Istilah pendidikan
secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina
kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat didalam masyarakat dan
bangsa. Pendidikan merupakan unsur elementer yang tidak dapat dilepaskan dari aspek
teologis. Komitmen Islam secara teologis terhadap pendidikan dapat dilacak pada
al-Qur’an surat al-Alaq (96):1-14. Ayat-ayat dalam surat ini menjelaskan
tentang signifikansi pengetahuan yang benar yang harus diketahui dan disebarkan
umat Islam secara khusus dan umat manusia umumnya. (Djumransjah :
2007 : 1)
Abdullah Yusuf Ali menjelaskan, ungkapan
“pengajaran” dan “pembacaan” yang ada pada ayat-ayat itu mengimplikasikan,
pemerintah mengajar dan membaca (meneliti dan sebagainya) tidak terbatas pada
penyampaian risalah Allah yang harus dilakukan Rasul, tetapi juga bersifat
universal, menukik pada tugas untuk menyebarkan kebenaran oleh semua orang yang
membaca dan memahami ajaran Al Quran.
Nilai-nilai dan komitmen Islam itu akan
makin tampak bila dikaitkan dengan Hadits A’isyah tentang permulaan turunnya
wahyu (lihat al-Bukhari, 18-24), di mana Tuhan menyuruh “membaca” kepada
Muhammad. Pertama kali Nabi menolak karena dia tidak bisa membaca. Namun, Tuhan
menjelaskan, “membaca” adalah kewajiban manusia; mencari dan mengamalkan
pengetahuan adalah sifat intrinsik yang harus ada pada manusia. Hadits ini juga
menggambarkan dengan jelas mengenai proses penyampaian pengetahuan dalam Islam,
yaitu sifatnya yang sangat menekankan pada penciptaan suasana dialogis dan
aktif.
Pada sisi ini batasan pendidikan Islam yang
ditawarkan Naquib al-Attas menjadi relevan untuk diangkat. Disebutkan,
pendidikan Islam pada prinsipnya merupakan proses pengenalan dan pengakuan yang
ditanamkan secara bertahap dan berkesinambungan dalam diri manusia mengenai
obyek-obyek yang benar sehingga hal itu akan membimbing manusia ke arah
pengenalan dan pengakuan terhadap eksistensi Tuhan dalam kehidupan.
Selanjutnya, dengan pengetahuan itu, manusia diarahkan untuk mengembangkan
kehidupan lebih baik.
Berdasarkan paparan itu dapat dikatakan,
pendidikan Islam dari perspektif teologis merupakan konsep yang allama ma lam
ya’lam (Tuhan mengajarkan segala hal yang tidak diketahui manusia). Hal itu
mengandung pengertian, Allah selalu mengajarkan suatu pengetahuan baru setiap
saat kepada manusia. Karena itu, manusia dituntut untuk belajar tentang apa
saja sepanjang hidupnya, dan hendaknya selalu berdialog dengan perkembangan
zaman. Lebih jauh, ayat itu menjelaskan, nilai semua pengetahuan menurut Al
Quran adalah sama pentingnya. Islam tidak mengenal pembedaan dikotomis antara
ilmu pengetahuan “agama” dan ilmu pengetahuan “sekuler”. Selama pengetahuan
bernilai baik, selama itu pula ia bernilai religius.
