Ditulis
Oleh: Muhammad Ainun Nadjib
Sejak jauh sebelum hari Pilgub
Jakarta, sejumlah teman saya tanya “lebih ok mana Foke-Nara atau Jokowi-Ahok?”
muncul labirin dan mosaik jawaban.
Ada jawaban “close-up” : si FN
bagusnya di sini, kacaunya di situ; si JA hebatnya begini, memblenya begitu —
tentu saja semua dalam skema nilai-nilai baku kebangsaan dan kenegaraan:
kualitas kepemimpinan, kematangan manajemennya, kreativitas pembangunannya,
watak sosial budayanya, juga kadar kasih sayang kerakyatannya.
Jawaban yang ini ada yang ambil dari
konsep demokrasi modern, ada yang dari filosofi dan budaya tradisi, ada yang
dari Agama, tapi tentu saja banyak yang “common sense” atau “kata ini”, “menurut
itu” dan lain sebagainya. Yang dari Agama misalnya menyebut pemimpin harus
soleh. Soleh maksudnya kebaikan yang dikerjakan dengan konsep, perencanaan dan
perhitungan komprehensif sedemikian rupa sehingga “dipastikan” sangat minimal
mudlaratnya.
“Soleh” itu “baik” pada formula yang
demikian. Ada “baik-baik” yang lain dalam bahasa Tuhan. “Khoir” itu kebaikan
yang universal, cair, bahkan Kristal, belum berbentuk, belum aplikatif.
“Ma’ruf” itu kebaikan yang sudah melalui dialektika, diskusi, perundingan,
pergesekan-pergesekan antar manusia, sehingga kemudian disepakati sebaga aturan
bersama. “Ihsan” itu kebaikan yang lahir murni dari nurani manusia: orang
berbuat baik meskipun tidak disuruh, tidak diwajibkan, tidak diatur oleh hukum
atau etika. Ada lagi “birr”, yang menghasilkan istilah “mabrur” : itu puncak
pencapaian kebaikan dalam hubungan spesifik antara manusia dengan Tuhan, pada
posisi di mana dunia dipunggungi atau sekurang-kurangnya dinomer-duakan secara
total.
Kalau memakai “close-up” pemahaman
yang ini, benar-benar tidak gampang menilai mana yang lebih oke antara FN
dengan JA. Begitu luasnya kemungkinan dalam kehidupan, namun begitu jauh lebih
luasnya cakrawala probabilitas pada diri manusia. Kalaupun persepsi, analisis
dan kesimpulan kita tepat tentang JA dan FN, kebenarannya direlatifkan oleh
teori ilmu teater: “Tidak ada aktor yang buruk. Yang ada adalah pemain yang
berada di tempat yang tepat atau tidak”.
Jadi, soal “casting”. Hidung seindah
dan semancung apapun menjadi mengerikan kalau letaknya tergeser setengah
sentimeter. Shalat menjadi kebaikan kepada Tuhan hanya kalau dilaksanakan pada
interval waktunya. Berdzikir siang-siang itu buruk ketika berbarengan dengan
istri bingung tak punya beras. Bernyanyi dan bermusik dangdut itu sangat dilaknat
kalau dilaksanakan di halaman Masjid ketika orang sedang shalat Jumat
berjamaah.
Bahkan ada orang yang ketepatannya
adalah memelihara kambing, bukan ayam. Ada pejabat yang ketepatannya menjadi
penjaga gudang. Ada tentara yang ketepatannya berpangkat Kolonel, sehingga Pak
Riamirzad Ryacudu ketika menjadi KASAD pusing kepala karena ada temannya yang
mengajukan Surat Mohon Tidak Naik Pangkat. Orang macam saya ini hampir sama
sekali nir-tepat: jadi intelektual tidak tepat, jadi seniman, kiai, aktivis, dukun,
pengasuh Sekolah, pemikir, dan macam-macam lagi — belum pernah benar-benar
berada pada koordinat ketepatan.
Kalau keruwetan hidup macam itu
dituruti: bagaimana bisa punya presisi pengetahuan bahwa JA tepat memimpin
Jakarta? Apalagi terkadang, entah berapa prosentasenya, justru yang diperlukan
adalah ketidak-tepatan. Striker sebuah kesebelasan nendang bola agak melenceng,
sehingga terkena kaki pemain belakang lawan, sehingga bola meleset dan masuk
gawang.
