Minggu, 13 Mei 2012

Sri Sultan Hamengku Buwono X ; Pemimpin itu harus ber- Tri Sakti Brata


   Malang pada (11/05/2012) benar-benar seperti mendapat durian runtuh. Seakan tidak percaya dengan apa yang benar-benar terjadi pada malam itu. Disaksikan ratusan mungkin ribuan orang menyambut kedatangan Sri Sultan Hamengku Buwono X di jalan ijen tepatnya di perpus kota Malang. Kedatangan Sri Sultan ini membawa aroma baru terhadap era kepemimpinan era modern yang mengangungkan republic sebagai system dari pada kerajaan sebagai manuver baru untuk memperbaiki kondisi bangsa. Kepemimpinan Sri Sultan yang berpusat di Ngayogyokarto adalah model monarki, sistem kerajaan utuh yang tidak dapat diintervensi oleh apapun, bahkan oleh Negara sekalipun. Kerajaan ini mempunyai otonomi independen untuk mengatur, membangun, dan mensejahterakan masyarakatnya sendiri. Presiden hanya bisa pakewuh, sungkem, dan andhap ashor jika sudah masuk wilayah Ngayogyokarto ini.

            Penyambutan silaturahmi ini dikonsep dengan sebuah dialog, mengambil tema tentang “kebudayaaan jawa” mengejawentahkan kepemimpinan jawa dalam era modern. Narasumber utama dalam dialog ini tentunya Sri Sultan Hamengku Buwono sendiri dengan Wali Kota Malang KRHT Peni Suparto Adhi Negoro. Di hadiri oleh KPS (Komunitas Pecinta Seni) Malang Raya, para budayawan, akademisi, dan masyaarakat kota bunga sendiri tentunya.
            Dalam dialog tersebut, Sri Sultan memberi satu konsep kepemimpinan jawa yang sampai hari ini jarang sekali di sinauni oleh pemimpin bangsa saat ini. Bahwa dalam tradisi jawa pemimpin itu harus mempunyai yang namanya Tri sakti Brata. Pertama, Rahayuning Bawono Pramubo Ning Waskito yaitu sesungguhnya manusia hidup di alam sejatinya harus rukun dengan alam. Alam adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari urgensi kehidupan manusia. Jika manusia tidak bisa bersahabat, inferioritas terhadap alam, maka siap-siaplah alam yang akan membalas kelakuan manusia. Bumi adalah harapan yang bisa membuat manusia bisa hidup. Bumi bukanlah dikuasai untuk kesejahteraan manusia, tapi bumi harusnya dipelihara demi seimbangnya ekosistem yang ada.
            Kedua, Darmaning Manungso. Adalah keniscayaan yang hak bagi manusia untuk mempunyai hubungan harmonis diantara sesama. Sri Sultan memberikan contoh yang jelas, bahwa manusia dihadapan sesama manusia harus mengedepankan keterpujian akhlak, kejujuran dalam bersosial, menolong diantara sesama, hormat, saling menghargai dan segala apa-apa yang menjadi moralitas kebaikan. Manusia di alam ini hanya mempunyai dua kewajiban. Pertama, mengagungkan asma Tuhan dan yang kedua berkemanusiaan.
            Ketiga, Rahayuning Manungso Dumadi Soko Rumangsane. Pada intinya adalah manusia berkewajiban untuk berperilaku secara normatif, berperikemanusiaan terhadap sesama. Juga dilandasi ketakwaan dan mengagugkan asma Tuhan yaitu Allah swt.
            Seperti inilah syarat wajib yang hrus dipunyai pemimpin dalam filosofi jawa. Pemimpin menurut Sri Sultan adalah mereka yang ikhlas mengabdi kepada rakyatnya sekalipun rakyatnya menaruh kebencian dan tidak suka kepada pemimpinnya. Juga simbolisasi pemimpin yang dicari adalah hakikat hidupnya bukan dari keduniawiannya.
          Sri Sultan juga menegaskan, bahwa ada tiga hal yang dijaga dari hamengku Buwono I hingga sekarang. Yaitu merah putih[1], pancasila, dan Bhineka Tunggal Ika.  

Tari Topeng
  Begitupun pula dengan wali kota Peni Suparto, Peni juga mempunyai satu konsep yang luhur tentang kepemimpinan dalam jawa yang tidak ada dalam filosofi kepemimpinan di bangsa manapun. Peni yang juga dianggap sebagai keturunan darah biru ini menjelaskan bahwa ada tiga yang harus dipatrikan dalam sanubari pemimpin jika berkuasa. Pertama, Rumongso melu handar Beri. Merasa ikut memiliki. Kedua, Wani Ngrumpeki. Berani untuk membela dengan tulus dan ikhlas. Ketiga, Mulah Sarino Angroso Wani. Mawas diri dalam mengerjakan apapun dengan kebenaran yang objektif. Mengedepankan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi.
            Dialog kebudayaan juga ini diramaikan dengan penampilan tari topeng oleh pecinta kesenian Malang.  

Malang, 13 Mei 2012
02.00 Wib Dini Hari
             


[1] Sri Sultan tidak menyebut NKRI, tapi beliau lebih menyebut pada Merah Putih. Karena jika yang dibicarakan adalah NKRI maka itu sudah memasuki wilaya politik, bukan kebudayaan. Maka, representasi merah putih menurut Sri sultan adalah satu komposisi utuh tentang kebudayaan yang harus dijaga.