"Itu Refleksi Ketakutannya Sendiri Terhadap
Mitologi Jawa"
Logika pewayangan dan
mitologi Jawa tak mudah dicerna semua orang. Tapi tetap menarik untuk dikaji.
Apalagi jika diucapkan oleh seorang figur sentral republik, Presiden
Soeharto—yang memang kental dengan idiom Jawa. Saat menyambut pada ulang tahun
Golkar di Jakarta, pekan lalu, Pak Harto menyitir kekuasaan ala Jawa: lengser
keprabon, madheg pandito. Ini sebuah isyarat suksesi khas keraton: jika tak
lagi berkuasa, maka berdiri tegak sebagai begawan.
Siapa pun rasanya ingat, Pak Harto selalu mengucapkan kata-kata
penting menjelang Sidang Umum MPR yang akan berlangsung Maret tahun depan.
Menurut Cak Nun --panggilan akrab Emha Ainun Nadjib, cara itu sudah dua kali
dilakukan oleh Pak Harto. Pertama, ketika ia meminta kepada para dalang untuk
mementaskan lakon Semar, yang menjadi perlambang dari kekuasan rakyat.
"Pada saat rakyat akan marah dan Semar akan membangun kayangan itulah Pak
Harto mendahuluinya, ia menciptakan sendiri Semarnya, lewat para dalang,"
ujarnya.
Mengapa bisa begitu? Menurut kiai mbeling yang
bisa ditemui setiap malam purnama tanggal 15 Jawa, di Menturo, Jombang, Jawa
Timur ini, "Pak Harto ketakutan dengan keberadaan mitologi kekuasaan Jawa
yang ia percayai sendiri. Apalagi Pak Harto harus membayar hutang kepada
rakyat. Itulah yang membuatnya tidak mau lengser keprabon. Padahal,
rakyat Indonesia itu sangat pemaaf, kalau Pak Harto bayar hutangnya hanya 25 persen,
pasti rakyat akan memaafkannya," ujar Emha.
Lalu, bagaimana memahami makna politis di balik ucapan Pak Harto
itu? Berikut wawancara Edy Budiyarso dari TEMPO Interaktif dengan Emha
Ainun Nadjib, 44 tahun, budayawan yang juga suami artis Novia Kolopaking,
seusai acara Dialog Publik Tentang Tanggung Jawab Kemanusian Setiap Warga
Negara, di Panti Trisula Menteng, Jakarta Pusat, yang juga disambung lagi
wawancara lewat telepon.
Berikut petikannya:
Apa makna pernyataan Pak Harto tentang pergantian
kekuasaan dengan cara lengser keprabon?
Pak
Harto itu mau menghilangkan mitologi kekuasaan Jawa, dan itu sudah terjadi dua
kali. Ibaratnya ia memegang petir, itu dalam rangka mendekonstruksi mitologi
politik Jawa. Pertama, kasus permintaan kepada para dalang untuk melakonkan
Semar. Dalam tradisi Jawa itu ada sebab akibat. Ketika raja berbuat salah
sampai derajat tertentu, berdasarkan logika wayang, maka Semar akan marah.
Semar naik ke kayangan dan memarahi Bethara Guru karena Bethara Guru dianggap
kurang bisa mengatur. Bethara Guru itu kan adik Semar. Jadi, Semar itu lebih
berkuasa ketimbang Bethara Guru, atau dengan kata lain rakyat lebih berkuasa
dari pada presiden. Nah, pada saat rakyat akan marah dan Semar akan membangun
kayangan inilah Pak Harto mendahuluinya, ia menciptakan sendiri Semarnya, lewat
para dalang wayang kulit. Itu dalam soal Semar.
Sekarang ini, seharusnya dalam kondisi lengser
keprabon, buat Pak Harto. Ia seharusnya sudah Pendita, ia harus
memurnikan rohani dan merdeka dari struktur sosial karena ketika menjadi raja,
ia mengumpulkan materi. Karena Pak Harto tahu, ia menghadapi kondisi seperti
itu, maka ia didahului lagi dengan lengser keprabonnya.
Mengapa?