Untuk mendapat
gambaran yang lebih jelas tentang pendidikan Islam (at-tarbiyah al Islamiyah)
yang akan diuraikan selanjutnya menurut bahasa Islami, maka terlebih dahulu
dikemukakan pengertian dasar dari kata “pendidikan” dan “Islam”. Kata
pendidikan yang sering digunakan dalam
bahasa arabnya adalah tarbiyah.[1]
Selain itu, konsep ilmu dalam Islam-sebagai
salah satu unsur pendidikan-hendaknya mengacu kepada lingkungan dan kebutuhan
masyarakat. Karena itu harus bersifat applicable. Hal ini dapat dilacak dari
beragamnya pengetahuan yang diberikan Allah kepada para nabi dan umat mereka,
misalnya, Nuh (as) mendapatkan pengetahuan tentang pembuatan bahtera (surat
Hud, 11:37), Daud diberi pengetahuan tentang pembuatan baju besi (surat
al-Anbiya’, 21:80), umat Nabi Shaleh memiliki keahlian memahat gunung untuk
dijadikan tempat tinggal (surat al-Hijr, 15:82). Meski ragamnya berbeda, semua
memiliki nilai yang sama, yaitu karakternya bersifat teologis-transformatif.
Semuanya diarahkan untuk mengenal Tuhan dengan segala sifat-sifat-Nya sehingga
manusia selalu merasa di dekat-Nya, dan mampu mengubah dunia sesuai kebutuhan
manusia sekaligus melestarikannya. Dengan demikian, pengenalan pengetahuan itu
pada saat yang sama merupakan penanaman dan pembentukan serta pengembangan
nilai-nilai yang mencerahkan; mengantarkan manusia kepada kehidupan yang taqwa,
dan dapat menjauhkan dari kehidupan yang transgressive dan ekstrem.
Di sini ketaqwaan perlu dipahami sebagai
konsep yang menunjukkan kepribadian manusia untuk terintegrasi secara penuh dan
utuh, yaitu semacam stabilitas yang terbentuk setelah semua unsur-unsur yang
positif masuk ke dalam diri seseorang. Dengan kata lain, taqwa merupakan
kualitas kedirian manusia yang mampu mengendalikan manusia dari
kecenderungan-kecenderungan yang berlawanan dengan nilai-nilai kebaikan
universal dan perennial. Dengan ketaqwaan itu, manusia selalu berupaya berjalan
di atas jalan yang dikehendaki Tuhan, tunduk secara total kepada perintah-Nya
yang diekspresikan dalam bentuk menyebarkan kesejahteraan dan kedamaian bagi
sesama dan lingkungan.
A.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah pendidikan
menurut perspektif nasional?
2.
Bagaimanakah pendidikan dalam
pesrpektif Islam?
3.
Apa Nilai Teologis
Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam?
4.
Apakah yang dimaksud dengan Pendidikan Islam Perspektif Lembaga
Pendidikan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Menurut Perspektif Nasional
Pendidikan seperti yang banyak
didefinisikan oleh para pakar yang apabila diambil intinya adalah upaya sadar
yang diberikan oleh si pendidik dalam rangka membawa si terdidik kepada manusia
ideal yang dicita-citakan itu dirumuskan sendiri oleh suatu bangsa atau suatu
komunitas. [2]
Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu
upaya pedagogis untuk menstranfer sejumlah nilai yang dianut oleh masyarakat
suatu bangsa kepada sejumlah subjek didik melalui proses pembelajaran. Sistem
nilai tersebut tertuang dalam sistem pendidikan yang dirumuskan dalam
dasar-dasar pandangan hidup bangsa itu. Rumusan pandangan hidup tersebut
kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Dasar dan perundang-undangan. Dalam
Undang-Undang Dasar dan perundang-undangan itu pandangan filosofis suatu bangsa
di antaranya tercermin dalam sistem pendidikan yang dijalankan.
Bagi bangsa Indonesia, pandangan filosofis
mengenai pendidikan dapat dilihat pada tujuan nasional sebagaimana termaktub
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 paragraf keempat. Secara umum tujuan
pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian secara
terperinci dipertegas lagi dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Bertolak dari tujuan pendidikan nasional
tersebut, dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan merupakan tujuan akhir yang
harus diterjemahkan lebih konkret melalui sebuah proses. Proses dimaksud adalah
usaha yang terpola, terencana, dan tersistematisasi melalui proses pendidikan.
