Oleh : Emha Ainun Nadjib
Sehabis sesiangan bekerja di sawah-sawah serta disegala macam yang
diperlukan oleh desa rintisan yang mereka dirikan jauh di pedalaman, Abah Latif
mengajak para santri untuk sesering mungkin bershalat malam.
Senantiasa lama waktu yang diperlukan, karena setiap kali memasuki
kalimat “iyyaka na’budu….”. Abah Latif biasanya lantas menangis
tersedu-sedu bagai tak berpenghabisan.
Sesudah melalui perjuangan batin yang amat berat untuk melampaui
kata itu, Abah Latif akan berlama-lama lagi macet lidahnya mengucapkan “wa
iyyaka nasta’in….”
Banyak di antara jamaah yang bahkan terkadang ada satu dua yang
lantas ambruk ke lantai atau meraung-raung.
“Hidup manusia harus berpijak, sebagaimana setiap pohon harus
berakar”, berkata Abah Latif seusai wirid bersama, “Mengucapkan kata-kata itu
dalam Al-Fatihah pun harus ada akar dan pijakannya yang nyata dalam kehidupan. Harus
di situ titik beratnya bukan sebagai aturan, melainkan memang demikianlah
hakekat alam, di mana manusia tak bisa berada dan berlaku selain di dalam
hakekat itu”.
“Astaghfimllah, astaghfirullah”, geremang turut menangis mulut
parasantri.
“Jadi, anak-anakku”, beliau melanjutkan, “apa akar dan pijakan kita
dalam rnengucapkan kepada Allah iyyaka na’budu?”
“Bukankah tak ada salahnya mengucapkan sesuatu yang toh baik dan
merupakan bimbingan Allah itu sendiri, Abah?” bertanya seorang santri.
“Kita tidak boleh mengucapkan kata, Nak, kita hanya boleh
mengucapkan kehidupan”.
“Belum jelas benar bagiku, Abah”.
“Kita dilarang mengucapkan kekosongan, kita hanya diperkenankan
mengucapkan kenyataan”. “Astaghfirullah, astaghfirullah”, geremang mulut para
santri terhenti ucapannya. Dan Abah Latif meneruskan, “Sekarang ini kita
mungkin sudah pantas mengucapkan iyyaka na’budu. Kepada-Mu aku
menyembah. Tetapi Kaum Muslimin masih belum memiliki suatu kondisi keumatan
untuk layak berkata kepada-Mu kami menyembah, na’budu”.
“Al-Fatihah haruslah mencerminkan proses dan tahapan pencapaian
sejarah kita sebagai diri pribadi serta kita sebagai umatan wahidah. Ketika
sampai di kalimat na’budu, tingkat yang harus kita capai telah lebih
dari ‘abdullah, yakni khalifatullah. Suatu maqam yang dipersyarati oleh
kebersamaan Kaum Muslimin dalam menyembah Allah di mana penyembahan itu
diterjemahkan ke dalam setiap bidang kehidupan. Mengucapkan iyyaka na’budu
dalam shalat mustilah memiliki akar dan pijakan di mana kita Kaum Muslimin
telah membawa urusan rumah tangga, urusan perniagaan, urusan sosial dan politik
serta segala urusan lain untuk menyembah hanya kepada Allah. Maka, anak-anakku,
betapa mungkin dalam keadaan kita dewasa ini lidah kita tidak kelu dan airmata
tak bercucuran tatkala harus mengucapkan kata-kata itu?”
“Astaghfirullah, astaghfirullah”, geremang mulut para santri.
“Al-Fatihah hanya pantas diucapkan apabila kita telah saling
menjadi khalifatullah di dalam berbagai hubungan kehidupan. Tangis kita akan
sungguh-sungguh tak berpenghabisan karena dengan mengucapkan wa iyyaka
nasta’in, kita telah secara terang-terangan menipu Tuhan. Kita berbohong
kepada-Nya berpuluh-puluh kali dalam sehari. Kita nyatakan bahwa kita meminta
pertolongan hanya kepada Allah, padahal dalam sangat banyak hal kita lebih
banyak bergantung kepada kekuatan, kekuasaan dan mekanisme yang pada hakekatnya
melawan Allah”.
“Astaghfirullah, astaghfirullah”, gemeremang para santri.
“Anak-anakku, pergilah masuk ke dalam dirimu sendiri, telusurilah
perbuatan-perbuatanmu sendiri, masuklah ke urusan-urusan manusia di sekitarmu,
pergilah ke pasar, ke kantor-kantor, ke panggung-panggung dunia yang luas:
tekunilah, temukanlah salah benarnya ucapan-ucapanku kepadamu. Kemudian
peliharalah kepekaan dan kesanggupan untuk tetap bisa menangis. Karena
alhamdulillah seandainya sampai akhir hidup kita hanya diperkenankan untuk
menangis karena keadaan-keadaan itu: airmata saja pun sanggup mengantarkan kita
kepada-Nya!”
Malang, 03 Rajab 1434/13 Mei 2013