Nabi Muhammad SAW menyarankan mantan
musuh utamanya sesudah “Kemenangan Mekah” agar segera cari istri dan berumah
tangga. Dilaksanakan. Kelak putra beliau yang dikasih saran ini yang membunuh
cucu Nabi. Jengis Khan menghancur-leburkan peradaban Islam meluluh-lantakkan
perpustakaan besar Islam Bagdad, kemudian kelak cucunya menjadi tokoh Muslim
yang membangun kembali tradisi intelektual dan kebudayaan Islam.
Dalam kasus itu di mana letak
ketepatan dan di mana ketidak-tepatan? Penguasa pembunuh keluarga Nabi Muhammad
SAW itu menambah teks khutbah Jumat dengan kalimat kutukan kepada Sayyidina Ali
bin Abi Thalib. Kelak cucunya menjadi Khalifah terbaik dalam sejarah Islam dan
dia yang menghapus kalimat kutukan itu. Karena itu dalam sebuah peperangan,
tatkala pasukan musuh keok dan tinggal dipenggal lehernya, Nabi Muhammad SAW
melarangnya: “Jangan bunuh, saya sudah mendoakan kebaikan Islam bagi cucu-cucu
mereka”.
Jadi JA dan FN berangkulan aja dari
maqamnya masing-masing untuk membangun kegembiraan rakyat Jakarta dengan
kesungguhan hati dunia akhirat terserah Jokowi bisa wudlu atau tidak, itu
wilayah konflik dia dengan Allah. Toh sudah sama-sama bisa makan berkecukupan,
bisa beli pakaian lebih dari tiga lembar, punya mobil, dan sudah sama-sama aqil
baligh.
Aqil artinya sudah memiliki
kesanggupan untuk menggunakan akal. Dan akal itu pasti sehat. Baligh artinya
kemampuan untuk menyampaikan, menerapkan, mengaplikasikan, mewujudkan,
mengejawentahkan atau mentransformasikan visi menjadi realitas, ilmu menjadi
kenyataan, cita-cita dan cinta menjadi entitas kehidupan.
Mereka toh juga sama-sama “Amirul
Mu’minin”, pemimpin proses menuju “aman”, dengan landasan “iman”, membawa
senjata “amanah”, dengan ujung doa “amin”. Amirul Mu’minin membangun iman amin
amanah aman beras rakyatnya, aman sekolah anak-anaknya, aman pasarnya, aman
kesehatannya, aman keadilannya, aman hartanya, aman kerjaannya, aman
seluruhnya.
Jokowi dan Foke sama-sama Muslim dan
Mu’min. Kriteria, parameter atau tanda-tandanya: kalau ada Jokowi dan Foke,
kalau ada Muslim dan Mu’min di suatu lingkungan, maka terjamin amanlah harta
semua orang, aman martabat semua orang, dan aman nyawa semua orang.
Tetapi jaminan “aman” itu belum
pernah benar-benar menjadi pengalaman sejarah, sekurang-kurangnya belum
dipercaya bahwa benar demikian. Sehingga atas pertanyaan tentang JA-FN itu
muncul jawaban yang sangat lebih jauh “mempercayai” relativitas. Memang lebih
luas namun ada semacam tarik-ulur antara kemungkinan dengan kepastian. Semacam
jawaban agak bingung antara sangka baik dengan sangka buruk, antara kewaspadaan
dengan rasa kapok — oleh suatu keberlangsungan realitas yang mungkin
mengecewakan, bahkan mungkin menyiksa.
Kehidupan ini sedemikian tidak
pastinya sehingga ada suatu momentum pertandingan sepakbola di mana suatu
kesebelasan lebih baik kalah dari pada menang. Karena faktor mental, karakter,
route hati dan bioritme, situasi kebersamaan mereka, peta dan tahap turnamen —
membuat kesebelasan itu lebih baik mengalami kalah dulu kali ini, demi
kebangunan yang lebih matang pada tahap berikutnya. Juga karena kwalitas mental
para pemain belum transenden dari situasi kalah atau menang.
Jawaban yang ini berpandangan bahwa
dalam hukum dialektika sejarah, belum tentu kalau JA menang itu pasti baik bagi
diri mereka atau rakyat Jakarta. Juga kalau FN kalah belum tentu itu buruk bagi
keduanya maupun bagi rakyat. Juga tak bisa dipastikan sebaliknya. Tetapi karena
keterbatasan rasional, manusia harus mengambil ketetapan pandangan bahwa yang
baik adalah kalau JA menang dan yang celaka adalah kalau FN menang. Sementara
kalangan yang lain harus memastikan pendapat sebaliknya: bahwa yang aman adalah
kalau FN menang dan yang bahaya adalah kalau JA menang.