Itu refleksi dari ketakutannya sendiri terhadap
mitologi-mitologi Jawa yang memang ia percaya. Dengan itu, seolah-olah ia sedang
meminta ijin kepada Sang Hyang Murbeng Dumadi (Tuhan Yang Maha Esa). Ia minta
izin, karena dia merasa sudah waktunya lengser keprabon, jadi
bukan salahnya sendiri kalau ada orang mencalonkannya. Padahal yang mencalonkan
itu kan dirinya sendiri. Dia ingin menciptakan lakon di mana seolah-olah dia
diminta oleh rakyat, dia ingin meyakinkan dirinya bahwa dia diminta oleh rakyat
lewat MPR yang pada hakekatnya itu adalah kehendaknya sendiri. Itu yang saya
katakan dengan mengeliminir simbol-simbol Jawa.
Saya kira kalau ini sekedar mitologi kekuasaan
Jawa, ini masih bisa dihilangkan. Padahal, selain konsep kekuasaan dalam
mitologi Jawa, ada juga kekuatan-kekuatan natural dan transendental yang pada
saatnya nanti tidak bisa dibatasi oleh manusia. Seperti umur dan segala macam,
baik yang datang dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya.
Pak Harto sendiri meminta Golkar untuk mengkaji
ulang dukungan rakyat kepada dirinya, apa ini bukan langkah bijaksana?
Itu kan dialog dramanya, sinetronnya seperti
itu. Jadi diciptakan suatu adegan bahwa partai terbesar ini meyakinkan bapaknya
bahwa rakyat itu memang masih menghendaki. Tetapi, itukan cuma adegan saja.
Jadi Anda melihat permintaan Pak Harto kepada
Golkar itu hanya "dagelan" saja?
Ini satu dagelan yang sangat serius dan sangat berbahaya.
Bahayanya?
Saya kira hati nurani Pak Harto sendiri juga
tidak mau seperti itu, nurani Harmoko, dan semua anggota MPR itu tahu hal itu,
apalagi rakyat pasti tahu. Kalau rakyat dengan lugu memilih Pak Harto, itu
karena selama ini rakyat menjadi obyek mobilisasi yang sangat panjang. Selama
tiga puluh tahun dan rakyat tidak memiliki akses informasi politik formal dari
kekuasaan. Jadi sama halnya pilihan rakyat yang lugu itu dengan Tarzan yang
biasa di hutan, lantas kita menuntut ia sama seperti anak sekolah. Bahayanya,
kebusukan dan kebohongan itu kan ada batasnya, ada usianya, ada masa senjanya.
Entah ledakan atau jenis kematian apa yang nanti akan terjadi dan pasti
terjadi.
Anda yakin kalau tragedi yang menimpa bangsa itu
sebagai peringatan dari kekuasaan Tuhan?
Kalau kita lihat acara dialog kemanusian, di
mana energi kita pergunakan untuk berpuas-puas diri menggugat ini menggugat
itu. Seharusnya energi untuk itu tidak boleh banyak-banyak, maksimal 25 persen
saja. Sedangkan sisa energi kita sebanyak 75 persen itu kita pergunakan untuk
mempersiapkan kondisi di mana tidak ada lagi Pak Harto. Karena sekarang ini
semua kelompok pro-demokrasi itu belum sinergi, belum siap dengan kesebelasannya.
Kesebelasan yang saya maksud itu bukan sekedar koalisi kepemimpinan saja,
termasuk psikologi hubungan politik antar kelompok di masyarakat ini tidak
kondusif untuk menyongsong perubahan yang mendasar.
Kelompok mana saja yang Anda maksud?
Partai politik, Ormas, bisa perbedaan-perbedaan
visi, suku, agama dan lainnya. Semua kelompok itu saya lihat belum siap, karena
komandan-komandannya juga belum siap, masih jalan sendiri-sendiri.
Anda kurang percaya kepada lokomotif demokrasi
seperti Gus Dur, Megawati dan Amien Rais?
Saya percaya kepada mereka. Tetapi, mengapa
mereka selalu tidak kompak? Padahal kalau kita bertanya kepada mereka, toh
jawabannya relatif sama, mereka setuju kelaliman itu harus dilawan. Kenapa
mereka sampai tidak bisa membentuk kesebelasan di antara mereka sendiri. Dalam
pandangan saya, mereka-mereka itu memang memiliki visi yang kosmopolitan yang
mempertimbangkan nasionalisme, hanya saja pijakan mereka masih golongan.