Keinginan luhur bangsa Indonesia itu lahir dari tatanan nilai yang dianut dan
terakumulasi dari dalam kesadaran dirinya sebagai bangsa dan kesadaran terhadap
dunia di sekitarnya.
Dilihat dari tridomain pendidikan (domain
kognitif, afektif, psikomotorik), tatanan nilai yang tertuang dalam pembukaan
UUD’45 khususnya yang tertuang dalam UU No 2/1989 dan UU No. 20/2003 lebih
banyak didominasi oleh domain afektif atau cendrung kepada pembentukan sikap.
Hal ini menunjukkan bahwa tatanan nilai (kepribadian yang luhur) berfungsi
sebagai pengayom domain lainnya. Artinya, kecerdasan dan keterampilan harus
berasaskan nilai-nilai luhur yang dianut bangsa. Di antara sekian banyak
nilai-nilai luhur tersebut, beriman, berakhlakul karimah, dan beramal saleh
adalah bagian dari nilai lihur itu.
Namun demikian, urgensitas nilai yang
demikian mendapat posisi strategis dalam konsep pendidikan nasional pada
kenyataannya tidak berperan secara riil dalam kepribadian peserta didik di
Indonesia. Kesenjangan ini diduga akibat dari beberapa faktor seperti (1) buku
teks atau buku pelajaran (bahan ajar) yang digunakan kurang mengarah pada
integrasi keilmuan antara sains dan agama, (2) penerapan strategi
belajar-mengajar yang belum maksimal dan belum relevan dengan tuntutan
kurikulum karena keterbatasan kemampuan pendidik, dan (3) lingkungan belajar
(hidden curricullum) belum kondusif bagi berlangsungnya suatu peoses
pembelajaran.
Konsekuensi dari ketiga faktor tersebut
adalah internalisasi nilai (domain afektif) belum mampu menghujam ke dalam diri
(kepribadian) subjek didik secara utuh. Selama ini proses pembelajaran di
madrasah belum mampu mengintegrasikan antara berbagai konsep atau teori
keilmuan sains dan dimensi nilai agama seperti nilai etika, nilai teologis, dan
lain-lain. Demikian juga proses pembelajaran sains belum mampu mengintegrasikan
domain afektif ke dalam domain kognitif dan psikomotorik. Hal ini terjadi tidak
hanya dalam bidang studi sains tetapi juga dalam semua bidang studi lain pada
umumnya.
Kenyataan di lapangan pendidikan, aspek
ideal itu (integrasi keilmuan) belum dominan terlihat, sehingga sistem
pendidikan nasional terkesan menganut sistem bebas nilai. Pendidikan nasional
cenderung berwajah sekularistik, seolah-olah tidak ada kaitan antara konsep
keilmuan tertentu dengan nilai-nilai yang sejatinya dimunculkan dalam setiap
disiplin ilmu.
B.
Ilmu
Pendidikan dalam Perspektif Islam
Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam,
Menurut Langgulung pendidikan Islam tercakup dalam delapan pengertian, yaitu
At-Tarbiyyah Ad-Din (Pendidikan keagamaan), At-Ta’lim fil Islamy (pengajaran
keislaman), Tarbiyyah Al-Muslimin (Pendidikan orang-orang islam), At-tarbiyyah
fil Islam (Pendidikan dalam islam), At-Tarbiyyah ‘inda Muslimin (pendidikan
dikalangan Orang-orang Islam), dan At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah (Pendidikan
Islami).
Menurut Muhammad
Munir Marisy didalam kitab bahasanya “Al-Tarbiyah al Islamiyah” mengemukakan
bahwa tarbiyah berasal dari kata dasar robb-yarubbu-tarbiyyatan yang berarti
“tumbuh dan bertambah” sejalan dengan pengertian dasar “tarbiyah” tersebut maka
Ahmad Warson didalam analisanya mengemukakan bahwa tarbiyah berarti namaa, wa
zaada atau tumbuh dan bertambah. Penggunaan kata robba atau tarbiyyah yang
terdapat didalam Alqur’an pada dasarnya mengacu pada gagasan “pemilikan”
seperti pemilikan keturunan orangtua terhadap anak-anaknya untuk melaksanakan
kewajiban tarbiyah, yang sifatnya hanya menunjukkan jenis relasional saja.
