Manungso Dumadi Soko Rumangsane. Pada intinya adalah manusia berkewajiban
untuk berperilaku secara normatif, berperikemanusiaan terhadap sesama. Juga
dilandasi ketakwaan dan mengagugkan asma Tuhan yaitu Allah swt.
Seperti inilah syarat
wajib yang hrus dipunyai pemimpin dalam filosofi jawa. Pemimpin menurut Sri
Sultan adalah mereka yang ikhlas mengabdi kepada rakyatnya sekalipun rakyatnya
menaruh kebencian dan tidak suka kepada pemimpinnya. Juga simbolisasi pemimpin
yang dicari adalah hakikat hidupnya bukan dari keduniawiannya.
Sri
Sultan juga menegaskan, bahwa ada tiga hal yang dijaga dari hamengku Buwono I
hingga sekarang. Yaitu merah putih[1],
pancasila, dan Bhineka Tunggal Ika.
Tari Topeng |
Dialog kebudayaan juga ini
diramaikan dengan penampilan tari topeng oleh pecinta kesenian Malang.
Malang,
13 Mei 2012
02.00
Wib Dini Hari
[1]
Sri Sultan tidak menyebut NKRI, tapi
beliau lebih menyebut pada Merah Putih. Karena jika yang dibicarakan adalah
NKRI maka itu sudah memasuki wilaya politik, bukan kebudayaan. Maka,
representasi merah putih menurut Sri sultan adalah satu komposisi utuh tentang
kebudayaan yang harus dijaga.