Ibaratnya, pikiran mereka sudah merdeka namun
kakinya yang belum merdeka. Misalnya saja Gus Dur, ia sangat kosmopolitan,
demokratis dan progresif dalam Forum Demokrasi, itu kepalanya Gus Dur.
Sedangkan kaki Gus Dur masih berpijak di NU, di mana dia harus tawar-menawar
dengan Tutut, menyodorkan nama-nama untuk bisa menjadi calon anggota MPR, yang
ternyata tidak digubris satu pun oleh Tutut. Saya tidak menyalahkan hal itu,
tetapi meletakkan diri dalam pijakan yang primordial itu membuat sulit
melangkah.
Maka, saya pribadi tidak mau meletakkan diri
dalam satu golongan. Kecuali hanya menjadi suporter saja. Menjadi suporter pun
sudah langsung diklaim masuk ke dalam satu kelompok, karena semua orang itu
bersikap posesif, selalu beranggapan itu anak sendiri. Jadi selalu ada
klaim-klaim primordial di mana-mana, kalau ada yang independen tidak ada
temannya. Contohnya saya saja, sayangerewangi (membantu) PPP
disebut saya orang PPP, saya ikut mendorong truk, kok disebut penumpang truk,
kan tidak begitu.
Menurut Anda, mengapa lokomotif demokrasi kita
tidak berjalan dengan cepat di Indonesia?
Kita telah lama mengalami kekalahan kolektif,
misalnya visi demokrasi, pemahaman agama yang benar, visi mengenai kebudayaan
yang kosmopolitan itu tidak sempat kita tanam dalam-dalam sampai berakar.
Semuanya itu rusak karena sebentar-sebentar dihantam badai dan diinjak-injak
orang. Seperti diskusi Dialog Kemanusian, itu kan seperti perahu di
tengah-tengah laut yang tidak lama kemudian kita akan berganti kapal, dan kita
menghadapi kenyataan yang sama pula. Toh dialog seperti itu pernah terjadi pada
tahun 1974, bisa terjadi pada tahun 1980. Jadi peletakan waktu, periodisasinya
tidak kontinyu dan tidak dengan kesadaran yang konstan.
Misalnya, sebut saja Permadi. Ia itu kan orang
yang sangat naluriah, bagus ide-idenya tetapi spontan. Itu saya anggap sikap
politik yang instan dan kita tidak bisa terus menerus seperti itu, kalau kita
menginginkan perubahan politik yang mendasar.
Mungkinkah dukungan kepada Pak Harto akan
bergulir melalui doa politik dan kebulatan tekad dari umat Islam?
Kalau permintaan dukungan kepada umat Islam, itu
sudah pasti akan ada. Tetapi saya tidak akan ikut dalam dukung-mendukung Pak
Harto. Di Monas saja (saat berlangsung takbir masal), sudah saya katakan bahwa
kita jangan terlalu kejam-kejam kepada Pak Harto, karena beliau itu sudah tua, mbok dikasih
kesempatan untuk hidup bebas. Jangan diberi tugas berat terus. Itu yang saya
katakan, tetapi toh tidak ada satu media massa pun yang berani memuat. Itu kan
bisa disebut balagoh penyampaian tidak setuju dengan nada yang
halus.
Dari dulu saya mengatakan itu sampai Jawa
Tengah, saya dicekal selama dua tahun oleh Pak Soeharyoto, itu karena saya
berani mengatakan itu di muka forum Kodam dan di depan para wartawan dan
sekarang pun saya masih mengatakan itu. Tetapi saya melihat Pak Harto itu sudah
tidak bisa berbuat lain, ia sudah terlanjur. Kalau dia mundur sebagai presiden
ia harus membayar banyak hal terutama sebab akibat yang ditimbulkan oleh
dirinya. Karena harus membayar utang itulah Pak Harto jadi tidak mau turun. Padahal,
dalam sejarah itu berlaku hukum kausalitas, menanam apa akan berbuah apa,
menabur angin akan menuai badai.
Lalu, apa yang terjadi pada Pak Harto berkaitan
dengan kekuasaan?