Sedang “pemilikan” yang sebenarnya hanya pada Allah.[3]
Arti pendidikan Islam itu sendiri adalah
pendidikan yang berdasarkan Islam. Isi ilmu adalah teori. Isi ilmu bumi adalah
teori tentang bumi. Maka isi Ilmu pendidikan adalah teori-teori tentang
pendidikan, Ilmu pendidikan Islam secara lengkap isi suatu ilmu bukanlah hanya
teori.
Hakikat manusia menurut Islam adalah
makhluk (ciptaan) Tuhan, hakikat wujudnya bahwa manusia adalah mahkluk yang
perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan.Manusia sempurna
menurut Islam adalah jasmani yang sehat serta kuat dan Berketerampilan, cerdas
serta pandai.
Tujuan umum pendidikan Islam ialah
terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan
haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang
dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.
Ilmu Pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan
Islam. Isi ilmu adalah teori. Isi ilmu bumi adalah teori tentang bumi. Maka isi
Ilmu pendidikan adalah teori-teori tentang pendidikan, Ilmu pendidikan Islam
secara lengkap isi suatu ilmu bukanlah hanya teori, tetapi isi lain juga ada
ialah :
1. Teori.
2. Penjelasan tentang teori itu.
3. Data yang mendukung tentang penjelasan itu.
Islam adalah nama Agama yang dibawa oleh nabi Muhammad saw, yang
berisi seperangkat ajaran tentang kehidupan manusia ; ajaran itu dirumuskan
berdasarkan dan bersumber pada al Qur’an dan hadist serta aqal. Penggunaan
dasarnya haruslah berurutan :al Qur’an lebih dahulu ; bila tidak ada atau tidak
jelas dalam al Qur’an maka harus dicari dalam hadist ; bila tidak ada atau
tidak jelas didalam hadist, barulah digunakan aqal (pemikiran), tetapi temuan
aqal tidak boleh bertentangan dengan jiwa al Qur’an dan hadist.
Menurut al Syaibani, tujuan pendidikan Islam adalah :
1. Tujuan yang
berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah
laku masyarakat, tingkah laku jasmani dan rohani dan kemampuan-kemampuan yang
harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat
2. Tujuan yang
berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku
individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat, memperkaya
pengalaman masyarakat.
3. Tujuan
profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu,
sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.
Menurut al Abrasyi, merinci tujuan akhir pendidikan islam menjadi
1. Pembinaan akhlak.
2. Menyiapkan anak didik untuk hidup dudunia dan akhirat.
3. Penguasaan ilmu.
4. Keterampilan bekerja dalam masyrakat.
Menurut Asma hasan Fahmi, tujuan akhir pendidikan islam dapat
diperinci menjadi :
1. Tujuan keagamaan.
2. Tujuan pengembangan akal dan akhlak.
3. Tujuan pengajaran kebudayaan.
4. Tujuan pembicaraan kepribadian.
Menurut Munir Mursi, tujuan pendidikan islam menjadi :
1. Bahagia di dunian dan akhirat.
2. Menghambakan diri kepada Allah.
3. Memperkuat ikatan keislaman dan melayani kepentingan masyarakat
islam.
4. Akhlak mulia.
Islam merupakan
syari'at Allah bagi manusia yang dengan bekal syari'at itu manusia beribadah agar
manusia mampu memikul dan merealisasikan amanat besar itu, syari'at itu
membutuhkan pengamalan, pengembangan, dan pembinaan. Pengembangan dan pembinaan
itulah yang dimaksud dengan pendidikan Islam.[4]
C.