Keduanya memiliki kebenarannya
masing-masing, sehingga yang terindah dalam kehidupan adalah kita manusia
menyediakan ruang seluas-luasnya untuk apresiasi bahwa orang lain hidup dalam
kebenarannya sendiri yang bisa jadi berbeda atau bertentangan dengan kebenaran
kita. Kebudayaan dan peradaban dibangun oleh kesanggupan managemen,
kerendah-hatian, dinamika-kontinyu ilmu, kearifan dan kelenturan mental pada
manusia di antara perbedaan dan pertentangan itu.
Itulah sebabnya selama pertandingan
dua petinju saling mengincar, memukul dan menjatuhkan, kemudian selesai tanding
mereka berpelukan, saling mengangkat dan mengacungkan tangan lawannya. Sebab
mereka itu “musuh” selama pertandingan namun sahabat dalam kehidupan.
Partnership yang kompak dalam ideologi untuk sama-sama menghormati sportivitas.
Sportif itu bahasa moralnya: jujur. Bahasa hukumnya: adil. Bahasa keseniannya:
pas.
Jawaban yang paling “parah” berbunyi
semacam “distrust statement”. Suatu ungkapan pesimis yang ternyata optimistik.
Misalnya: “Jokowi atau siapapun pasti bisa berbuat baik dan sedikit mengubah
Jakarta, tapi tidak akan berdaya menghadapi penyakit-penyakit Indonesia yang
sudah terlalu akut. Yang dicuri terlalu banyak, yang mencuri terlalu banyak,
modus pencuriannya, formulanya dan teknis strategi pencuriannya saling
mendukung dan saling menggelembungkan dengan mental dan budaya kemunafikan yang
hampir sempurna.”
“Semua itu muncul di semua lini dan
segmen, di semua bidang dan disiplin, di gedung pemerintahan, di sekolah, di
lembaga-lembaga apapun, di jalanan, di tempat-tempat ibadah. Teraplikasi pada
manusianya dan sistemnya, etika sosialnya dan hukumnya. Komplikasi penyakit
Pemerintahan Indonesia di era apapun sudah bukan hanya tidak bisa diatasi, tapi
bahkan semua bertengkar ketika mencoba merumuskannya. Dengan pendekatan ilmu
dari bumi, planet-planet maupun dari langit sap tujuh”.
“Ini bangsa semakin tidak mengerti
dirinya. Ini Negara salah lahirnya. Ini rakyat menjalani 25 tahun Orde Lama
untuk menyesalinya, menelusuri 32 tahun Orde Baru untuk mengutuknya, kemudian
memanggul 14 tahun Reformasi untuk muntah dan pecah kepalanya. Bawa ke sini
Mahatma Gandhi, Abraham Lincoln, Nelson Mandela, Firaun yang cacat teologi
namun ratusan tahun sejahtera rakyatnya, serta semua pemimpin dunia yang
terpuji dan emas catatan sejarahnya: gabungkan menjadi satu orang, mari
bertaruh kalau sampai dia bisa mengatasi masalah Indonesia….”
Jadi bagaimana pesismisme itu bisa
bersifat optimistik? Teman itu menjawab: “Barang siapa tidak punya kemampuan
untuk mengatasi masalah, maka ia tidak berkewajiban untuk menyelesaikan
masalah. Barang berat yang mestinya dimuat oleh truk besar, tidak memberi
kewajiban kepada becak atau andong untuk mengangkutnya. Kita yang becak lakukan
terus darma perjuangan becak, yang andong aktif terus menyelenggarakan
pengabdian becak.”
“Setor-setor kerja keras dan
kebaikan ke masa depan sesedikit apapun. Rajin tanam padi terus, karena ada
sahabat-sahabat dari pegawai birokrasi alam semesta yang menjalankan kewajiban menumbuhkan
padi itu dan menyiapkan panen raya. Ada ratusan Kabinet dalam kehidupan,
termasuk yang meneteskan embun dari gigir daun-daun, yang memelihara detak
jantung, juga yang menjadwal jam berapa kita buang air kecil pagi ini, siang
nanti, sampai kelak kita mati atau datang kiamat besar atau kecil, tanpa
bergantung pada keputusan DPR dan Sidang Isbat Depag”.
“Ya Allah, nanti 2014 iku Pemilu
dong…. Kalau Engkau berpartisipasi, jatah suara-Mu tak satu, melainkan
hidayah-Mu dengan mudah merasuki semua mereka yang sedang bingung menentukan
pilihan”.
Dimuat
di Kolom, Majalah Gatra No. 47 XVIII 27 September – 3 Oktober 2012