Saya kira Pak Harto itu sudah mengalami fase, di
mana ia tidak bisa hidup tanpa kekuasaan. Selama ini ia hidup tiga puluh tahun
dalam kekuasaan. Jadi ibarat orang yang setiap hari makan hamburger, sehingga
orang lupa bagaimana cara makan soto. Tiga puluh tahun itu waktu yang lama
sekali, jadi betapa sangat tidak terkontrolnya dia, karena dia juga menghadapi
masalah, kalau dalam waktu yang lama ia diperhitungkan orang kemudian tiba-tiba
ia tidak punya kekuasaan, itu masalah tersendiri.
Apakah Anda setuju Pak Harto dipilih lagi?
Kalau saya tidak setuju Pak Harto menjadi
presiden lagi, karena saya melihat Pak Harto punya peluang memandu kepada
perubahan yang lebih damai. Dengan syarat, pertama, dia sendiri yang harus
berkorban. Kalau nanti dia turun dengan tidak baik, kalau tiba-tiba dia
dipanggil Tuhan, padahal belum ada orang yang akan menggantikan dia, kan lebih
bertambah berbahaya.
Jadi saya tidak setuju Pak Harto naik lagi itu
karena ada kearifannya, bukan masalah senang atau tidak senang. Itu tidak saya
perdulikan. Yang penting Indonesia itu harus selamat dalam transisi nanti, proses
perubahannya jangan sampai membuat kita terlalu tergoncang-goncang. Dan saya
melihat Pak Harto memiliki kesempatan untuk ikut mencegah kegoncangan itu
dengan dia sendiri yang harus banyak berkorban.
Caranya?
Ia harus mengerem anak-anaknya, lantas ia harus
mencari informasi yang akurat mengenai keadaan rakyat dan didengarkan dengan
baik. Kita dengar saja apa yang dikatakan para jenderal-jenderal itu. Pak Harto
sekarang ini tidak mendapatkan informasi yang benar tentang rakyatnya. Karena
bawahan-bawahannya itu sudah tidak lagi memberikan informasi yang akurat,
mereka takut informasinya itu menggelisahkan bapak. Jadi laporannya itu sudah
dipernis, dihaluskan sedemikian rupa. Jadi serba sulit, apalagi dia sudah
memposisikan dirinya sebagai pandita ratu.
Apakah akan terjadi suksesi seperti raja-raja
Jawa yang biasanya disertai pertumpahan darah?
Pak Harto itu tidak ingin terjadi seperti pada
diri Ken Arok. Sehingga, ketika ia mengambil kekuasaan dari Soekarno tidak
memakai cara Singosari, tidak menggunakan cara-cara seperti lakon Empu
Gandring, lalu ada Kebo Ijo yang menjadi kambing hitam. Empu Gandring itu kan
seperti umat Islam yang diminta untuk membuat keris, mateng atau
tidak mateng akan diambil, dan terus umat Islam yang lain akan
dikambinghitamkan seolah-olah dialah yang membunuh Tunggul Ametung. Sekarang
ini yang menjadi Kebo Ijo dan Tunggul Ametung itu bisa dari NU dan ICMI atau
sebaliknya.
Tunggul Ametung itu kan simbol yang menghalangi
kekuasaan. Pak Harto sudah berhati-hati untuk menggunakan cara seperti itu,
tetapi pada hakekatnya sama saja cara yang dipakai, itu hanya kamuflase atau
bungkus saja. Intinya sama saja, keris yang berdarah yang dibungkus dengan kayu
yang mengkilap dengan hiasan pita bunga yang indah.
Apakah akan lebih baik kalau Pak Harto memiliki
putra mahkota yang akan menggantikan kekuasaannya?
Tidak sesederhana itu, Pak Harto itu seharusnya
ikut memandu transisi masyarakat Indonesia menuju pagi hari yang baru yang
lebih baik. Tidak harus menyiapkan pengganti dia, tetapi menyiapkan tatanan
negara ini menjadi lebih baik. Sebab, kalau hanya menyiapkan penggantinya saja,
maka yang dilakukan hanya upaya penyelamatan di paska kekuasaannya. Jadi tidak
hanya memikirkan penggantinya saja, tetapi lebih luas dan lebih kompleks.
Apa dalam usianya yang sudah sepuh Pak Harto mampu menyiapkan tatanan yang Anda maksud
itu?