Nilai Teologis
Di antara sekian banyak nilai yang tersentralisasikan
dalam suatu tatanan nilai, maka nilai teologis adalah bagian integral dari
sejumlah tatanan nilai yang ada. Nilai teologis secara eksplisit disebutkan
dalam tujuan pendidikan nasional yaitu dalam kalimat ‘menciptakan manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa’. Kalimat ini secara hierarkhis
mengindikasikan bahwa di samping memayungi juga berfungsi merangkul aspek
tujuan lain dalam satu jalinan yang integral.
Perealisasian tujuan pendidikan melalui
ibadah tidak diartikan sebagai upaya manusia yang terfokus pada aspek ritual.
Untuk menyempurnakannya, kita harus memaknai ibadah sebagai ketaatan yang
mencakup seluruh aspek kehidupan. Dengan demikian, pada dasarnya konsep
pendidikan Islam pun mencakup seluruh tujuan pendidikan yang dewasa ini
diserukan oleh Barat. Lebih dari itu, pendidikan Islam adalah satu-satunya
konsep pendidikan yang menjadikan makna dan tujuan pendidikan lebih tinggi
sehingga mampu mengarahkan manusia pada visi ideal dan menjauhkan manusia dari
ketergelinciran serta penyimpangan. Karena Islamlah, pendidikan memiliki misi
sebagai pelayan kemanusiaan dalam mewujudkan kebahagiaan individu masyarakat.
Artinya, Islam akan berhasil mewujudkan tujuan pendidikan yang selama ini
menjadi obsesi tokoh pendidikan Barat.[5]
Dalam tradisi pendidikan Islam sampai
sekarang ini, internalisasi nilai teologis hanya diberikan secara terbatas
dalam pendidikan akidah (teologi Islam). Yaitu kajian yang menyangkut
permasalahan ketuhanan yang hanya berdimensi transendental-kontemplatif.
Tradisi ini sudah sejak lama berlangsung, sehingga nilai-nilai teologis belum
mengintegral ke dalam disiplin-disiplin ilmu lainnya secara holistik. Bahkan
pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam proses internalisasi nilai-nilai
teologis ini hanya sebatas pendekatan imani.
Kecenderungan pendekatan dalam proses
belajar mengajar seperti ini jelas mempersempit bahkan mendistorsi pemahaman
peserta didik secara objektif terhadap nilai-nilai teologis yang sebenarnya.
Akibatnya peserta didik cenderung memahami dimensi nilai teologis sebatas pada
tataran ritualistik-formalistik dan dogmatis-sakralistik. Pendekatan yang
demikian, menjadikan kajian dimensi teologis semakin absurd, abstrak, melangit,
dan kurang menyentuh persoalan-persoalan riil kemanusiaan. Ditambah lagi dengan
anggapan bahwa wilayah kajian teologi adalah wilayah sakral-absolut sehingga
tidak memberikan ruang reinterpretasi secara kreatif dan aktual-kontekstual
terhadap penafsiran sebelumnya.
Berdasarkan pengamatan dan kajian literatur
diketahui bahwa madrasah-madrasah di Indonesia pada umumnya didapati masih juga
menerapkan model pembelajaran yang tidak jauh berbeda sebagaimana diuraikan di
atas. Hal ini terjadi hampir di semua bidang studi intern ilmu agama Islam , lebih
lagi bidang studi sains. Sepertinya belum ada transformasi berarti dalam
reorientasi sistemik dan filosofis baik muatan materi ajar maupun metodologi
pengajaran ke arah yang relevan dengan tuntutan perubahan zaman. Karena itu
dituntut adanya pembaharuan pemahaman terhadap masalah ini sehingga
memungkinkan terwujudnya pendidikan Islam yang mumpuni bagi zamannya.
D. Pendidikan Islam Perspektif Lembaga
Pendidikan
Di Indonesia, ada dua Departemen yang
menangani bidang pendidikan, yakni Departemen Pendidikan Nasional dan
Departemen Agama. Dalam pelaksanaannya Departemen Pendidikan Nasional membawahi
lembaga pendidikan mulai TK, SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi Umum.
Sedangkan Departemen Agama mengurusi lembaga pendidikan dari RA, MI, MTs, MA,
hingga Perguruan Tinggi Agama Islam (UIN/IAIN/STAIN) dan PTAIS. Menyikapi
manajemen pendidikan seperti itu, menurut penulis buku ini akan membawa kita
kepada pemahaman tentang adanya dikotomi penyelenggaraan pendidikan, yakni
adanya sekolah umum dan sekolah agama. Kedua lembaga penyelenggara pendidikan
tersebut semua diakui sah dan merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional.
Dikotomi ternyata tidak saja menyangkut kelembagaannya, akan tetapi merambah
pada jenis ilmu yakni ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.. Pihak-pihak yang
berkompeten, terutama dari kalangan UIN/IAIN/STAIN melihat terjadinya dikotomi
dalam memandang ilmu tersebut, pada umumnya tidak sepakat dan harus segera
diakhiri. Ilmu, kata mereka, adalah satu, akan tetapi pada kenyataannya secara
operasional tidak mudah menyatukan kedua jenis ilmu tersebut. Buktinya,
kehadiran Universitas Islam Negeri (UIN) di beberapa kota yakni UIN Jakarta,
UIN Yogyakarta, UIN Malang, UIN Pekanbaru, UIN Makasar, dan UIN Bandung yang
misi awalnya adalah untuk mengembangkan ilmu yang bersifat integratif antara
ilmu agama Islam dan Ilmu umum, tetapi pada kenyataannya di masing-masing UIN
tersebut selain mengembangkan fakultas agama juga mengembangkan
fakultas-fakultas umum. Akibatnya ilmu agama dan ilmu umum lagi-lagi masih terlihat
dengan jelas terpisah, yakni masih memelihara pandangan dan perlakuan dikotomi
ilmu.[6]
Melalui penelusuran sejarah, ditemukan
bahwa kehadiran IAIN selain dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan Departemen
Agama, juga memiliki misi yang sangat jelas yaitu ingin menjadikan para
lulusannya sebagai sarjana (intelek) sekaligus ulamaâ??. Sebutan sarjana
(intelek) untuk menggambarkan seseorang yang telah menamatkan pendidikan di
perguruan tinggi. Sedangkan ulama adalah sebutan terhadap seseorang yang
memiliki pengetahuan, penghayatan, dan pengamalan ajaran Islam secara mendalam.
Mengenai dikotomi ilmu berikut upaya pemecahannya. Bangunan ilmu yang bersifat
integratif adalah dengan memposisikan al-Qurâ??an dan hadits sebagai sumber
ayat-ayat qawliyah. Sedangkan hasil observasi, eksperimen, dan penalaran logis
diposisikan sebagai sumber ayat-ayat kawniyah. Di buku ini juga disertai gambar
dan contoh nyata seperti yang dikembangkan di UIN Malang tentang bangunan ilmu
yang bersifat integratif sehingga pembaca dapat lebih mudah untuk memahaminya.
Agar lebih mudah difahami, penulis juga memaparkan tentang batas materi kajian
yang terdapat dalam ajaran Islam. Selama ini kita sebagai umat Islam sepakat
bahwa Islam merupakan agama yang bersifat Universal. Namun, seperti yang kita
saksikan di lembaga pendidikan Islam, mulai dari tingkat Ibtidaiyah hingga
perguruan tinggi, bahkan terjadi di pondok pesantren, ketika orang menyebut
pelajaran agama Islam, maka yang muncul adalah pelajaran Tauhid, Fiqh, Akhlaq
dan Tasawuf, al-Qurâ??an dan Hadits, Bahasa Arab, dan lain-lain. Demikian juga
di perguruan tinggi, Fakultas yang dikembangkan adalah Tarbiyah, Syariah,
Ushuluddin, Dakwah, dan Adab. Bahkan pembidangan ilmu seperti ini juga terjadi
di Universitas Al-Azhar yang telah berdiri lebih dari 1000 tahun yang lalu.