Loh, kenapa tidak mampu? Kalau Pak Harto meludah saja bisa menjadi
lautan, atau mendehem saja bisa terjadi mobilisasi besar-besaran. Itu yang
namanya sabda pandita ratu, walaupun perintahnya salah atau benar
tidak bisa dibantah. Kalau Pak Harto memberi contoh untuk mau berkorban, mau
konsisten, mau benar-benar, nantinya akan ada kekuatan di bawah yang mengontrol
bawahannya Pak Harto. Namun bagaimana lagi kalau semuanya ini tidak dilakukan
justru karena Pak Harto sendiri yang tidak mau, karena pangkalnya pada dia
sendiri. Misalnya kasus Udin, kasus ecstasy, kan muaranya ke
situ-situ juga. Padahal orang Indonesia itu sangat pemaaf dan kalau dia
melakukan itu pasti akan dimaafkan oleh rakyat. Artinya Pak Harto membayar
utangnya 25 persen saja, pasti sudah bisa dimaafkan.
Mengapa hal itu tidak dilakukannya?
Karena ia tidak punya teman untuk berdialog. Ia
hanya kenal dengan orang-orang yang urusannya hanya kekuasaan. Baik Tutut,
Hartono, mereka itu orang-orang yang sedang memuncak kariernya dan konteksnya
hanya kekuasaan dan modal saja.
Mengapa tidak Anda saja yang memberi nasehat?
Nanti saya dikatakan berangkul-rangkulan,
dianggap berkolusi. Ketika takbir akbar, sebenarnya saya sedang mengingatkan
Pak Harto, karena orang seperti dia itu harus dikandani tetapi
bagaimana lagi kalau teman-teman sendiri yang menuduh saya macam-macam. Orang
ini harus diberitahu, telinganya dibuka. Dan Alhamdulillah sedikit
dibuka telinganya, dan dia langsung takbiran dan memukul beduk lama sekali.
Siapa yang berani memerintahkan kepada Pak Harto takbiran, kan tidak ada yang
berani memerintah toh.
Mengapa malam itu Pak Harto mau takbiran, lantas
kenapa saya tidak mau salaman dengan Pak Harto dan Pak Hartonya tidak marah?
Sebenarnya itu kan menghina presiden toh, ada anak kecil tidak mau salaman dan
tidak mau rangkulan. Padahal semua yang hadir disitu seperti Roma Irama
berangkulan. Itu di hadapan dua ratus juta rakyat yang berada di depan
televisi.
Mustinya teman-teman itu bersyukur, karena
menurut nabi sebaik-baiknya ulama itu yang didatangi oleh umaro dan
seburuk-buruk ulama itu yang sowan kepada umaro yang berarti bargaining
position-nya lebih rendah. Saya tidak mengatakan bargaining power saya
tinggi, tetapi paling tidak saya menunjukan bahwa saya itu tidak patheken,
tidak salaman tidak apa-apa, aku tidak punya kepentingan apa-apa sehingga aku
enteng-enteng saja.
Begitu Pak Harto menyodorkan tangan kepada saya,
saya langsung mengambil mick dan takbiran. Itu yang terjadi
bisa dilihat kembali di rekaman videonya. Seharusnya kawan-kawan itu
mempercayai saya dan meminta saya untuk memberi peringatan seperti itu lagi. Toh saya
sepeser pun tidak mau menerima uang dari pemerintah, dari pengusaha atau
siapapun yang sifatnya tidak murni. Saya membuat sekolahan, menyantuni
anak-anak yatim karena saya menulis di koran dan karena buku-buku saya
Menurut Anda, mengapa Pak Harto tidak berterus
terang saja seandainya sudah tidak mau dicalonkan lagi?
Pak Harto kok disuruh ngomong terus terang. Raja
Jawa itu etosnya etos priyagung. Ciri priyagung itu
halus bicaranya, tidak bisa blaka (terus-terang), itu
prajurit. Ratu tidak boleh bicara seperti itu, bicaranya harus simbolis,
metaforis. Pak Harto mencoba melawan ketakutannya kepada
mitos Jawa dan itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang telah melewati
jalur-jalur dan tahapan-tahapan kebatinan. Ia tafsirkan sendiri akan kedatangan
Semar dan Semarnya didahului. Sekarang lengser keprabon itu
suatu mitos dalam konsep kekuasaan Jawa. Sebelum itu berlaku pada dirinya, ia
ambil lebih duhulu.