Oleh karenanya, menurut penulis perlu untuk
melakukan upaya-upaya perluasan batas terhadap pemahaman al-Qurâ??an
lebih-lebih jika dikaitkan dengan kemajuan sains dan teknologi yang demikian
cepat. Al-Ghazali membagi ilmu berdasarkan hukum mencarinya, yakni fardlu ain
dan fardlu kifayah. Ilmu yang termasuk pertama (fardlu ain) adalah ilmu agama
Islam berupa al-Qurâ??an dan hadits. Sedangkan ilmu yang termasuk jenis kedua
(fardlu kifayah) adalah ilmu yang dipandang penting dan diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, misalnya ilmu administrasi, ilmu teknik,
ilmu pendidikan, ilmu ekonomi, ilmu humaniora, dan sebagainya. Dalam perspektif
kurikulum, bangunan ilmu yang bersifat integratif tersebut digunakan metafora sebuah
pohon yang tumbuh subur, lebat, dan rindang. Masing-masing bagian pohon dan
bahkan tanah di mana sebatang pohon itu tumbuh digunakan untuk menjelaskan
keseluruhan jenis ilmu pengetahuan yang harus dikaji oleh seseorang agar
dianggap telah menyelesaikan program studinya.. Selayaknya sebatang pohon
terdiri atas tanah di mana pohon itu tumbuh, akar yang menghujam ke bumi dengan
kuatnya. Akar yang kuat dapat menjadikan batang sebuah pohon berdiri tegak dan
kokoh. Pohon itu juga akan menumbuhkan dahan, ranting, daun, dan buah yang
sehat dan segar. Bagian-bagian itu digunakan sebagai alat untuk menjelaskan
posisi masing-masing jebis mata kuliah yang harus ditempuh oleh seseorang agar
dianggap telah menyelesaikan seluruh program studinya. (Imam Suprayogo: 2006)
Dalam konteks Indonesia, peranan lembaaga
pendidikan Islam termasuk didalamnya madrasah, sekolah Islam dan pesantren,
tidak bisa diabaikan dalam hal penyediaan pendidikan yang mudah diakses
masyarakat luas, khususnya masyarakat muslim. Lembaga pendidikan Islam telah
menjadi bagian penting perkembangan bangsa ini. Di zaman penjajahan lembaga
pendidikan Islam tampil menjadi salah satu pilar yang memperjuangkan
kemerdekaan bangsa Indonesia. Setelah merdeka, lembaga pendidikan Islam tetap
memainkan peranannya sebagai penyedia pendidikan yang mudah diakses.[7]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Selama kaum Muslimin memandang kebudayaan
Barat sebagai satu-satunya kekuatan yang dapat meregenerasi kebudayaannya yang
macet, maka mereka menghancurkan kepercayaan kepada diri mereka sendiri dan
secara tidak langsung menopang penegasan Barat bahwa Islam adalah satu
“kekuatan yang telah habis dikerahkan. “Pendidikan pada hakekatnya merupakan
suatu upaya mewariskan nilai, yang akan menjadi penolong dan penentu umat
manusia dalam menjalani kehidupan, dan sekaligus untuk memperbaiki nasib dan
peradaban umat manusia. Tanpa pendidikan, maka diyakini bahwa manusia sekarang
tidak berbeda dengan generasi manusia masa lampau, yang dibandingkan dengan manusia
sekarang, telah sangat tertinggal baik kualitas kehidupan maupun proes-proses
pembedayaannya. Secra ekstrim bahkan dapat dikatakan, bahwa maju mundurnya atau
baik buruknya peradaban suatu masyarakat, suatu bangsa, akan ditentukan oleh
bagaimana pendidikan yang dijalani oleh masyarakat bangsa tersebut.
Krisis pendidikan di Indonesia, oleh H.A.
Tilaar [1991] secara umum, diidentifikasi dalam empat krisis pokok, yaitu
menyangkut masalah kualitas, relevansi, elitisme dan manajemen. Berbagai
indicator kuantitatif dikemukakan berkenaan dengan keempat masalah di atas,
antara lain analisis komparatif yang membandingkan situasi pendidikan antara
negara di kawasan Asia. Memang disadari bahwa keempat masalah tersebut
merupakan masalah besar, mendasar, dan multidimensional, sehingga sulit dicari
ujung pangkal pemecahannya [Sukamto, 1992]
DAFTAR PUSTAKA
Nur Uhbiyati., 1998, Ilmu Pendidikan
Islam., CV. Pustaka Setia., Bandung
Ahmad Tafsir., 2001, Ilmu Pendidikan
Dalam Perspektif Islam., PT. Remaja Rosdakarya., Bandung
Tilaar, Prof. Dr., 2004, Manajemen
Pendidikan Nasional, PT. Remaja Rosdakarya., Bandung
Imam Suprayogo, Prof. Dr., Januari 2006, Paradigma
Pengembangan Keilmuan Islam Perspektif UIN Malang., Penerbit : UIN-Malang
Press., Cet Ke-1, Malang
Ahmad Syafii Maarif, 1996, Keutuhan dan
Kebersamaan dalam Pengelolaan Pendidikan Sebagai Wawasan Pendidikan
Muhammadiyah, Makalah pada Rakernas Pendidikan Muhammadiyah di Pondok Gede,
Jakarta.
HM. Arifin, 1991, Kapita Selekta
Pendidikan, Bina Aksara, Jakarta.
Hifni Muchtar, 1992, Fakta dan Cita-Cita
Sistem Pendidikan Islam di Indonesia, UNUSIA No. 12 Th. XIII, UII, Yogyakarta.
Muslih Usa, 1991, Pendidikan Islam di
Indonesia, Antara Cita dan Fakta [Suatu Pengantar], Tiara Wacana, Yogyakarta.
Suyata, 1992, Penataan Kembali Pendidikan
Islam pada Era Kemajuan Ilmu dan Teknologi, UNISIA No. 12 Th. XIII, UII,
Yogyakarta.
Soeroyo, 1991, Berbagai Persoalan
Pendidikan, Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal Ilmu
Pendidikan Islam, Problem dan Prospeknya, Volume I, Fak. Tarbiyah IAIN Suka,
Yogyakarta.
H.A.R. Tilaar, 1991, Sistem Pendidikan
Nasional yang Kondusif Bagi Pembangunan Masyarakat Industri Modern Berdasarkan
Pancasila, Makalah Utama Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional V.
[2] Haidar Putra Daulay,
Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Jakarta: Kencana,
2006, hal 195-196
[3] Djumransjah & Abdul
Malik Karim Amrullah, Pendidikan Islam, Malang: UIN-Malang Press, 2007, hal1-2
[4] Abdurrahman an Nahlawi, Pendidikan Islam Dirumah, Sekolah dan
Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press, 1995 hal 25
[5] Abdurrahman an Nahlawi, Pendidikan Islam Dirumah, Sekolah dan
Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press, 1995, hal 118
[6] Imam Suprayogo, Paradigma
Pengembangan Keilmuan Islam Perspektif UIN Malang, Malang;UIN-Malang Press,2006
[7] Kusmana, Paradigma Baru Pendidikan Islam, Jakarta: PIC UIN
Jakarta,2008, hal 285